Senin, 16 November 2015

Refleksi Hari Pahlawan Terhadap pendidikan indonesia yang makin merosot

Tulisan kali ini, menjadi keresahan saya terhadap pendidikan indonesia. dalam merayakan dan memperingati hari pahlawan, saya rasa kita tak harus selalu mengenang melulu pahlawan kita, tapi bagaimana kita membenah negara ini, untuk menlanjutkan perjuangan pahlawan-pahlawan kita ini. Refleksi saya kali ini, bahwa perjuangan kita untuk menciptakan pahlawan-pahlawan seperti dulu adalah dengan pendidikan itu sendiri, jadi disini akan sedikit di kaji tentang problematika pendidikan indonesia.

“bangsa yang besar merupakan bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya” kata bung karno. Kita tau bahwa tanggal 10 november ini adalah hari pahlawan, hari untuk memperingati bagaimana rakyat Indonesia mempertaruhkan nyawa untuk suatu kebebasan, bagaimana rakyat Indonesia menumpahkan darah untuk satu kata “merdeka”. Dan hari ini juga untuk memperingati bahwa kemerdekaan ini bukan hadiah dari bangsa lain, tapi usaha dan perjuangan pahlawan-pahlawan kita dalam merebut kemerdekaan.


Tapi, kata-kata bung karno itu hanya dipakai sebagai kata-kata mutiara oleh generasi muda dalam memperingati hari pahlawan di media social. Seolah mereka bener-bener menghayatinya, seolah-olah mereka benar-benar memahaminya. Tapi ketika hari itu selesai, maka hilanglah kata-kata anggun itu. Kata-kata itu hanya sebagai keren-kerenan saja kalau “dia tau ini hari pahlawan” tapi apakah dia tau bahwa besok dan terus kata itu akan menjadi pegangan kita dalam menghargai perjuangan pahlawan kita?


Rasa Nasionalisme seorang generasi muda sekarang ini harus benar-benar dipertanyakan. Dengan kecanggihan teknologi dan semakin modernnya Indonesia ini, membuat rakyatnya lupa akan perjuangan, membuat rakyatnya lupa akan rintihan tangis seorang pejuang. Mereka disibukkan oleh gadget-gadgetnya, tak perlu berbicara tentang aksi dan demo, untuk sekedar mengkritik tanpa solusi saja kadang kita begitu acuh. Pada pemilu presiden 2014 saja contohnya, banyak sekali kata-kata acuh terhadap pemilu ini, yang pada dasarnya pemilu ini sebagai awal kemajuan bangsa ini, sala satu kutipan “siapapun presidennya, kalian harus cari makan sendiri”. Oke itu mungkin suatu yang benar, tapi harus begitu acuhkan kita terhdap pemilu itu? Rasa nasionalisme terhadap Indonesia ini benar-benar dimakan oleh kemodernan dan kemajuan teknologi. Lupa dengan perjuangan, lupa dengan bertumpahan darah demi hidup sentosa, dan lupa dengan perjuangan yang mempertaruhkan nyawa.


Tapi disini lah kita di Indonesia yang bebas, di Indonesia yang merdeka. Tak perlu kita menumpahkan darah lagi, tak perlu kita merintih kesakitan lagi, tak perlu kita di jajah lagi, karena kita sudah merdeka, tapi bagaimana kita mengaplikasikan dan menghargai sisi kepahlawan? Sala satunya adalah berjuangan pada pendidikan Indonesia ini. Ada apa dengan pendidikan Indonesia ini? Kadang kita semua melihat bagaimana system pendidikan Indonesia ini berjalan dengan baik, berjalan dengan sempurna dan lancer-lancar saja sesuai dengan apa yang dirumuskan. Tapi apakah pernah kalian benar-benar mencari hakikat dari pendidikan dan belajar itu?


Dalam kutipan suatu buku “ilmu keguruan” sala satu buku pelajaran yang saya dapatkan ketika duduk di bangku madrasah muallimin muhammadiyah yogyakarta, dikatakan bahwa hakikat belajar itu adalah  perubahan perilaku. Tak perlu kita berkata soal hakikat dulu, apakah kita tau arti dari belajar itu sendiri? Belajar itu adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai bidang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungannya.dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila didalam proses belajar tidak mendapatkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengalami kegagalan dalam proses belajar.


Kita harus benar-benar tau permasalah pendidikan di Indonesia ini. Dimana permasalah pertam yang di hadapi pendidikan Indonesia ini adalah malasah pemerataan pendidikan. Artinya adalah pendidikan Indonesia ini hanya dapat di nikmati oleh kaum menengah ke atas, kaum yang setidaknya memiliki modal untuk membiayai hidupnya di pendidikan. Bagaimana kita banyak melihat orang-orang yang tak punya uang hanya bisa menunggu bantuan. 


