Kamis, 31 Desember 2015

Resiko Orang Bertauhid

Pernahkah kalian berpikir kalau dunia ini di pimpinan oleh dua Tuhan? atau yang lebih kecilnya adalah, pernahkah kalian berpikir apa yang akan terjadi ketika sebuah negara di pimpin oleh 2 president atau raja? saya rasa kalian akan tau apa yang akan terjadi. bukan malah semakin aman dan tentram, malah bakan menjadi semakin kacau dan rancu. karena menurut saya ketika ada 2 pemimpin makan akan saling berebut wilayah kekuasaan. semisal satu wilayah di bagi 2, apakah pembagian itu adil? hahaha, begitu lucu ketika ada yang mengatakan bahwa tuhan itu adalah lebih dari 1. karena adalah ajaran Islam, sebuah Ajaran yang mengajarkan Monoteisme atau tauhid yang murni, clear yang tidak tercampur sedikitpun oleh kesyirikan dan kemusrikan.
menurut saya, kenapa dikatakan dalam Pancasila Sila ke-1 "Ketuhanan Yang maha Esa" karena semua orangpun percaya bahwa tuhan itu harus hanya ada satu. walaupun kita selalu bertanya-tanya siapa tuhan itu? dimana dia berada? saya rasa kalian tidak akan menembusnya dengan hanya logika saja, karena harus di bawa ketika ngomong soal tuhan adalah Iman. Nah bagaimana Seorang bisa mempercayai Tuhan Allah SWT tersebut?
dalam buku Tauhid Sosial yang di tulis oleh Amin Rais, dijelaskan tentang tingkatan Konsekuensi yang harus dilakukan manusia ketika dia sudah bertauhid
Tingkatan Pertama adalah Mengingkari semua selain Allah. Menyingkirkan segala sesuatu yang membuat sesuatu menjadi sesembahan kita. dalam Surah Al-Baqarah : 256  dijelas begitu jelas, bahwa barang siapa mengingkari Tuhan Selain Allah maka memegang tali yang kokoh. maksud tali yang kokoh disini adalah bahwa islam ini adalah jalan yang benar dan lurus menuju jalan kehidupan yang tertata. mengatakan sesuatu yang benar adalah sesuatu fitrah manusia, tapi kenapa masih banyak yang melenceng dari Islam? itu karena mereka tidak berani mengatakan sesuatu yang benar. dalam sejarah umat manusia, bagaimana seorang Fir'aun itu dijadikan tuhan oleh orang-orang disekitarnya, tapi misalnya saja orang-orang disekitar situ berani mengatakan bahwa fir'aun bukan tuhan maka tak ada tuhan yang bernama Fir'aun, dan masa itu juga adalah rusaknya Tauhid mereka. pesan Moral yang seharusnya diambil adalah bahwa beranilah dalam mengatakan tidak kepada ketidakbenaran dan ketidak adilan. karena pada hakekatnya Muslim adalah orang yang "walam yakhsya ilallah" tidak takut kepada segala sesuatu kecuali kepada Allah

Tingkatan Kedua adalah setelah kita mengingkari Segala selain Allah "Famayyakfur Biththaghuti" setelah itu "Wayu'min Billah" beriman kepada Allah. jangan sampai kita meniadakan Tuhan tapi kita juga tak beriman kepada Allah, nanti jatuhnya ya Atheis (Pemahaman bahwa Tuhan itu tidak ada). maka dari itu kita sudah sepantasnya beriman kepada Allah supaya kita tetap terjaga

Tingkatan Ketiga adalah sebagai seorang Muslim harus memeliki Proklamasi dan deklarasi hidup yang berdasar Al-Quran dan Sunnah. dengan Kata-kata "qul Inna Shalati Wanusuki Wamahyaya Wamamati Lillahi Rabbil'alamin la syarikalahu wa bidzalika umirtu wa ana awwalul muslimin" Katakanlah Sesungguhnya Shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah tuhan semesta Alam. tidak ada sekutu bagi-Nya, Demikianlah Aku diperintahkan dan aku ini termasuk orang-orang yang berserah diri. Syair dari seorang Muhammad Iqbal mengatakan bahwa "the sign of a kafir is that he is lost in the horizon. ciri pokok seorang kafir, dia sesat di dalam cakrawala kehidupan. sedangkan muslim "the Sign of a muslim is that the horizon is lost in him bahwa tanda muslim adalah cakrawala kehidupan itu larut dan lebur kedalam pribadi seorang muslim". because Mukmin person ality is bigger than horizon sebab kepribadian mukmin yang sudah bertauhid lebih besar dari masalah-masalah kehidupan


Tingkatan keempat adalah kita berusaha menerjemahkan keyakinan kita menjadi konkret, menjadi satu sikap budaya untuk mengembangkan amal sholeh. maksudnya adalah ketika kita sudah yakin dan percaya maka sudah waktu kita untuk mengamalkan apa yang kita yakini. kalau cuma di yakini, yaa akan begitu-begitu saja dan tak akan berubah. dalam Al-quran banyak sekali Ayat yang menggandeng antara 'Alladzina Amanu dan wa'amilush Shalihat, jadi Iman dan Amal Sholeh itu begitu dekat. yang jadi sia-sia aja teori yang di dapat tanpa Aplikasi yang nyata. jadi manifestasi tingkatan keempat ini adalah bahwa di setiap kesempatannya dia memiliki sikap mental dan budaya untuk selalu melakukan amal sholeh.

Tingkatan Kelima adalah manusia mengambil ukuran baik dan buruk berdasar ukuran Allah. semisalnya saja kita mengambil ukuran dari manusia mana bisa, karena setiap manusia memiliki sudut pandang masing-masing, contohnya Si A melakukan 1 dan Si B melakukan 2. karena menurut Si A nomer 1 itu benar dan nomer 2 itu salah, begitu pula sebaliknya. kalau seperti bagaiman bisa kita menentukan suatu itu benar atau salah, adil atau tidak. ya semua kembali lagi kepada Allah.

Mungkin sedikit apa yang saya dapat dari buku Tauhid Sosial Amin Rais dan hasil diskusi dan kajian. Semoga bermanfaat dan semoga masih mencari lagi.



Mari Membaca, Mari Menulis, Mari Diskusi untuk menjadi pribadi yang bijaksana!!

Senin, 21 Desember 2015

Ikatan Yang Mempersatukan

Menjadi Mahasiswa adalah suatu predikat yang keren, dari katanya saja "MAHASISWA" sudah begitu "wow" Maha dari para siswa. Seolah-olah mahasiswa ini begitu tinggi dan hebat. banyak pula yang mengatakan bahwa mahasiswa ini adalah kaum intelektual, agen of change, dan gelar-gelar hebat yang di berikan masyarakat. Tapi pada realitanya, saya melihat sendiri tidak semua mahasiswa itu hebat, tidak semua mahasiswa itu agen of change. apakah "Titip Absen" itu adalah agen of change? apakah "Menyontek" itu Kaum Intelektual?.
Sebelum itu, saya ingin sedikit berbagi suatu cerita tentang organisasi pergerakan yang banyak mengubah hidup ini, namanya IMM. Entah kenapa, aku begitu bangga mengikuti Organisasi ini. Pertama saya mendapat keluarga baru yang benar-benar keluarga. kenapa bisa saya bilang keluarga? karena kita merasakan kesakitan yang sama, penderitaan yang sama dan kita mau bangkit bersama. teringat keluargaku di muallimin dulu, yang mana itu adalah keluarga karena sakit yang sama tapi mau dibangun bersama. Memang benar, tak akan menjadi keluarga, sekelompok orang kalau dia tidak merasakan sakit yang sama. bagaimana mau menyatu, kalau sakitnya saja sudah beda-beda.
Kedua, saya merasa sedikit mendapat nilai kritis terhadap apapun disekitar. ketika ada masalah di negara ini, saya coba untuk mengkaji dan mengkritisi hal ini yang mana dulu mana mau kayak gitu, pokoknya masa bodo dengan permasalahan negara. sama kayak permasalah "Titip Absen" ataupun "Menyontek" yang mana itu menjadi sangat tren di kalangan mahasiswa. toh, buat apa kita titip absen, kalau ilmunya 'NOL'. kita kuliah mahal-mahal bukan sekedar untuk nilai ataupun absen semata, tapi untuk ilmu dan pengabdian kepada masyarakat sekitar. sudah sangat jelas dalam "tri dharma perguruan tinggi" dikatakan 1.pendidikan, 2. Penelitian, 3. Pengabdian Masyarakat. mana ada "Titip Absen" masuk di dalam inti Tri Dharma tersebut. Saya sebagai Mahasiswa hanya merasa kecewa dengan perkuliahan hari ini, yang mengutamakan absen, nilai, cepat lulus, tanpa memandang moral, akhlak dan prilaku mahasiswa sekarang. Pantaskah sekarang mahasiswa dikatakan "Kaum Intelektual"?
Ketiga, Mungkin Penambahan wawasan terhadap ilmu selain akademik saya dan wawasan tentang organisasi yang benar-benar saya dapatkan di IMM ini. dan mungkin banyak lagi yang tak bisa tertulis. mungkin ada sedikit syair untuk Ikatanku


Ikatan ini mengajarkan kita saling mengerti
Ikatan ini mempersatukan yang berbeda
Ikatan ini Menjauhkan yang terasa jauh
Ikatan ini begitu Romantis nan Mesra

Dimana Letak Nurani?

Syair ini saya buat sebagai rasa kekecewaan terhadap pemimpin dan pejabat negara ini berkelakukan seolah-olah ini negara adalah milik mereka. 

Dimana Kau letakkan hati nuranimu?
Seenaknya kau memperlakukan kami seperti babumu

Janjimu Kau tebar dimana-mana ketika pemilu
kamipun memilihmu tanpa malu
Dan Akhirnya Indonesia semakin pilu
dengan kelakukanmu yang terlalu


Nur Fahmi Nur
Senin, 21 Desember 2015



Dimana Sumpahmu?

Apakah Kamu Lupa dengan Sumpahmu?
Yang bersumpah bertanah air satu
Yang bersumpah Berbangsa yang satu
Yang bersumpah berbahasa yang satu


Apakah Kalian merasa pantas menjadi rakyat indonesia?
Indonesia itu bertuhan yang esa
Indonesia itu nilai kemanusiaan
Indonesia itu persatuan
Indonesia itu menjunjung nilai permusyawaratan
Indonesia itu adalah keadilan

Nur Fahmi Nur
Senin, 21 Desember 2015

Senin, 16 November 2015

Refleksi Hari Pahlawan Terhadap pendidikan indonesia yang makin merosot

Tulisan kali ini, menjadi keresahan saya terhadap pendidikan indonesia. dalam merayakan dan memperingati hari pahlawan, saya rasa kita tak harus selalu mengenang melulu pahlawan kita, tapi bagaimana kita membenah negara ini, untuk menlanjutkan perjuangan pahlawan-pahlawan kita ini. Refleksi saya kali ini, bahwa perjuangan kita untuk menciptakan pahlawan-pahlawan seperti dulu adalah dengan pendidikan itu sendiri, jadi disini akan sedikit di kaji tentang problematika pendidikan indonesia.

“bangsa yang besar merupakan bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya” kata bung karno. Kita tau bahwa tanggal 10 november ini adalah hari pahlawan, hari untuk memperingati bagaimana rakyat Indonesia mempertaruhkan nyawa untuk suatu kebebasan, bagaimana rakyat Indonesia menumpahkan darah untuk satu kata “merdeka”. Dan hari ini juga untuk memperingati bahwa kemerdekaan ini bukan hadiah dari bangsa lain, tapi usaha dan perjuangan pahlawan-pahlawan kita dalam merebut kemerdekaan.


Tapi, kata-kata bung karno itu hanya dipakai sebagai kata-kata mutiara oleh generasi muda dalam memperingati hari pahlawan di media social. Seolah mereka bener-bener menghayatinya, seolah-olah mereka benar-benar memahaminya. Tapi ketika hari itu selesai, maka hilanglah kata-kata anggun itu. Kata-kata itu hanya sebagai keren-kerenan saja kalau “dia tau ini hari pahlawan” tapi apakah dia tau bahwa besok dan terus kata itu akan menjadi pegangan kita dalam menghargai perjuangan pahlawan kita?


Rasa Nasionalisme seorang generasi muda sekarang ini harus benar-benar dipertanyakan. Dengan kecanggihan teknologi dan semakin modernnya Indonesia ini, membuat rakyatnya lupa akan perjuangan, membuat rakyatnya lupa akan rintihan tangis seorang pejuang. Mereka disibukkan oleh gadget-gadgetnya, tak perlu berbicara tentang aksi dan demo, untuk sekedar mengkritik tanpa solusi saja kadang kita begitu acuh. Pada pemilu presiden 2014 saja contohnya, banyak sekali kata-kata acuh terhadap pemilu ini, yang pada dasarnya pemilu ini sebagai awal kemajuan bangsa ini, sala satu kutipan “siapapun presidennya, kalian harus cari makan sendiri”. Oke itu mungkin suatu yang benar, tapi harus begitu acuhkan kita terhdap pemilu itu? Rasa nasionalisme terhadap Indonesia ini benar-benar dimakan oleh kemodernan dan kemajuan teknologi. Lupa dengan perjuangan, lupa dengan bertumpahan darah demi hidup sentosa, dan lupa dengan perjuangan yang mempertaruhkan nyawa.


Tapi disini lah kita di Indonesia yang bebas, di Indonesia yang merdeka. Tak perlu kita menumpahkan darah lagi, tak perlu kita merintih kesakitan lagi, tak perlu kita di jajah lagi, karena kita sudah merdeka, tapi bagaimana kita mengaplikasikan dan menghargai sisi kepahlawan? Sala satunya adalah berjuangan pada pendidikan Indonesia ini. Ada apa dengan pendidikan Indonesia ini? Kadang kita semua melihat bagaimana system pendidikan Indonesia ini berjalan dengan baik, berjalan dengan sempurna dan lancer-lancar saja sesuai dengan apa yang dirumuskan. Tapi apakah pernah kalian benar-benar mencari hakikat dari pendidikan dan belajar itu?


Dalam kutipan suatu buku “ilmu keguruan” sala satu buku pelajaran yang saya dapatkan ketika duduk di bangku madrasah muallimin muhammadiyah yogyakarta, dikatakan bahwa hakikat belajar itu adalah  perubahan perilaku. Tak perlu kita berkata soal hakikat dulu, apakah kita tau arti dari belajar itu sendiri? Belajar itu adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai bidang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungannya.dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila didalam proses belajar tidak mendapatkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengalami kegagalan dalam proses belajar.


Kita harus benar-benar tau permasalah pendidikan di Indonesia ini. Dimana permasalah pertam yang di hadapi pendidikan Indonesia ini adalah malasah pemerataan pendidikan. Artinya adalah pendidikan Indonesia ini hanya dapat di nikmati oleh kaum menengah ke atas, kaum yang setidaknya memiliki modal untuk membiayai hidupnya di pendidikan. Bagaimana kita banyak melihat orang-orang yang tak punya uang hanya bisa menunggu bantuan. 


Problematika pendidikan yang kedua adalah biaya pendidikan yang begitu tinggi, dimana yang tak uang tadi ya tak bisa melanjutkan sekolahnya, mereka yang tak berduit terhempas ke pinggiran. 


Problematika pendidikan yang ketiga adalah kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang, di lihat bagaimana banyaknya pendidik yang mengajar bukan pada bidangnya, dan juga kejujuran dan kedisiplinan peserta didik yang masih sangat kurang.  Dimana menyontek menjadi hal biasa bahkan menjadi hal yang harus di lakukan oleh peserta didik. Karena tanpa nilai yang bagus mereka mengatakan bahwa pendidikan itu gagal. Kembali pada hakekat belajar tadi yang mana belajar adalah perubahan perilaku, peningkatan kuantitas dan kualitas, mungkin bolehlah ketika ternyata itu meningkatkan kuantitas nilai karena menyontek itu, tapi apakah itu maksud dari kuanititas kemampuan? Sudah pasti bukan. Tapi bagaimana kita punya banyak kemampuan dalam kehidupan. Karena sekolah dan kuliah bukan sekedar nilai saja.


Problematika selanjutnya adalah akreditasi yang di berikan pemerintah akan hasil penilaiannya. Oke mungkin itu benar ketika penilaian itu tanpa kebohongan dan kecurangan. Sala satu problematika sekarang adalah bahwa akreditasi ini menjadi standar orang dalam mencari ilmu, menjadi standar manusia dalam menentukan masa depannya. Yang harus kita tau bahwa akreditasi ini adalah produk dan hasil dari penilaian pemerintah bukan dari masyarakat secara langsung. Contoh penilaian mereka adalah adminstrasi kampus, apakah administrasi kampus ini menjadi acuan dalam menuntut ilmu?. Penilaian selanjutnya yang menjadi acuan akreditasi adalah banyaknya mahasiswa yang lulus dari suatu sekolah atau kampus, apa ini bisa menjadi acuan? toh, mereka Cuma menghitung banyaknya yang lulus, tidak menghitung seberapa bergunanya mereka di masyarakat dan untuk bangsan dan agama. Dan banyak lagi penilaian yang tidak seharusnya menjadi acuan seseorang untuk memilih pendidikan di Indonesia ini.


Problematika selanjutnya adalah kurikulum Indonesia yang mengharuskan seluruh siswa mengerti apa yang tercantum dalam kurikulum. Kita tau bahwa negara finlandia adalah negara yang diakui system pendidikan yang terbaik di dunia bagaimana mereka itu mengkemas kurikulum ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah. 


Problematika selanjutnya adalah ujian dan standar nilai yang menjadi acuan kemampuan seseorang. Kita melihat realitas sekarang bahwa nilai itu sudah jarang ada kemurnian disana, apapun cara dilakukan untuk mendapat nilai yang tinggi. Yang pada dasarnya itu jarang di pakai dalam kehidupan. Realita mahasiswa zaman sekarang adalah bahwa mahasiswa tak berani meninggalkan kuliah demi hal yang lebih baik, okelah mungkin itu sesuatu yang benar, tapi masih banyak mahasiswa yang ketika meninggalkan kelas tapi absennya ada, (titip absen) karena absen menjadi acuan nilai dosen. (analaogi saya untuk yang suka titip absen sih, seperti bencong, maunya jadi laki-laki atau perempuan sih, labil banget!! Kalian mau masuk apa gak sih!! Kok gak masuk tapi absennya ada!!) dan masalah mahasiswa dan siswa yang sekarang adalah kejujuran dan kedispilannya dimana ketika ujian ya menyontek!! Berusaha mendapat hal dengan cara yang tidak baik, dan belum tentu dosa yang kita lakukan itu di pakai juga di kehidupan. eman-eman banget siih


Yang harus kita tau adalah bahwa pendidikan ini adalah suatu usaha untuk membina kepribadian seseorang sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan”. Dalam Bahasa inggris pendidikan disebut dengan education, padahal kata itu sendiri berasal Bahasa latin yaitu educare dan educere. Educare dalam Bahasa latin memiliki konotasi melatih, menjinakkan, menyuburkan yang singkatnya pendidikan adalah proses menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat sesuatu menjadi jinak (dari sebelumnya liar). Yang dari sini sudah terpampang jelas bahwa problematika-problematika di atas sedikit berbeda dengan hakekat belajar dan pendidikan. Pendidikan adalah ikatan antara tanggung jawab dan proses pembelajaran serta hasil menjadi kesatuan utuh yang saling melengkapi. Proses itu dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan tidak akan berhenti saat kehidupan seseorang berakhir. Tujuan pendidikan sejatinya tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Allah SWT dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.