Jumat, 30 November 2018

Sederhana

Aku tak bisa menjadi apa yang kau pikirkan
Tak bisa menjadi seperti artis yang kau idolakan
Tak bisa menjadi seperti mantan yang pernah kau banggakan
Aku hanya menjadi aku yang begini
Yang begini dan tidak begitu

Aku tak ingin berubah karena keinginanmu
Aku tak ingin kau berubah karena keinginanku
Tapi berubah karena keinginan kita bersama
Untuk saling menutupi dalam tiap lubang kehidupan

Kau penyakit sekaligus obat bagiku
Sakit rasanya ketika kau menjadi penyakit
Dan sehat rasanya bila kau menjadi obat

Maka aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan apa adanya
Apa yang ku punya dan apa yang kau punya

Karena jalanku mencintaimu
Berbeda dengan jalan mereka mencintaimu
Karena caraku menyayangimu
Berbeda dengan cara mereka menyayangimu

Karena menyayangimu tidak butuh alasan tapi butuh keyakinan
Keyakinan bahwa kau tempatku pulang
Melepas peluh dan tangis di kala sedih menghampiri

Karena mencintaimu tidak butuh alasan tapi butuh kepastian
Kepastian bahwa kau tempatku kembali
Bercerita dan tertawa di kala bahagia itu singgah

Begitulah kerjanya
Karena dengan kepastian dan keyakinan
Akan hadir yang namanya ketulusan
Ketulusan untuk menerima satu sama lain
Walaupun dengan kekurangan dan kesalahan yang ada banyaknya

Selasa, 27 November 2018

Wanita Tengah Malam


“mau kemana rel?” kata bunda
“mau main kerumah teman bun” kataku
“iya, nginap atau gimana?” tanya bunda lagi
“ iya bunda, nginap. Nanti aurel berangkat kuliah dari sana” jawabku
Bunda tidak lagi membalas, berarti aku diizinkan. Segera aku pamit dan menaiki ojek online yang sudah ku pesan tadi menuju jalan mawar.
“neng, kok malam-malam gini keluar?” tanya tukang ojek
“mau ke rumah teman bang, ada tugas kuliah” balasku
“gak besok aja? gak baik loh perempuan keluar jam segini neng” balas tukang ojek lagi
“gak bisa bang” kataku singkat.
“atau jangan-jangan neng ini . . .” kata tukang ojek yang tiba-tiba berhenti
“jangan-jangan apa bang? Pelacur?” kataku sedikit marah
“maaf neng gak kok” kata tukang ojek itu lagi
“jangan sembarang kalau ngomong ya bang” kataku dengan nada yang tegas
“iya neng, maaf” kata tukang ojek itu lagi
Setelah itu, tukang ojek itu tidak mengeluarkan satu katapun lagi. Akupun malas ngobrol dengannya lagi. hanya Ku pandangi pemandangan selama perjalanan. Kota ini benar-benar bising, bahkan di waktu seperti ini, yang sudah menunjukkan tengah malam. Ini mungkin yang namanya hingar bingar kota. Semuanya ada disini, mereka yang kaya dan yang miskin, mereka yang baik dan yang buruk dan mereka yang suci dan penuh dosa.
Kami berhenti di depan lampu lintas menunggu warna hijau menyala. Ketika menunggu, datang anak kecil membawa gitar dan mulai ngamen di samping kami. Tidak dengan aku yang mengabaikan anak itu, tukang ojek itu malah asik mendengar nyanyian anak itu, walaupun suara bisa di bilang kurang bagus. Setelah selesai menyanyi, anak itu memberikan kantong untuk mengisi duit.
“kamu biasanya sehari dapat berapa dek?” tanya tukang ojek itu kepada pengamen
“biasanya sehari 50 ribu kak” jawab pengamen itu
“ini kakak, kasih kamu 100 ribu, tapi kamu pulang yaa. Udah malam waktunya istirahat. Besok kan sekolah” kata tukang ojek itu
“makasih kak, tapi aku gak sekolah kok” jawab anak itu lagi
“yaudah, pulang aja istirahat, bantuin orang tua yaa” suruh tukang ojek itu lagi
“iya aku pulang kak, makasih ya” kata anak itu dan segera pergi
Kami pun jalan lagi, karena lampu hijau pun sudah menyala.
Penasaranku memuncak, kenapa orang ini rela ngasih uang sebanyak itu demi anak kecil yang bahkan tidak dia kenal. Ku beranikan untuk bertanya kepadanya
“bang, kok tadi kasih uang banyak ke anak itu?” tanyaku
“kalau gak gitu, dia gak bakal pulang neng” katanya
“tapi itu banyak banget bang, paling juga uangnya di ambil bos atau orang tuanya bang” tambahku lagi
“setidaknya dia bisa pulang dan beristirahat, daripada dia berkeliaran malam-malam gini. Anak kecil pula” jelas
“tapi itu terlalu banyak bang” kataku dengan nada yang cukup tinggi
“ya, aku gak ada uang kecil juga sih, haha” jawabnya sambil tertawa
Jawabannya membuatku jengkel, bagaimana dia bisa dengan mudah mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk orang yang tidak di kenal, pelayanan nyanyinya pun tidak bagus. Tapi mungkin begitulah cara berpikirnya, aku tidak mau menanggapi lagi karena terlalu emosi.
Kami sampai di jalan mawar. Ketika ku bayar, ternyata memang dia tidak ada uang kecil. Segera ku masuk untuk menukar uang ke temenku, tapi tukang ojek itu memberhentikanku dan berkata “yaudah neng kalau gak ada, untuk kali ini gratis aja”
“eeh jangan bang” kataku, segera ku berlari ke dalam rumah, belum sampai rumah, motor ojek itu pergi meninggalkanku, yang membuatku bingung
Masih ku dalam kebingunganku, tiba-tiba seseorang datang mendekatiku, ternyata tante maya
“ngapain di luar rel, kok gak masuk?” kata tante maya
“gak kok tante, aneh aja tadi” kataku
“aneh kenapa?” tanya tante maya
“masa aku naik ojek online, tapi abangnya gak mau di bayar sih?” kataku
Tante maya tertawa dan berkata “itu bukan aneh rel, tapi itu namanya rezeki”
“iya sih tante” kataku sambil berjalan memasuki rumah.
“salah dia berarti rel, orang kencing aja bayar, masa ini gratis” kata tante maya sambil tertawa
Segera kami masuk kedalam rumah, ternyata rumah sangat sepi, hanya ada satu temanku yang lagi asik menonton tv.
“kok sepi tante?” tanyaku
“lagi pada dapat job rel” kata tante maya
Aku berjalan mendekati temanku yang lagi asik menonton tv. “kamu belum dapat job nen?” tanyaku
“eh aurel, iya ini. Aku juga tadi telat datang sih” kata neni
Aku duduk disampingnya
“kamu nonton apa sih? Serius amat nen” tanyaku
“ini rel, film supir yang menolong seorang cewek dan menggagalkan transaksi narkoba terbesar” katanya
“eeh iya nen, masa tadi aku naik ojek tapi tukang ojeknya gak mau di bayar sih?” kataku
“masa sih?” kata neni yang kayaknya tidak antusias dengan ceritaku
“iya beneran nen, tadi uangku kan gede, jadi mau aku tukar dulu karena abangnya tidak ada uang kecil, waktu aku mau masuk, dia bilang gratis. Waktu aku mau masuk lagi, eh dia malah kabur” kataku
“kamu bayar pakai goyangan ya rel?” kata neni menggodaku
“ih gilak, gak lah. Orang kalau mau di goyang itu bayar tau, bukan aku yang bayar” kataku
“siapa tau aja, kamu bayar pakai goyangan di semak-semak kan, hahaha” kata neni meledekku
“iiih gak lah, emang aku apaan” kataku
Dia hanya tertawa
“aurel ini ada job” kata tante maya dari ruang tamu
“lah kok aurel dulu sih tan” kata neni protes
“ yaa gimana lagi dong” kata tante maya
Aku hanya tertawa melihat muka cemberut neni. “aku pergi dulu yaa sayang, jangan sampai ketiduran nonton fimnya loh, entar job nya lewat” kataku.
Neni hanya cemberut.
Segera aku mendekati tante neni dan bertanya, “dimana tempatnya tante?”
“di hotel jaya, lantai 8, kamar nomer 804 ya. Dia minta sampai pagi” kata tante
“oke tante” kataku
Segera aku menuju garasi untuk membangunkan bang kosim, sopir tante maya itu

. . . BERSAMBUNG . . .

Jumat, 23 November 2018

Menjadi

Malam terasa sangat mencekam
Ketika tak ku dengar kabar darimu
Tapi aku tau, aku bukan siapa-siapa
Maka biarkan aku bermimpi, berharap dan berandai-andai memberi perhatian di kala sibukmu
Mengusap air mata ketika datang tangismu
Menjaga ketika tidur lelahmu
Tertawa bersama ketika bahagia datang menghampirimu
Menjadi selimut di kala dinginmu
Menjadi air ketika datan hausmu
Menjadi angin ketika panas tubuhmu
Siang terasa sangat menyengat ketika tidak ku tahu keadaanmu

Jumat, 16 November 2018

Ketidakpastian dalam selipan Doa

Kau adalah ketidakpastian yang selalu kurindukan
Kau ada dalam selipan doa ketika ku bertemu tuhan
Kau datang bagai hujan yang membasahi alam
Kaulah sang bulan menerangi gelapnya malam

Kau basuh peluh tangisan alam
Kaulah sang bintang
Yang datang memberikan keindahan
Kelap-kelip diatas awan
Membentuk rasio bintang
Yang indah tak tergantikan

Kau hembuskan angin kedamaian
Untuk jiwa yang kesepian
Kaulah adinda
Kuharap kau selalu lestari
Agar kau selalu bestari
Dalam doa tanpa henti
Dariku pecinta  sunyi
Yang kau gantungkan berhari-hari

Selasa, 13 November 2018

Mimpi Bukan Hanya Mimpi!

Malam ini dingin sekali bagiku, angin berhembus kencang, masuk menusuk tulang-tulangku.
“kayaknya aku harus pulang deh” kataku dalam hati.
Segera aku kembali ke apartement dan bersiap-siap, merapikan pakaian-pakaian yang akan ku bawa pulang. Kayaknya aku akan benar-benar pulang untuk melepas rindu selama bertahun-tahun tidak pernah kuinjak lagi rumahku itu.
“kau mau kemana li?” kata david dari pintu kamar.
“aku mau pulang vid” kataku sambil merapikan pakaian-pakaian
“kok?” tanyanya bingung
“aku harus pulang vid, melepas rindu yang sudah terlalu besar membendung ini” kataku sedikit puitis
“kapan rencananya pulang?” tanya david lagi
“5 jam lagi pesawatku” jawabku
“gila, kau belum pamitan dengan teman-teman yang lain loh” kata david sambil berdiri di depanku
“aku nanti juga kembali” kataku
“oh syukurlah, kapan kau kembali kesini lagi?” tanya david lagi
“ketika tuhan mengizinkan vid” jawabku
“itu tidak pasti bro. Kok kamu gak bilang-bilang dulu sih” katanya
Aku memberhentikan aktivitas melipatku.
“aku harus pulang vid, kenangan memanggilku” kataku
“ayoolah boy, bagaimana bisa kenangan memanggilmu? Hah?!” balas david dengan nada marah
“aku pun gak tau vid. Tapi kali ini aku akan tetap pulang” kataku menegaskan. Sebenarnya tiap tahun aku selalu ingin pulang, tapi sahabatku satu ini paling jago merayu dan membatalkan semua rencanaku untuk pulang.
“siapa yang mau kau ketemui disana li? Orang tuamu sudah meninggal semua. Dua adikmu sudah meninggalkanmu, siapa yang kau cari disana?” tanya david dengan nada emosi.
Aku tau kenapa dia begitu marah ketika aku memutuskan pulang ini. Karena dia senasib denganku. Dua orang tuanya meninggal, dan kedua kakaknya tidak mau mengurusinya lagi, sehingga dia yang harus menghidup dirinya sendiri. Dan kami berjuang di negeri ini bersama untuk mendapat apa yang kami punya sekarang.
“kau tau li, aku bentar lagi akan nikah dengan selena. Dan aku akan membatalkan itu ketika sahabatku tidak ada disitu” katanya dengan nada begitu marah dengan tangan yang terus menunjukku
Aku tidak menjawabnya dan terus merapikan barang-barang yang mungkin kan ku bawa pulang.
“kau tetap tidak mau mendengarku?” kata david yang kali ini sambil berteriak. Dia segera berlari ke koporku dan membongkar semua yang sudah ku susun rapi.
“hei apa yang kau lakukan?” teriakku sambil berlari mendorongnya
“kau liat li, sekarang aku sendiri. Apalagi kalau kau pulang, aku semakin kesepian. Aku sendiri li, aku sendiri li” katanya yang masih terduduk di lantai
“masih ada selena kan?” kataku sambil merapikan baju yang yang di hamburkan sama david
“kau tau bro, gara-gara kau aku bertemu selena, karena bantuan dan perjuanganmu juga selena menerimaku” katanya. “kau jangan diam saja li” tambahnya lagi
“aku akan tetap pulang vid” kataku
Ku kira kata-kata itu bisa meredam emosi david, segera dia berdiri dan duduk di sofa. Dia tidak berhenti melihatku, yang memancarkan harapan untuk ku tidak pulang.
“ada perempuan yang menunggumu kah?” katanya tiba-tiba. “atau ada utang yang belum kau lunasi? Atau apa yang belum kau selesaikan di negaramu?” tambahnya lagi
“ada janji yang harus ku tepati. Ada mimpi yang harus kuceritakan pada mereka yang membantu menggantungkan mimpi ini” kataku
Aku duduk di atas kasurku berhadapan jelas di depan david yang duduk di sofa
“ada rumah yang harus ku datangi, ada kampus yang harus ku sambangi, ada kuburan yang harus ku beri bunga, ada orang yang harus kuhidupi” kataku dengan nada lirih
David tidak menjawab dan hanya terus melihatku
“ada rahasia di balik kedua adikku yang harus kau tau vid?” kataku
“apa maksudmu?” tanya david
“mereka menungguku pulang, ku yakin tiap malam mereka menangis. Ku ingin mengusap air mata itu vid” kataku. “semua perjuangan mereka itu untukku, dan aku tidak bisa tetap disini menikmati kebahagiaan, sedangkan dia tersiksa dalam hidupnya” tambahku lagi
Segera aku berdiri.dan masuk ke dalam kamar mandi. Dua jam lagi aku akan berangkat. Aku harus siap-siap. Beberapa menit setelah mandi, ku dapati david sudah tidak ada disitu. Hanya tinggal secarik kerta yang tertuliskan “Kembalilah, mereka memang lagi membutuhkanmu”. Segera aku berlari ke apartement kawanku ini, tapi dia tidak ada disana. Tidak ada lagi waktu bagiku untuk mencarinya, karena waktuku untuk berangkat akan segera tiba.
Inikah perpisahanku dengan david? Terlalu pedih rasanya ketika aku tak bisa mengucapkan kata-kata perpisahan dengan sahabatku yang berjuang mati-matian bersamaku selama 5 tahun ini.
Taksiku telah datang, ku kembalikan kunci apartement, dan segera menaiki taksi. Dalam mobil tidak bisa kuhentikan tangisku karena akan berpisah dengan negara ini. Walaupun uangku yang banyak, dan aku bisa pulang-balik kesini dengan gampang, tapi entah kenapa hati ini terasa sangat hancur. Seketika ku lewati, panti asuhan yang dulu tempat kami menginap.
Ketika masih menjadi mahasiswa S2, aku sempet diusir sama pemilik apartement karena memukul anak pemilik apartement. Alasan kami jelas, anak itu mengganggu salah satu pemilik apartement bahkan melakukan pelecehan seksual kepada perempuan itu. Maka pukulanku dan david itu pantas untuk laki-laki brengsek sepertinya. Tapi itu membuat kami bingung harus kemana. Sempet kami berdua hidup di jalanan selama 1 minggu, tanpa kasur, tanpa selimut. Kami mandi untuk kuliahpun harus sembunyi-sembunyi di dalam kamar mandi kampus.
Sampai suatu hari, ada ibu-ibu berteriak keras, “rampok-rampok”, kami yang lagi asik makan di pinggir jalan dengan sigap berlari mengejar perampok itu. David melompat dan mengancing sebelah kakinya, tapi kakia satunya berhasil menendang, sehingga membuat kepala david bocor. Aku dari kebelakang kembali mencoba mengejarnya, segera aku melompat dan merangkulnya dari belakang, ku kancing keras badannya. David yang datang, langsung memukulnya, walaupun bagiku itu berlebihan karena banyak sekali darah yang keluar dari perampok itu, mungkin karena tendagan itu. Segera kuhentikan, sebelum dia  membunuh perampok ini.
Segera kami ikat dia, dan menghubungi polisi, karena memang jalanan itu sangat sepi. Segera ku kembalikan tas kepada ibu itu.
Kami di bawa ke kantor polisi untuk di minta keterangan. Setelah berjam-jam kami di minta keterangan, kami pulang. Tapi ibu itu mengajak kami untuk tinggal di tempatnya, mungkin ini rasa terima kasihnya, tapi begitulah mungkin orang baik, akan di bantu juga. Akhirnya kami tinggal di panti itu bersama anak-anak yang lain.

“bapak tidak papa, saya liat dari tadi bapak hanya menangis?” kata sopir taksi itu menghentikan tangisku
“tidak kok pak, saya hanya lagi mengingat sesuatu aja” kataku. Sopir itu hanya mengangguk.
“sudah sampai pak” kata sopir itu
“makasih ya pak” segera ku turun dan ku beri uang
“tapi ini lebih banget pak” kata sopir itu
“ambillah semua, karena tidak tau lagi, kapan aku bisa naik taksi seperti ini” kataku dan segera ku tinggalkan dia.
Sopir itu hanya terheran melihatku pergi
Memang semua punya kenangannya. Semua pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan, maka buat apa kutangisi lagi. Karena semua perpisahan akan menjadi pertemuan-pertemuan yang baru.
Setelah beberapa menit ku menunggu di ruang tunggu, waktunya pesawatku untuk berangkat. Dengan berat rasanya kaki ini ku langkahkan. Tapi beginilah aku. Aku akan tetap pulang. Untuk menyampaikan pada mereka bahwa mimpi ini bukan lagi menjadi mimpi dan ini karena mereka.
Diatas pesawat, tidak kudengar instruksi pramugari dan hanya memandang keadaan di luar pesawat. “mungkin suatu hari kita akan bertemu lagi, belanda, panti ceria, dan begitu pula kau david” kataku dalam hati
Pesawat mulai lepas landas

. . . BERSAMBUNG . . .

Jumat, 09 November 2018

Hujan

Hujan adalah hal yang paling ku tunggu
Karena suaranya membawaku pada manis senyummu
Karena wanginya membawaku pada cantik parasmu
Karena dinginnya membawaku pada baik pribadimu
Lagi ku mengingatmu
Di kala ku harus mengalah pada temanku
Tapi ternyata hati ini tak bisa
Berbesar hati menerima itu
Ternyata banyak duri yang masih tertusuk terlalu dalam
Kau tau
Mencoba ikhlas itu susah
Berbesar hati itu berat
Menerima takdir itu perih
Maka hanya lewat anginku sampaikan amarahku
Tapi begitu bodohnya aku menunggumu seolah kau memilihku
Dengan memberi apapun yang bisa ku berikan padamu
Tenagaku, materiku, waktuku, dan hatiku
Sampai pada titik ku tahu
Ternyata aku Cuma padang pasir
Yang menanti hujan
Ketika aku membutuhkanmu disampingku
Untuk membasahi keringnya aku
Dan kau pun tak datang
Dan itulah aku, selalu menunggumu, bodoh!
Aku selalu berdoa, agar skenario Tuhan berpihak kepadaku
Tapi tidak sesuai harapanku
bertahun-tahun sudah ku coba habiskan rasa ini padamu
Ketika setiap tahunnya ku memilih jalan melupakanmu
Kau selalu datang untuk membawaku kembali
Ke jalan untuk memperjuangkanmu
Dan waktu ku yakin kau tempatku kembali
Ketika hati ini butuh tempat berteduh dari perihnya hidup ini
Kau tempatku bercerita ketika kisah tak lagi bisa berkompromi
Hingga akhirnya aku sadar, tempat itu bukan milikku, dan milik kita
Tapi itu milikmu, miliknya, dan hanya menjadi milik kalian
Mungkin memang kamu alasan
Dibalik pelajaran bagiku
Untuk nantinya mencintai wanita lain layaknya mencintaimu
Mencintaimu dengan setiap tanpa syarat
Menyayangimu dengan yakin tanpa ragu
Aku tak bisa membandingkan
Seberapa besar rasa ini dibanding dia yang sekarang disampingmu
Karena membandingkan hanya akan merusak
Biarkan hati ini mengalir dan menentukan dimana akan bermuara
Aku paham bahwa sebeleum adanya perjanjian aku masih bisa mendapatkanmu
Tapi itu bukan jalan bagiku
Maka izinkan aku, wahai hatiku dan ikutlah bersamaku wahai hatiku
Kita mengambil jalan yang selalu kita ambil
Ketika kau merasakan sakit yang begitu
Dan wahai kau perempuanku
Ku harap kau tak lagi menjemputku
Karena sekalipun aku kecewa padamu
Sekalipun aku sakit hati padamu
Kau obat paling manjur
Menghilangkan sakit ini
Kau bagai penyakit dan obat
Sekaligus bagiku
Karena seberapa kuat pun aku berdamai dengan hati ini
Dirimu ternyata lebih kuat untuk berdamai dengan hatiku ini

Selasa, 06 November 2018

Langit dan Bumi

“kau mau buat aku gila bum, Hah!?” tanyaku dengan begitu kesal
“kau tak akan gila dengan hanya sedikit melawan aturan yang ada” jawab bumi santai
Aku tidak menjawabnya dan terus berjalan
“hei boy, hidup ini tidak sebatas aturan yang ada” tambah bumi sambil mengejarku yang meninggalkannya
“dan hidup ini tidak sebebas apa yang kau lakukan bumi” jawabku
Aku terus berjalan dan bumi masih saja terus tertawa
“bagaimana kalau kita mampir dulu ke bakso cak arif?” kata bumi memecah keheningan
“boleh lah” kataku singkat
“tunggu” kata bumi sambil menghentikanku
“apalagi sih?” tanyaku yang masih kesal
Segera dia berlari kencang dan berteriak “yang kalah, harus bayarin makan”
Tanpa pikir panjang aku segera mengejarnya dan berteriak “woy, tungguin. Curang!!”
Sampai di bakso cak arif, aku mengatur nafasku yang tidak beraturan karena capek lari-lari di siang bolong begini
“eh mas awan, pesan apa ni?” tanya cak arif
“kok awan cak, namaku langit cak, langit” kataku kesal, bercampur capek habis lari-larian
“kan awan itu di langit, boy” kata bumi yang nyahut dari dalam warung
Tidak mau ku lawan perdebatan dengan cak arif apalagi di bantu sama bumi. “biasa aja cak, mie ayam bakso” kataku sambil berjalan ke arah  bumi
“oke mas” kata cak arif
Bakso cak arif ini adalah langganan kami berdua, dalam seminggu minimal kami mampir disini satu kali, dengan durasi nongkrong yang di bilang cukup lama. Kami pun sangat akrab dengan cak arif, karena orangnya juga yang begitu gampang dekat dengan orang lain. Sebenarnya bukan dari SMA aja kami sering kesini, tapi dari kami SD kami sudah sangat sering maka bakso disini.
“udah tua banget kayaknya kita ya” kata bumi
“yaa lumayan sih” balasku
“ kau masih ingat lan, waktu pertama kenal sama cak arif gak sih?” tanya bumi lagi. Yaa aku di panggil lan.
“wah, pada nostalgia ini” kata cak arif yang tiba-tiba muncul dari balik dinding
“iya cak, sudah lama sekali ternyata ya” balas bumi
“ini di makan dulu baksonya” kata cak arif sambil memberikan masing-masing pesanan kami.
“waktu itu kalian kelas 3 SD ya kalau gak salah?” tambah cak arif
“iya cak” balasku
Ya itu cerita lama kami, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar tepatnya di kelas 3. Kala itu kami pulang dari sekolah, karena kami singgah bermain bola jadi jemputan yang biasa menjemput kami pulang duluan, sebenarnya tidak ada yang menyuruh mereka untuk pulang, tapi karena menunggu kami yang begitu lama, mungkin mereka mengira bahwa kami sudah pulang duluan.
Terpaksa kami berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di tengah jalan, bumi lapar begitu pula aku. Dan disitu kami liat ada warung bakso yang tidak besar, hanya bermodal gerobak dan tenda. Dulu warung bakso cak arif tidak sebesar dan selaku sekarang. Kami akhirnya putuskan untuk makan disana. pertama aku menolak ajakan bumi karena uang saku ku sudah habis, tapi bumi menyakinkanku bahwa uang sakunya masih ada dan dia yang akan bayar semuanya. Inilah awal dari semuanya. ketika kami selesai makan dan mau pulang, aku yang dibayarin tenang-tenang saja, berbeda dengan bumi yang dari tadi sibuk membongkar isi tasnya dan terlihat sangat panik dengan keringat yang banyak bercucuran. “kenapa bum?” tanyaku kala itu. Bumi tidak menjawab, dia semakin sibuk dan semakin terlihat paniknya. Aku pun kebingungan. Bumi berdiri dan berjalan menuju mas penjual bakso yang kita kenal cak arif itu. Sebelum sampai, ku tahan dia, karena ada yang aneh dari bumi setelah membongkar-bongkar tasnya “kenapa bum? Ada duit kan?” tanyaku, berharap jawabannya positif, tapi dia tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Dan aku tau jawaban senyum itu, artinya tidak ada. Aku pun ikut panik jadinya.
“mas, duitku hilang ee. Di curi teman”kata bumi kepada cak arif. Cak arif tidak menjawab dan hanya melototi kami berdua. “entar aku sama temenku cuci piring deh mas”  kata bumi. walaupun tidak ada kesepakatan bersama sebelumnya, tapi tidak sepakatpun kami bisa apa. Lagi-lagi cak arif tidak menjawab dan hanya terus melihati kami. Aku ketakutan dan bumi kayaknya sudah hampir menangis. “santai aja, yaudah kalian pulang aja, nanti di cari sama bapak dan ibu di rumah” kata cak arif sambil tertawa. Disitu aku dan bumi saling pandang bingung, kok malah di suruh pulang. “gak papa, itu rezeki kalian berarti” kata cak arif tenang, sambil membersihkan mangkok.
“beneran mas?” tanya bumi untuk memastikan kata-kata cak arif.
“Iyaa gak papa. Tapi jangan panggil mas, panggil aja cak. Cak arif. Kurang enak di telinga kalau di panggil mas” kata cak arif
Mendengar kata-kata itu akupun lega, dan begitu pula bumi, air matanya tidak jadi keluar.

“oh ternyata dulu uang kalian tidak hilang dan di curi teman?” tanya cak arif
“gak tau aku cak, ini si bumi tanyain coba” kataku sambil sibuk memberikan sambel dan kecap di baksoku
“iyoo cak” kata bumi sambil tertawa dan garuk-garuk kepala
Cak arif tertawa keras.
“untung waktu itu aku baik yo, kalau gak udah cuci piring kalian” kata cak arif
Kami bertiga hanya tertawa lagi. “atau mau cuci piringnya sekarang aja?” goda cak arif
“wah, langit aja cak, dia paling jago cuci piring” balas bumi menunjukku. Aku tidak membalas dan hanya fokus menikmati makanku
“padahal waktu itu si bumi ini mau nangis loh” tambah cak arif lagi
“mana ada cak, gak ada aku mau nangis” balas bumi membela diri
“padahal dia ini jagoan di sekolah cak” balasku
“pura-pura jagoan aja dia ini mah. Di suruh bayar bakso aja, malah mau nangis” tambah cak arif tertawa keras
Kali ini skakmat juga si bumi, dia hanya diam dengan muka kesalnya. Tapi jangan di sebut bumi kalau tidak punya 1000 cara untuk membalik keadaan
“aku mau cuci piring deh cak” kata bumi
“beneran?” tanya cak arif bingung
“asal ada gajinya, orang yang cuci piring di belakang kan di gaji cak” balas bumi dengan tertawa
Cak arif hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa. “ada aja balasannya”
“jangan panggil dia bumi cak, kalau tidak bisa membalik keadaannya kembali keatas” balasku
Kami bertiga kembali tertawa
“aku ke depan dulu yo, ada yang pesan kayaknya” kata cak arif berjalan kedepan

