Jumat, 24 April 2020

Budaya Kita adalah "Masih Untung bro, aku lebih susah" - (Ramadhan Menulis #01)

Indonesia adalah negara kepulauan dengan begitu banyak suku. Dari suku-suku tersebut, mereka punya budaya masing-masing yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ada kebudayaan yang sampai hari ini masih biasa dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat indonesia, apa itu? Menceritakan kesusahan yang lebih dari kesusahan orang lain.


Pernah gak sih kamu lagi asik ngobrol atau cerita tentang kehidupan malang yang dialami, lalu disamber sama temanmu, responnya pun ngawur. Contohnya seperti ini, “anjiir, tadi aku di tabrak e. Ini tangan kananku lecet” lalu temanmu dengan semangat menggebu-gebu membalas “masih untung bro, Cuma lecet doang. Aku loh di tabrak, tangan kiri patah” lalu kamu dan teman lainnya memberi tepuk tangan, *eeeeh tidak gitu dong. Lalu temanmu yang lain lagi membalas “lah masih untung cuma tangan kiri, aku tangan kanan dan kiri, sama kaki kanan juga bro” lalu kalian standing uplause. Hahaha!

Tidak sedikit obrolan seperti ini terdengar di meja-meja tongkrongan, tidak hanya anak muda, orang tua pun sama saja. Yang membuat saya penasaran, sebenarnya darimana datangnya “kebudayaan” seperti ini?

Tidak sedikit orang yang melakukan itu, tapi apa untungnya sih melakukan perbandingan kesusahan seperti itu? Harusnya hal-hal yang tidak perlu kita bandingkan, tidak perlu dibandingkan.

Tapi tunggu dulu, mungkin ada makna di balik itu semua, apa itu?
Yang pertama, respon temanmu itu Supaya kamu bisa pandai bersyukur dan berterima kasih. "Bersyukur tanganmu Cuma lecet, temanmu tangan kanan dan kiri, lalu kaki kanannya patah". 
Yang kedua, sebagai peringatan untuk hati-hati dalam bertindak. "Berhati-hati dalam berkendara, mungkin sekarang kamu Cuma lecet, bisa-bisa besok tangan dan kaki yang patah".

Tidak hanya itu, kebiasaan ini sampai masuk ke sendi kehidupan kampus. Akhir-akhir ini kita tau bahwa semua instansi pendidikan melakukan pembelajarannya di rumah atau melalui media online untuk menghindari penyebaran covid-19. Entah itu tatap muka melalui aplikasi ataupun tugas-tugas. Yang membuat menarik adalah tidak sedikit dosen yang hanya memberi tugas saja, tanpa ada pertemuan atau pemberian materi. Karena hal itu, tidak sedikit mahasiswa yang sambat di media sosialnya dong. Dan ada salah satu sambatan mahasiswa yang masuk dalam akun instagram hits kampus begitu. Inti sambatannya adalah beliau merasa dosen tidak wajar memberi tugas pada setiap jadwal kelas, “memangnya kuliah online Cuma memberi tugas ya? Harusnya ada metode yang lebih modern dong”.
Yang tambah menarik adalah adalah beberapa komen yang Mungkin kesal dengan sambatan beliau dan mengeluarkan kata-kata nasehat seperti “lah dek, jaman saya dulu lebih parah lagi, tugas numpuk, laporan sudah deadline, .. . bla. .Bla. . .bla” *ini kayaknya senior-seniornya yang lagi mengenang masa kuliah, lalu ada juga yang Cuma berkomentar sedikit tapi pedas seperti “Aleman s*” dan ada juga yang mendukung sambatan tersebut seolah berkata “kita satu frekuensi kawan. Mari perjuangkan hak mahasiswa”.

Yang saya mau bilang adalah bahwa “sambat adalah kritik yang kurang tersalurkan” . Jadi tidak perlu menghakimi orang akan sambatannya. Kita tidak perlu bilang kita lebih susah lah, lebih berat lah, emang dilan apa, ‘rindu itu berat’. Tapi kalaupun tetap mau berkomentar yasudah. Seperti yang saya bilang diatas, itu sebagai nasehat untuk bersyukur dan berterima kasih, dan sebagai peringatan untuk hati-hati. Toh jaman selalu berubah, waktu terus berjalan, Kehidupan ini dinamis bro.

Dari sambatan tersebut beliau tidak hanya menyampaikan “keluhannya saja, tapi juga kritik tentang model pembelajaran yang harusnya lebih baik, tidak hanya tugas dan tugas. Apalagi jaman sudah modern dan semakin maju, banyak aplikasi canggih seperti zoom, group whatshapp, ada skype, bisa juga live instagram atau kalau mau yang lebih sangar lagi pake bigo live.

Jadi tidak perlu lah menganggap hidupmu paling berat, paling susah, paling wadidaw. Cukup nikmati saja.

Tapi tunggu dulu, budaya ini sebenernya sudah pernah dilakukan, bahkan ketika zaman penjajahan dulu, Tapi dengan metode terbalik. Kalau biasanya kita yang bilang soal kesusahan kita ke teman, dan teman menimpali dengan kesusahannya yang lebih parah, ini kebalikannya. Siapa itu? Ir. Soekarno. Kata-katanya begini “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”!

01 Ramadhan 1441 H

1 komentar: