Jumat, 02 November 2018

Liputan, Penyamaran dan Masa Lalu

“bagiku, kota jogja adalah kota seribu kisah” kataku memecah keheningan
“oh ya? Berarti banyak kenanganmu ya disana” tanya sinta dengan wajah penasaran
“bukan banyak lagi sin, tapi sangat banyak” jawabku sambil tertawa kecil
“Oh ya?” tanya lagi tapi dengan gaya khasnya melipat tangan diatas meja dan kepalanya yang menimpa tangannya.
aku tidak menjawabnya, aku memalingkan wajah dan melihat langit gelap kota. “balik yuk” ajakku
“oke, ayoo” jawab sinta
Akhirnya kami pulang dari cafe tempat kami nongkrong, sebenarnya tidak murni nongkrong juga, ada kerjaan yang harus dikerjakan bersama


Esok Hari
“Selamat pagi mas” sapa satpam di depan pintu kantor
“iya, selamat pagi juga pak” balasku
Kenalkan aku bagas, wartawan di salah satu media di kota ini. sebenarnya aku tidak pernah bercita-cita menjadi seorang wartawan, tapi entah kenapa hari ini, dan 2 tahun yang lalu aku mendaftar kesini.
“hai gas” sapa sinta dari belakang
“oh hai. Kok tumben gak mau di jemput?” tanyaku
“iih mau tau aja sih” katanya cuek dan meninggalkanku
atau mungkin juga perempuan itu adalah salah satu alasanku mendaftar menjadi wartawan disini. Tapi terlepas dari kisah asmaraku dengan sinta, ada juga hal yang menarik bagiku di dunia wartawan, yaitu memberitahu dan menyajikan sebuah informasi kepada orang yang tidak mengetahui. Ketika aku masih mahasiswa dulu, kata-kata dari seniorku yang membawaku ke kantor ini, dia bilang “gas, kamu tau kenapa banyak terjadi perpecahan? Pertengkaran?”, “gak tau bang, apa emang?” jawabku menggeleng kepala. “karena mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi gas”. Percakapan itu tidak pernah ada kelanjutannya. seniorku itu memang rada sibuk, selain sebagai mahasiswa dia merangkap juga menjadi ketua organisasi eksternal kampus, sekaligus ketua departement di BEM Fakultas. kami jarang sekali ketemu semenjak dia sibuk, sekalinya ketemu, yang kami bahas adalah pergerakan organisasi eksternal lain atau sekedar gosip-gosip organisasi sendiri.ditambah lagi setelah dia masuk di BEM Fakultas sampai ke BEM Universitas, cara pandang kami sangat banyak berbeda, dari masalah organisasi eksternal kampus, perpolitikan sampai masalah ekonomi. Namanya doni. Dia mahasiswa ilmu komunikasi di kampus berbeda denganku, sedangkan aku adalah mahasiswa jurusan teknik mesin. 
Berbeda dengan teman-temanku, aku adalah orang yang tidak begitu rajin kuliah. Banyak temanku bilang kalau itu gara-gara organisasi yang kuikuti. Tapi bagiku mereka salah. Mereka terlalu dibutakan oleh ilmu yang didapatkan oleh bangku kuliah, sehingga aktivitas lain dilupakan. belakangan aku menyadari bahwa pendapatku barusan banyak kelirunya. Toh, setiap orang dapat memilih jalannya sendiri-sendiri. Mereka tahu apa yang dipilih, sehingga tidak akan menyesal di kemudian harinya ketika yang di pilih menimbulkan resiko yang besar. Ketika aku memilih lebih aktif di organisasi, itu adalah pilihanku, kalau orang mengatakan bahwa kuliahku akan terganggu, biar itu menjadi resikoku, terima kasih telah mengingatku, tapi aku sudah siap akan itu dan menghadapi resiko itu. Begitu pula sebaliknya.
Kembali pada masalah wartawan tadi, aku percaya, aku bisa menyajikan dan menyampaikan apapun yang ku liput kepada mereka diluar sana yang tidak mengetahui hal yang terjadi disini, supaya mereka tau, karena bagiku mengetahui sesuatu itu penting. sehingga tidak terjadi perpecahan, pertengkaran ataupun keributan yang tidak penting. Iya kan bang doni?
Segera aku masuk menuju kantor, dan melihat daftar apa yang perlu kuliput hari ini. Tapi ternyata tidak ada namaku dalam daftar peliputan. “namamu gak ada gas?” kata salah satu temanku. “iya ini kok gak ada ya? Apa aku libur ya?” tanyaku bingung. Ya sebagai wartawan yang tidak mendapat jatah untuk meliput, ya jadinya aku nganggur di kantor. Semua teman-temanku sudah pada berangkat. Ternyata tidak Cuma aku yang tidak dapat liputan, tapi sinta pun begitu. Dia begitu gelisah kulihat karena tidak dapat liputan, segera ku samperin dia. “kamu kenapa, gelisah banget keliatan?” tanyaku sedikit jengkel melihat dia mondar mandir tidak jelas. “kok aku gak dapat liputan ya?” balasnya yang masih saja tegang. “ya tenang dulu sin, mungkin emang kita libur kan?” hiburku.
“atau mungkin kita sudah tidak di pakai lagi gas?” katanya dengan muka yang begitu panik. Aku juga mulai berfikir begitu, jangan-jangan kita di pecat!. Aku tidak membalas pertanyaannya, dan juga ikut terdiam. “kalian berdua kenapa masih disini?” kata suara yang muncul dari belakang memecah keheningan kami. dia adalah pak banu, Kepala tim disini, dia yang mengatur semua jadwal liputan. Segera sinta berjalan mendekati pak banu “pak kok kami tidak ada liputan? Kami tidak di pecat kan?” kata sinta menatap tajam tapi penuh iba. pak banu tidak menjawab, dia malah tertawa sangat keras. Akupun ikut bingung, kenapa bapak ini malah memilih tertawa daripada menjawab pertanyaan. “kalian pasti tidak membaca memo yang aku berikan di meja ya?” tanyanya kepada kami. kami berdua saling bertatapan, “memo pak, memang ada ya?” kata sinta bingung. “yaudah, gak perlu. Sekarang kalian ikut saya ke ruang redaksi” kata pak banu, dan setelah itu pak banu berjalan menuju ruang redaksi tersebut. Kami berdua pun mengikuti dari belakang.
Segera kami duduk didepan pak banu yang masih sibuk mengeluarkan berkas-berkas dari rak mejanya. Aku berdua masih diam. “jadi gini sinta, bagas. Memang kalian tidak aku kasih liputan seperti biasa” kata pak banu. “yah itu kan, terus gimana dong pak?” kata sinta memotong pembicaraan dengan wajah memelas. Pak banu malah tertawa lagi. “makanya dengerin aku sampai selesai sinta, jangan di potong dulu” kata pak banu. “jadi gini, aku mendapat kabar kalau 4 minggu lagi akan ada aksi besar-besar di depan istana negara. Dan aku minta kalian berdua yang meliput itu” tambah pak banu lagi.
Aku dan sinta hanya saling tatap. “kenapa kalian? Kok kaget begitu” tanya pak banu. “tidak pak, Cuman kalau liput aksi demonstrasi gitu kan, biasa aja pak” kataku. “iya pak, kalau emang aksi demonstrasinya itu masih 4 minggu lagi, buat apa udah dikasih sekarang pak?” tambah sinta. Pak banu kembali tertawa. Begitulah khas pak banu, ketika orang-orang di luar sana stress karena bos mereka galak dan segala macamnya, kami disini senang karena pak banu  yang suka sekali tertawa. “makanya itu aku bilang ini khusus. Diduga bahwa aksi demonstrasi ini ditunggangi oleh partai politik dari partai oposisi pemerintahan sekarang” jelas pak banu. Dahiku mengkerut, kayaknya ini akan susah, fikirku. “ini bisa menjadi headline yang booming gas, kita akan membongkar seluruh kerusakan negeri ini, bagaimana partai politik oposisi ini menjatuhkan lawan politiknya dengan membawa masa yaitu mahasiswa” tambahnya lagi
“bagaimana caranya pak?” tanya sinta. “nah ini yang kusuka darimu sin, pasti kamu tertarik kan?” tanya pak banu, sinta tidak menjawab, hanya menganggukan kepala. “jadi aku minta ke kalian untuk bergabung bersama aliansi, mencari informasi dan bongkar semua. Mengikuti rapat koordinasi sampai dengan aksi hari H terjadi demonstrasi besar-besaran” jelas pak banu.
“jadi kami harus menyamar sebagai mahasiswa pak?” tanyaku. “tidak juga gas, jadi aksi itu akan menggalang masa begitu banyak tidak hanya mahasiswa, tapi juga menggaet masyarakat yang ingin ikut bergabung. Maka kalian datang sebagai masyarakat itu” jawabnya. Aku diam, tidak dengan sinta yang sibuk menulis di buku catatannya.  “selama sebulan kedepan berarti kami akan bersama mereka terus pak? Bagaimana dengan kerjaan di kantor?” tanya sinta. “iya kalian akan disana, aku izinkan kalian sebulan ini untuk tidak presensi kok, santai gaji tetap. Bahkan kalau berita ini sukses, kalian akan dapat bonus yang super besar” kata pak banu. Aku lagi-lagi diam, berbeda dengan sinta yang terlihat sangat senang.
“kenapa kami pak?” tanyaku. Ternyata pertanyaanku ini, membuat suasana dalam ruangan tidak lagi seperti tadi, sedikit ada ketegangan. “kenapa? Kalian tidak mau?” tanya pak banu dengan muka yang serius. “mau pak” jawab sinta cepat. Dia melirikku, lirikan itu menyuruhku untuk diam sepertinya
“aku minta bantuan kalian karena aku tau perjalanan aktvis kalian. Aku yakin kalian bisa menyelesaikan ini. Apalagi kamu gas, orang yang pernah menjadi korlap bahkan sampai kordum demonstrasi, sangat meyakinkan bagiku” jelas pak banu
“iya kami siap meliput itu pak” kata sinta. “kalau aku percaya kamu siap sinta, Cuma partnermu ini gimana?” tanya pak banu. “dia juga siap kok pak” jawab sinta cepat, sinta menendang kecil kakiku, dia berharap aku segera mengiyakan. “gimana bagas?” tanya pak banu kepadaku. Entah kenapa mulut ini sangat susah untuk mengeluarkan kata siap. Segera aku melihat sinta, mukanya yang penuh harap bagiku “iya pak saya siap” kataku dengan sedikit terpaksa. Ketika aku berpaling kesamping, sinta tersenyum kepadaku, ku balas dengan senyum juga, walaupun senyum kali ini agak kecut, masih ada yang mengganjal, tapi entah apa. Setelah itu kami diberi berkas-berkas yang perlu kami pelajari lebih awal. 
Kami pamit keluar dari ruangan, menuju kantin. Ditengah jalan kuhentikan sinta. “kamu yakin?” kataku kepadanya. “aku yakin lah gas, kok kamu gak yakin gitu sih?” balas sinta. Aku diam, entah kenapa. “hei, aku yakin sama kamu gas. Kamu mau kan kerja bareng aku?” katanya memegang kedua bahuku. “iya sin” kataku singkat. “gak usah takut dong, santai aja gas” katanya sambil tersenyum. Dia berjalan, aku masih terdiam berdiri membatu. Tiba-tiba dia kembali dan menarikku “ngapain bengong sih, ayoo ke kantin yuk” ajaknya. 

---Di Kantin Kantor---
"bu, aku bakso urat satu sama es jeruk. kamu apa gas?" tanya sinta
aku melamun menatap langit diluar jendela, entah hari itu kepalaku seperti sangat ramai berkecamuk. berapa kali panggilan dari sinta tidak menyadarkanku sampai dia mengguncang tubuhku, segera aku sadar dan kembali fokus ke dia "apaan?" tanyaku sambil ngangkat alis
"apaan, apaan, kamu mesen apa. melamun mulu" balas sinta sewot.
"mas bagas, mas bagas, masih pagi-pagi udah ngelamun aja" timpal ibu kantin. ibu kantin disini sangat ramah dan friendly dengan karyawan juga, tapi kayaknya kebanyakan ibu kantin gitu deh sifatnya. aku hanya menjawab celetukan itu dengan tertawa tipis. 
"kamu mesen apa emang sin?" tanyaku
sinta menarik nafas panjang. aku tau kalau aku sedikit menjengkelkan karena melamun, tapi seharusnya dia tidak perlu sampai menarik nafas panjang untuk pertanyaanku, seolah aku melakukan kejahatan yang sangat buruk saja. aku menatapnya sambil mengangkat kedua alisku, aku berharap dia memahami kodeku untuk minta dijawab pertanyaanku tadi, kayaknya kalau aku mengulangi pertanyaanku, dia akan menarik nafasnya lebih panjang lagi. "aku mesen bakso urat dan es jeruk"
"Pagi-pagi gini kamu makan bakso urat" kataku menpertanyakan."banyak nanya lagi, aku lagi pengen itu aja udah" balas sinta ketus. selalu kalau jawaban yang dilontarkan sinta adalah soal kepengenannya dia, aku selalu memilih untuk tidak lanjut bertanya. "saya bubur ayam dan air putih bu". ditengah kami yang khusyuk menikmati makanan, pak banu muncul, "kalian sudah aktif mulai hari ini,jadi kalau mau pulang sekarang juga bisa kok" kata pak banu. aku dan sinta hanya mengangguk mengerti. 
"nanti malam nongkrong lagi di cafe semalam ya" kata sinta sambil membersihkan mulutnya dengan tisu. aku mengiyakan ajakan itu dengan hanya memberi simbol tangan jempol yang mengartikan setuju
. . . BERSAMBUNG . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar