“kau mau buat aku gila bum, Hah!?” tanyaku dengan
begitu kesal
“kau tak akan gila dengan hanya sedikit melawan aturan
yang ada” jawab bumi santai
Aku tidak menjawabnya dan terus berjalan
“hei boy, hidup ini tidak sebatas aturan yang ada”
tambah bumi sambil mengejarku yang meninggalkannya
“dan hidup ini tidak sebebas apa yang kau lakukan
bumi” jawabku
Aku terus berjalan dan bumi masih saja terus tertawa
“bagaimana kalau kita mampir dulu ke bakso cak
arif?” kata bumi memecah keheningan
“boleh lah” kataku singkat
“tunggu” kata bumi sambil menghentikanku
“apalagi sih?” tanyaku yang masih kesal
Segera dia berlari kencang dan berteriak “yang
kalah, harus bayarin makan”
Tanpa pikir panjang aku segera mengejarnya dan
berteriak “woy, tungguin. Curang!!”
Sampai di bakso cak arif, aku mengatur nafasku yang tidak beraturan karena capek lari-lari di siang bolong begini
“eh mas awan, pesan apa ni?” tanya cak arif
“kok awan cak, namaku langit cak, langit” kataku
kesal, bercampur capek habis lari-larian
“kan awan itu di langit, boy” kata bumi yang nyahut
dari dalam warung
Tidak mau ku lawan perdebatan dengan cak arif
apalagi di bantu sama bumi. “biasa aja cak, mie ayam bakso” kataku sambil
berjalan ke arah bumi
“oke mas” kata cak arif
Bakso cak arif ini adalah langganan kami berdua, dalam
seminggu minimal kami mampir disini satu kali, dengan durasi nongkrong yang di bilang
cukup lama. Kami pun sangat akrab dengan cak arif, karena orangnya juga yang
begitu gampang dekat dengan orang lain. Sebenarnya bukan dari SMA aja kami
sering kesini, tapi dari kami SD kami sudah sangat sering maka bakso disini.
“udah tua banget kayaknya kita ya” kata bumi
“yaa lumayan sih” balasku
“ kau masih ingat lan, waktu pertama kenal sama cak
arif gak sih?” tanya bumi lagi. Yaa aku di panggil lan.
“wah, pada nostalgia ini” kata cak arif yang
tiba-tiba muncul dari balik dinding
“iya cak, sudah lama sekali ternyata ya” balas bumi
“ini di makan dulu baksonya” kata cak arif sambil
memberikan masing-masing pesanan kami.
“waktu itu kalian kelas 3 SD ya kalau gak salah?”
tambah cak arif
“iya cak” balasku
Ya itu cerita lama kami, ketika masih duduk di
bangku sekolah dasar tepatnya di kelas 3. Kala itu kami pulang dari sekolah,
karena kami singgah bermain bola jadi jemputan yang biasa menjemput kami pulang
duluan, sebenarnya tidak ada yang menyuruh mereka untuk pulang, tapi karena
menunggu kami yang begitu lama, mungkin mereka mengira bahwa kami sudah pulang
duluan.
Terpaksa kami berjalan kaki untuk sampai ke rumah.
Di tengah jalan, bumi lapar begitu pula aku. Dan disitu kami liat ada warung
bakso yang tidak besar, hanya bermodal gerobak dan tenda. Dulu warung bakso cak
arif tidak sebesar dan selaku sekarang. Kami akhirnya putuskan untuk makan
disana. pertama aku menolak ajakan bumi karena uang saku ku sudah habis, tapi
bumi menyakinkanku bahwa uang sakunya masih ada dan dia yang akan bayar
semuanya. Inilah awal dari semuanya. ketika kami selesai makan dan mau pulang, aku yang dibayarin
tenang-tenang saja, berbeda dengan bumi yang dari tadi sibuk membongkar isi
tasnya dan terlihat sangat panik dengan keringat yang banyak bercucuran. “kenapa bum?” tanyaku kala itu. Bumi
tidak menjawab, dia semakin sibuk dan semakin terlihat paniknya. Aku pun
kebingungan. Bumi berdiri dan berjalan menuju mas penjual bakso yang kita kenal
cak arif itu. Sebelum sampai, ku tahan dia, karena ada yang aneh dari bumi
setelah membongkar-bongkar tasnya “kenapa
bum? Ada duit kan?” tanyaku, berharap jawabannya positif, tapi dia tidak menjawab,
dia hanya tersenyum. Dan aku tau jawaban senyum itu, artinya tidak ada. Aku pun
ikut panik jadinya.
“mas, duitku
hilang ee. Di curi teman”kata bumi kepada
cak arif. Cak arif tidak menjawab dan hanya melototi kami berdua. “entar aku sama temenku cuci piring deh mas”
kata bumi. walaupun tidak ada
kesepakatan bersama sebelumnya, tapi tidak sepakatpun kami bisa apa. Lagi-lagi cak arif tidak
menjawab dan hanya terus melihati kami. Aku ketakutan dan bumi kayaknya sudah
hampir menangis. “santai aja, yaudah
kalian pulang aja, nanti di cari sama bapak dan ibu di rumah” kata cak
arif sambil tertawa. Disitu aku dan bumi saling pandang bingung, kok malah di
suruh pulang. “gak papa, itu rezeki
kalian berarti” kata cak arif tenang, sambil membersihkan mangkok.
“beneran mas?” tanya bumi untuk memastikan kata-kata cak arif.
“Iyaa gak papa.
Tapi jangan panggil mas, panggil aja cak. Cak arif. Kurang enak di telinga
kalau di panggil mas” kata cak arif
Mendengar kata-kata itu akupun lega, dan begitu pula
bumi, air matanya tidak jadi keluar.
“oh ternyata dulu uang kalian tidak hilang dan di
curi teman?” tanya cak arif
“gak tau aku cak, ini si bumi tanyain coba” kataku
sambil sibuk memberikan sambel dan kecap di baksoku
“iyoo cak” kata bumi sambil tertawa dan garuk-garuk
kepala
Cak arif tertawa keras.
“untung waktu itu aku baik yo, kalau gak udah cuci
piring kalian” kata cak arif
Kami bertiga hanya tertawa lagi. “atau mau cuci
piringnya sekarang aja?” goda cak arif
“wah, langit aja cak, dia paling jago cuci piring”
balas bumi menunjukku. Aku tidak membalas dan hanya fokus menikmati makanku
“padahal waktu itu si bumi ini mau nangis loh”
tambah cak arif lagi
“mana ada cak, gak ada aku mau nangis” balas bumi
membela diri
“padahal dia ini jagoan di sekolah cak” balasku
“pura-pura jagoan aja dia ini mah. Di suruh bayar
bakso aja, malah mau nangis” tambah cak arif tertawa keras
Kali ini skakmat juga si bumi, dia hanya diam dengan
muka kesalnya. Tapi jangan di sebut bumi kalau tidak punya 1000 cara untuk
membalik keadaan
“aku mau cuci piring deh cak” kata bumi
“beneran?” tanya cak arif bingung
“asal ada gajinya, orang yang cuci piring di
belakang kan di gaji cak” balas bumi dengan tertawa
Cak arif hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa.
“ada aja balasannya”
“jangan panggil dia bumi cak, kalau tidak bisa
membalik keadaannya kembali keatas” balasku
Kami bertiga kembali tertawa
“aku ke depan dulu yo, ada yang pesan kayaknya” kata
cak arif berjalan kedepan
“kau bayarin boy” kata bumi.
“lah kok gitu?” balasku tidak terima
“kau kalah lari denganku tadi” jawab bumi lagi
“kita belum ada kesepakatan soal itu” balasku lagi
“terus kenapa kau ikut lari?” balas bumi lagi
“yaa aku ingin lari aja” jawabku
“buat apa?” balas bumi singkat
“yaudah aku yang bayarin” kataku untuk menyudahi
debat yang pasti tidak ada akhirnya dan menghabiskan waktu
Kami berdua berjalan kasir. Disana ada cak arif dan
dua perempuan anak SMA yang ingin bayar juga
“cak” kataku. Membuat cak arif dan dua perempuan itu
berbalik kepadaku
“dia gak bawa uang, bisa tidak kalau kita cuci
piring saja” kataku sambil menunjuk bumi di belakang. Mendengar kataku, cak
arif dan dua perempuan itu tertawa. Ku lihat ternyata muka bumi merah menyala.
“ngawur aja kau lan. Berapa cak? Sini aku yang bayar
semua. Sama punya mba-mbanya juga sekalian” kata bumi. Aku di belakang tertawa
sembunyi-sembunyi
“beneran bayarin kami juga mas?” kata salah satu
cewek SMA itu
“iya. Berapa cak semua?” balas bumi lagi
“benaran boy?” tanya cak arif dengan tatapan menggoda. Kami sudah biasa dipanggil boy sama cak arif. Kami pun kadang keceplosan memanggilnya dengan boy. Dan
bumi yang paling sering memanggil cak arif dengan panggilan boy itu.
“beneran boy” balas bumi
“oke. Sama kalian berarti 100 ribu semua” kata cak
arif
Bumi sempat terdiam dan kurasa dia kaget akan
mengeluarkan duit sebanyak itu untuk makan bakso yang harusnya Cuma sepertiga
dari itu yang dia bayarkan. Tapi demi terlihat keren, segera dia keluarkan
dompetnya. Untung di dalam dompetnya ada uang pas 100 ribu. Walaupun mungkin 2-3
hari kedepannya dia gak akan makan dan minum di luar rumah. Aku di belakang
hanya tertawa saja, begitu pula dengan cak arif dan dua cewek SMA itu.
“makasih ya mas, kapan-kapan di bayarin lagi ya”
kata salah satu cewek itu sambil mengedipkan mata
Bumi yang bingung harus seperti apa, Cuma mengangguk
dan tersenyum dan pergi. Kami berdua juga ikut pulang. Di
tengah jalan, bumi diam. Tapi aku tau kalau dia diam berarti dia lagi
memikirkan sesuatu untuk menyerangku balik. Karena bukan bumi kalau sepanjang jalan cuma diam, apalagi kalau bersamaku
“lan, kamu menyakini keyakinanmu kan?” kata bumi
tiba-tiba
“iyalah, sudah pasti” kataku meyakinkan
“kamu yakin kalau berbohong itu dosa?” tanyanya
“iya pasti” balasku
“berarti kamu sudah melanggar tiga kali keyakinanmu”
kata bumi santai
“kok bisa?” tanyaku bingung
“pertama, ketika kau bilang yaudah nanti aku yang
bayarin ternyata tadi aku yang bayarin, kedua kau berbohong kalau aku tidak
punya uang. Dan ketiga, kau bilang masih meyakini keyakinanmu, tapi ternyata
tadi buktinya tidak” jelas bumi yang begitu serius
Aku terdiam, dan dia tertawa keras.
. . . BERSAMBUNG . . .