“kau bayarin boy” kata bumi.
“lah kok gitu?” balasku tidak terima
“kau kalah lari denganku tadi” jawab bumi lagi
“kita belum ada kesepakatan soal itu” balasku lagi
“terus kenapa kau ikut lari?” balas bumi lagi
“yaa aku ingin lari aja” jawabku
“buat apa?” balas bumi singkat
“yaudah aku yang bayarin” kataku untuk menyudahi debat yang pasti tidak ada akhirnya dan menghabiskan waktu
Kami berdua berjalan kasir. Disana ada cak arif dan dua perempuan anak SMA yang ingin bayar juga
“cak” kataku. Membuat cak arif dan dua perempuan itu berbalik kepadaku
“dia gak bawa uang, bisa tidak kalau kita cuci piring saja” kataku sambil menunjuk bumi di belakang. Mendengar kataku, cak arif dan dua perempuan itu tertawa. Ku lihat ternyata muka bumi merah menyala.
“ngawur aja kau lan. Berapa cak? Sini aku yang bayar semua. Sama punya mba-mbanya juga sekalian” kata bumi. Aku di belakang tertawa sembunyi-sembunyi
“beneran bayarin kami juga mas?” kata salah satu cewek SMA itu
“iya. Berapa cak semua?” balas bumi lagi
“benaran boy?” tanya cak arif dengan tatapan menggoda. Kami sudah biasa dipanggil boy sama cak arif. Kami pun kadang keceplosan memanggilnya dengan boy. Dan bumi yang paling sering memanggil cak arif dengan panggilan boy itu.
“beneran boy” balas bumi
“oke. Sama kalian berarti 100 ribu semua” kata cak arif
Bumi sempat terdiam dan kurasa dia kaget akan mengeluarkan duit sebanyak itu untuk makan bakso yang harusnya Cuma sepertiga dari itu yang dia bayarkan. Tapi demi terlihat keren, segera dia keluarkan dompetnya. Untung di dalam dompetnya ada uang pas 100 ribu. Walaupun mungkin 2-3 hari kedepannya dia gak akan makan dan minum di luar rumah. Aku di belakang hanya tertawa saja, begitu pula dengan cak arif dan dua cewek SMA itu.
“makasih ya mas, kapan-kapan di bayarin lagi ya” kata salah satu cewek itu sambil mengedipkan mata
Bumi yang bingung harus seperti apa, Cuma mengangguk dan tersenyum dan pergi. Kami berdua juga ikut pulang. Di tengah jalan, bumi diam. Tapi aku tau kalau dia diam berarti dia lagi memikirkan sesuatu untuk menyerangku balik. Karena bukan bumi kalau sepanjang jalan cuma diam, apalagi kalau bersamaku
“lan, kamu menyakini keyakinanmu kan?” kata bumi tiba-tiba
“iyalah, sudah pasti” kataku meyakinkan
“kamu yakin kalau berbohong itu dosa?” tanyanya
“iya pasti” balasku
“berarti kamu sudah melanggar tiga kali keyakinanmu” kata bumi santai
“kok bisa?” tanyaku bingung
“pertama, ketika kau bilang yaudah nanti aku yang bayarin ternyata tadi aku yang bayarin, kedua kau berbohong kalau aku tidak punya uang. Dan ketiga, kau bilang masih meyakini keyakinanmu, tapi ternyata tadi buktinya tidak” jelas bumi yang begitu serius
Aku terdiam, dan dia tertawa keras. 

. . . BERSAMBUNG . . .