Tulisan kali ini, menjadi keresahan saya terhadap pendidikan indonesia. dalam merayakan dan memperingati hari pahlawan, saya rasa kita tak harus selalu mengenang melulu pahlawan kita, tapi bagaimana kita membenah negara ini, untuk menlanjutkan perjuangan pahlawan-pahlawan kita ini. Refleksi saya kali ini, bahwa perjuangan kita untuk menciptakan pahlawan-pahlawan seperti dulu adalah dengan pendidikan itu sendiri, jadi disini akan sedikit di kaji tentang problematika pendidikan indonesia.
“bangsa yang besar
merupakan bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya” kata bung karno. Kita
tau bahwa tanggal 10 november ini adalah hari pahlawan, hari untuk memperingati
bagaimana rakyat Indonesia mempertaruhkan nyawa untuk suatu kebebasan,
bagaimana rakyat Indonesia menumpahkan darah untuk satu kata “merdeka”. Dan
hari ini juga untuk memperingati bahwa kemerdekaan ini bukan hadiah dari bangsa
lain, tapi usaha dan perjuangan pahlawan-pahlawan kita dalam merebut
kemerdekaan.
Tapi, kata-kata bung
karno itu hanya dipakai sebagai kata-kata mutiara oleh generasi muda dalam
memperingati hari pahlawan di media social. Seolah mereka bener-bener
menghayatinya, seolah-olah mereka benar-benar memahaminya. Tapi ketika hari itu
selesai, maka hilanglah kata-kata anggun itu. Kata-kata itu hanya sebagai
keren-kerenan saja kalau “dia tau ini hari pahlawan” tapi apakah dia tau bahwa
besok dan terus kata itu akan menjadi pegangan kita dalam menghargai perjuangan
pahlawan kita?
Rasa Nasionalisme
seorang generasi muda sekarang ini harus benar-benar dipertanyakan. Dengan
kecanggihan teknologi dan semakin modernnya Indonesia ini, membuat rakyatnya
lupa akan perjuangan, membuat rakyatnya lupa akan rintihan tangis seorang
pejuang. Mereka disibukkan oleh gadget-gadgetnya, tak perlu berbicara tentang
aksi dan demo, untuk sekedar mengkritik tanpa solusi saja kadang kita begitu
acuh. Pada pemilu presiden 2014 saja contohnya, banyak sekali kata-kata acuh
terhadap pemilu ini, yang pada dasarnya pemilu ini sebagai awal kemajuan bangsa
ini, sala satu kutipan “siapapun presidennya, kalian harus cari makan sendiri”.
Oke itu mungkin suatu yang benar, tapi harus begitu acuhkan kita terhdap pemilu
itu? Rasa nasionalisme terhadap Indonesia ini benar-benar dimakan oleh
kemodernan dan kemajuan teknologi. Lupa dengan perjuangan, lupa dengan
bertumpahan darah demi hidup sentosa, dan lupa dengan perjuangan yang
mempertaruhkan nyawa.
Tapi disini lah kita di
Indonesia yang bebas, di Indonesia yang merdeka. Tak perlu kita menumpahkan
darah lagi, tak perlu kita merintih kesakitan lagi, tak perlu kita di jajah
lagi, karena kita sudah merdeka, tapi bagaimana kita mengaplikasikan dan
menghargai sisi kepahlawan? Sala satunya adalah berjuangan pada pendidikan
Indonesia ini. Ada apa dengan pendidikan Indonesia ini? Kadang kita semua
melihat bagaimana system pendidikan Indonesia ini berjalan dengan baik,
berjalan dengan sempurna dan lancer-lancar saja sesuai dengan apa yang
dirumuskan. Tapi apakah pernah kalian benar-benar mencari hakikat dari
pendidikan dan belajar itu?
Dalam kutipan suatu
buku “ilmu keguruan” sala satu buku pelajaran yang saya dapatkan ketika duduk di bangku madrasah muallimin muhammadiyah yogyakarta, dikatakan bahwa hakikat belajar itu adalah perubahan perilaku. Tak perlu kita berkata
soal hakikat dulu, apakah kita tau arti dari belajar itu sendiri? Belajar itu
adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku
seseorang di berbagai bidang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus
menerus dengan lingkungannya.dari
sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila didalam proses belajar tidak
mendapatkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan dapat dikatakan bahwa
orang tersebut mengalami kegagalan dalam proses belajar.
Kita harus benar-benar
tau permasalah pendidikan di Indonesia ini. Dimana permasalah pertam yang di
hadapi pendidikan Indonesia ini adalah malasah pemerataan pendidikan. Artinya
adalah pendidikan Indonesia ini hanya dapat di nikmati oleh kaum menengah ke atas,
kaum yang setidaknya memiliki modal untuk membiayai hidupnya di pendidikan.
Bagaimana kita banyak melihat orang-orang yang tak punya uang hanya bisa
menunggu bantuan.
Problematika pendidikan
yang kedua adalah biaya pendidikan yang begitu tinggi, dimana yang tak uang
tadi ya tak bisa melanjutkan sekolahnya, mereka yang tak berduit terhempas ke
pinggiran.
Problematika pendidikan
yang ketiga adalah kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang, di lihat
bagaimana banyaknya pendidik yang mengajar bukan pada bidangnya, dan juga
kejujuran dan kedisiplinan peserta didik yang masih sangat kurang. Dimana menyontek menjadi hal biasa bahkan
menjadi hal yang harus di lakukan oleh peserta didik. Karena tanpa nilai yang
bagus mereka mengatakan bahwa pendidikan itu gagal. Kembali pada hakekat
belajar tadi yang mana belajar adalah perubahan perilaku, peningkatan kuantitas
dan kualitas, mungkin bolehlah ketika ternyata itu meningkatkan kuantitas nilai
karena menyontek itu, tapi apakah itu maksud dari kuanititas kemampuan? Sudah
pasti bukan. Tapi bagaimana kita punya banyak kemampuan dalam kehidupan. Karena
sekolah dan kuliah bukan sekedar nilai saja.
Problematika
selanjutnya adalah akreditasi yang di berikan pemerintah akan hasil
penilaiannya. Oke mungkin itu benar ketika penilaian itu tanpa kebohongan dan
kecurangan. Sala satu problematika sekarang adalah bahwa akreditasi ini menjadi
standar orang dalam mencari ilmu, menjadi standar manusia dalam menentukan masa
depannya. Yang harus kita tau bahwa akreditasi ini adalah produk dan hasil dari
penilaian pemerintah bukan dari masyarakat secara langsung. Contoh penilaian
mereka adalah adminstrasi kampus, apakah administrasi kampus ini menjadi acuan
dalam menuntut ilmu?. Penilaian selanjutnya yang menjadi acuan akreditasi adalah
banyaknya mahasiswa yang lulus dari suatu sekolah atau kampus, apa ini bisa
menjadi acuan? toh, mereka Cuma menghitung banyaknya yang lulus, tidak
menghitung seberapa bergunanya mereka di masyarakat dan untuk bangsan dan
agama. Dan banyak lagi penilaian yang tidak seharusnya menjadi acuan seseorang
untuk memilih pendidikan di Indonesia ini.
Problematika
selanjutnya adalah kurikulum Indonesia yang mengharuskan seluruh siswa mengerti
apa yang tercantum dalam kurikulum. Kita tau bahwa negara finlandia adalah
negara yang diakui system pendidikan yang terbaik di dunia bagaimana mereka itu
mengkemas kurikulum ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah.
Problematika
selanjutnya adalah ujian dan standar nilai yang menjadi acuan kemampuan
seseorang. Kita melihat realitas sekarang bahwa nilai itu sudah jarang ada
kemurnian disana, apapun cara dilakukan untuk mendapat nilai yang tinggi. Yang
pada dasarnya itu jarang di pakai dalam kehidupan. Realita mahasiswa zaman
sekarang adalah bahwa mahasiswa tak berani meninggalkan kuliah demi hal yang
lebih baik, okelah mungkin itu sesuatu yang benar, tapi masih banyak mahasiswa
yang ketika meninggalkan kelas tapi absennya ada, (titip absen) karena absen
menjadi acuan nilai dosen. (analaogi saya untuk yang
suka titip absen sih, seperti bencong, maunya jadi laki-laki atau perempuan
sih, labil banget!! Kalian mau masuk apa gak sih!! Kok gak masuk tapi absennya
ada!!) dan masalah mahasiswa dan siswa yang sekarang adalah kejujuran
dan kedispilannya dimana ketika ujian ya menyontek!! Berusaha mendapat hal
dengan cara yang tidak baik, dan belum tentu dosa yang kita lakukan itu di
pakai juga di kehidupan. eman-eman banget siih
Yang harus kita tau
adalah bahwa pendidikan ini adalah suatu usaha untuk membina kepribadian
seseorang sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan”. Dalam
Bahasa inggris pendidikan disebut dengan education, padahal kata itu sendiri
berasal Bahasa latin yaitu educare dan educere. Educare dalam Bahasa latin
memiliki konotasi melatih, menjinakkan, menyuburkan yang singkatnya pendidikan
adalah proses menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat sesuatu menjadi
jinak (dari sebelumnya liar). Yang dari sini sudah terpampang jelas bahwa
problematika-problematika di atas sedikit berbeda dengan hakekat belajar dan
pendidikan. Pendidikan adalah ikatan antara tanggung jawab dan proses
pembelajaran serta hasil menjadi kesatuan utuh yang saling melengkapi. Proses
itu dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan tidak akan
berhenti saat kehidupan seseorang berakhir. Tujuan pendidikan sejatinya
tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah
kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi,
tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Allah SWT dan sesama
untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.