Problematika pendidikan yang kedua adalah biaya pendidikan yang begitu tinggi, dimana yang tak uang tadi ya tak bisa melanjutkan sekolahnya, mereka yang tak berduit terhempas ke pinggiran. 


Problematika pendidikan yang ketiga adalah kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang, di lihat bagaimana banyaknya pendidik yang mengajar bukan pada bidangnya, dan juga kejujuran dan kedisiplinan peserta didik yang masih sangat kurang.  Dimana menyontek menjadi hal biasa bahkan menjadi hal yang harus di lakukan oleh peserta didik. Karena tanpa nilai yang bagus mereka mengatakan bahwa pendidikan itu gagal. Kembali pada hakekat belajar tadi yang mana belajar adalah perubahan perilaku, peningkatan kuantitas dan kualitas, mungkin bolehlah ketika ternyata itu meningkatkan kuantitas nilai karena menyontek itu, tapi apakah itu maksud dari kuanititas kemampuan? Sudah pasti bukan. Tapi bagaimana kita punya banyak kemampuan dalam kehidupan. Karena sekolah dan kuliah bukan sekedar nilai saja.


Problematika selanjutnya adalah akreditasi yang di berikan pemerintah akan hasil penilaiannya. Oke mungkin itu benar ketika penilaian itu tanpa kebohongan dan kecurangan. Sala satu problematika sekarang adalah bahwa akreditasi ini menjadi standar orang dalam mencari ilmu, menjadi standar manusia dalam menentukan masa depannya. Yang harus kita tau bahwa akreditasi ini adalah produk dan hasil dari penilaian pemerintah bukan dari masyarakat secara langsung. Contoh penilaian mereka adalah adminstrasi kampus, apakah administrasi kampus ini menjadi acuan dalam menuntut ilmu?. Penilaian selanjutnya yang menjadi acuan akreditasi adalah banyaknya mahasiswa yang lulus dari suatu sekolah atau kampus, apa ini bisa menjadi acuan? toh, mereka Cuma menghitung banyaknya yang lulus, tidak menghitung seberapa bergunanya mereka di masyarakat dan untuk bangsan dan agama. Dan banyak lagi penilaian yang tidak seharusnya menjadi acuan seseorang untuk memilih pendidikan di Indonesia ini.


Problematika selanjutnya adalah kurikulum Indonesia yang mengharuskan seluruh siswa mengerti apa yang tercantum dalam kurikulum. Kita tau bahwa negara finlandia adalah negara yang diakui system pendidikan yang terbaik di dunia bagaimana mereka itu mengkemas kurikulum ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah. 


Problematika selanjutnya adalah ujian dan standar nilai yang menjadi acuan kemampuan seseorang. Kita melihat realitas sekarang bahwa nilai itu sudah jarang ada kemurnian disana, apapun cara dilakukan untuk mendapat nilai yang tinggi. Yang pada dasarnya itu jarang di pakai dalam kehidupan. Realita mahasiswa zaman sekarang adalah bahwa mahasiswa tak berani meninggalkan kuliah demi hal yang lebih baik, okelah mungkin itu sesuatu yang benar, tapi masih banyak mahasiswa yang ketika meninggalkan kelas tapi absennya ada, (titip absen) karena absen menjadi acuan nilai dosen. (analaogi saya untuk yang suka titip absen sih, seperti bencong, maunya jadi laki-laki atau perempuan sih, labil banget!! Kalian mau masuk apa gak sih!! Kok gak masuk tapi absennya ada!!) dan masalah mahasiswa dan siswa yang sekarang adalah kejujuran dan kedispilannya dimana ketika ujian ya menyontek!! Berusaha mendapat hal dengan cara yang tidak baik, dan belum tentu dosa yang kita lakukan itu di pakai juga di kehidupan. eman-eman banget siih


Yang harus kita tau adalah bahwa pendidikan ini adalah suatu usaha untuk membina kepribadian seseorang sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan”. Dalam Bahasa inggris pendidikan disebut dengan education, padahal kata itu sendiri berasal Bahasa latin yaitu educare dan educere. Educare dalam Bahasa latin memiliki konotasi melatih, menjinakkan, menyuburkan yang singkatnya pendidikan adalah proses menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat sesuatu menjadi jinak (dari sebelumnya liar). Yang dari sini sudah terpampang jelas bahwa problematika-problematika di atas sedikit berbeda dengan hakekat belajar dan pendidikan. Pendidikan adalah ikatan antara tanggung jawab dan proses pembelajaran serta hasil menjadi kesatuan utuh yang saling melengkapi. Proses itu dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan tidak akan berhenti saat kehidupan seseorang berakhir. Tujuan pendidikan sejatinya tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Allah SWT dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.