Senin, 27 April 2020

Manifestasi Lagu Si komo lewat tol - (Ramadhan Menulis #04)

Macet lagi macet lagi
Gara-gara si komo lewat
Pak polisi jadi bingung
Orang-orang ikut bingung

Macet lagi macet lagi
Gara-gara si komo lewat
Jalan Thamrin, jalan sudirman
Katanya berkeliling kota

Momo si komo, hey. . Mau kemana?
Saya mau liat gedung-gedung bertingkat
Momo si komo, hey. . Mau kemana?
Saya mau liat pembangunan merata

La la la la la la la
Weleh weleh weleh weleh weleh

Ada taman mini indonesia jakarta semua ada
Komo jalan-jalan, berkeliling kota
Weleh weleh weleh weleh weleh

Macet lagi macet lagi 
Gara-gara si komo lewat
Lewat H.I lewat Harmoni
Terakhir sampai dimonas

Macet lagi macet lagi
Eh macet, jalanan macet
Macet lagi macet lagi
Lebih baik naik bis kota
Macet lagi macet lagi
Eh macet, jalan macet
Macet, macet lagi
Lebih baik lewat jalan tol

Weleh weleh weleh weleh weleh

Berikut adalah lirik lagu Si komo lewat jalan tol yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh melisa, seorang penyanyi cilik.
Ceritanya si komo ini lagi mau studi banding ke jakarta. Si komo datang jauh-jauh dari pulau komodo yang berada di Nusa Tenggara Timur untuk melihat kemajuan dan peradaban yang ada di ibukota negara, jakarta. Sesampainya di jakarta, si komo melihat kemajuan, banyak gedung-gedung tinggi, ada taman mini indonesia indah, pokoknya di jakarta semua ada, menurut si komo. Mungkin berbeda dengan kampungnya.
Tapi buat apa si komo datang ke jakarta kalau mau lihat pembangunan merata? Padahal kalau si komo datang ke jakarta, sudah pasti dia akan melihat pembangunan yang hebat, gagah, dan maju. Jakarta sudah menjadi wajah kemajuan indonesia. Tapi apakah benar?
Memang benar kalau kita datang ke jakarta, kita akan melihat megahnya gedung tinggi. Gedung dengan berpuluh-puluh lantai sangat biasa di temui disana. Tapi di balik itu semua?
Data menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan jakarta tahun 2019 adalah sebesar 365,55 ribu jiwa manusia. Untuk daerah dengan tingkat kemajuan dan pembangunan yang sangat pesat, nilai ini terlihat sangat besar , jangan dibandingkan dengan daerah yang tingkat pembangunannya lamban, sudah pasti lebih tinggi dibanding jakarta.
Di tambah lagi data menyebutkan bahwa di jakarta pada tahun 2018 ada 62 anak terlantar, 128 anak jalanan, 380 orang lanjut usia terlantar, 1792 gelandangan, 532 pengemis. Untuk daerah dengan gambaran kemajuan yang hebat, bagi si komo angka-angka ini sudah sangat melecehkan wajah kemajuan dan pembangunan jakarta.
Yang paling jahat dari pembangunan yang pesat, dan kemajuan yang hebat adalah kesenjangan sosial yang tinggi. Ada orang yang mengeluh karena bosan makan ayam melulu, di lain tempat ada orang yang mengeluh karena sudah 3 hari tidak makan.
Akhirnya dampak dari kesenjangan dan kemiskinan yang tinggi, salah satunya adalah kriminalitas yang tinggi. Data menyebutkan bahwa provinsi jakarta pada tahun 2018 memiliki 34.655 kejadian kejahatan yang dilaporkan ke polda metro jaya, menjadi nomer 1 di indonesia. Ditambah lagi provinsi jakarta memiliki persentasi tertinggi dalam tindakan pencurian tahun 2018 yaitu sebesar 14,23 % di susul sumatra selatan dengan 9.9 %. Tidak mungkin dong mencuri hanya karena hobi, tidaak dong. Tentunya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Lupakan jakarta, karena tujuan si komo adalah studi banding, maka tentunya ia ingin membandingkan keadaan jakarta dengan kampungnya di Nusa Tenggara Timur.
Data menyebutkan bahwa NTT memiliki jumlah masyarakat miskin pada tahun 2019 adalah sebesar 1.146,32 Ribu atau 1,1 juta jiwa dari 4.5 juta jiwa masyarakat NTT. Jadi ada sekitar 20 persenan masyarakat NTT yang hidup dalam kemiskinan. Berbeda jauh sekalikan dengan jakarta. Dengan populasi manusia sebesar 10 jutaan jiwa manusia, masyarakat miskin sebanyak 300an ribu, sedangkan NTT hampir seperlima masyarakatnya berada dalam keadaan miskin.
Ini mungkin yang mau diliat sama si komo. Si komo mikir gini “kok bisa ya tingkat kemiskinan jakarta lebih rendah dari kampungku, padahal aku pernah dengar, katanya lebih sedikit orang akan lebih gampang mengelolanya, tapi kok malah begini jadinya. Jadi saya ke jakarta bukan liat pembangunan merata dong, tapi melihat pembangunan sepihak. Huhuhu” lalu si komo bersedih dan galau berkepanjangan.
Di tengah kebimbangan dan kegalauan si komo, dia mikir “apakah pembangunan selalu identik dengan kesejahteraan masyarakat? Apakah rakyat kecil akan menikmati tingginya gedung-gedung? Apakah rakyat kecil akan menikmati megahnya hotel-hotel bintang lima? Apakah pembangunan murni untuk masyarakat atau hanya untuk kepentingan sekelompok golongan saja?” belum juga habis pikiran yang lalu, tambah lagi pikiran si komo. Makin bingunglah si komo.
Si komo ingat, waktu itu dia lagi nyari makan, ketika melewati salah satu rumah warga, si komo dengar dari dalam rumah tersebut ada suara begini “pemerintah akan merancang destinasi wisata yang keren. Seperti pulau komodo dan wae rebo akan dijadikan sebagai destinasi wisata premium. Dalam arti biayanya menjadi lebih mahal tentunya”. “wah berarti pajaknya mahal ini, bisa memajukan masyarakatku dong” pikir si komo begitu. Dalam perjalanannya, si komo terhenti oleh pikirannya sendiri “bagaimana kalau uangnya malah masuk kantong swasta, malah masuk kantong golongan tertentu, dan hanya sepersekian kecil saja yang diberikan untuk masyarakatnya?”. padahal di depan si komo ada rusa yang lagi tidur, dan siap untuk di terkam, tapi nafsu makan si komo langsung hilang karena pikiran-pikiran yang mengganggunya. “ah pusiing mikirin keadilan untuk rakyat kecil. Mending cari komodo betina aja lah”. 
Akhirnya si komo berkembang biak dan punya dua anak yang lucu-lucu dan instagramble banget~

Tapi tunggu dulu, di lirik lagunya ada katanya begini :
"Macet lagi macet lagi 
Gara-gara si komo lewat
Lewat H.I lewat Harmoni
Terakhir sampai di monas"
Kenapa berakhirnya di monas? Atau jangan-jangan si komo mau aksi lagi ~

*data diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS)

04 Ramadhan 1441 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar