Sebenarnya apa yang membedakan antara mahasiswa dan
para pejabat? Jawabannya gampang. Kelakuan dan masa depannya.
Beberapa waktu lalu kita dilihatkan dengan tindakan
pemblokiran internet yang terjadi di papua. Pemerintah mengatakan bahwa
pemblokiran ini adalah bentuk kewaspadaan akan terjadinya kerusuhan lebih parah
ketika informasi itu tersebar kemana-mana. Katanya ini sangat sensitif. Atau tulisan-tulisan
yang diturunkan karena menyerang kepentingan pemerintahan. Atau para wartawan
yang diserang karena melakukan peliputan demonstrasi besar-besaran beberapa
waktu lalu. Tentunya tindakan-tindakan diatas dilatar belakangi oleh keinginan
menjaga keamaan dan situasi agar tetap kondusif, padahal sebenarnya “ada sesuatu yang bisa tergoyang apabila
tindakan itu tetap dilanjutkan”. Contonya, bila para wartawan itu tidak
diserang, maka mungkin saja bisa mencoreng nama “para penyerang” karena
melakukan kekerasan. Atau apabila pemblokiran itu tidak dilakukan, akan membuat
kestabilan indonesia terganggu, atau apabila tulisan penuh kritik itu tidak
diturunkan, bisa menurunkan elektabilitas para pemimpin.
Dan mahasiswa pada hari itu berdiri paling depan
menantang pemblokiran di papua. Banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa “pemblokiran
ini sangat berlebihan, pemerintah harusnya melakukan pencegahan melalui edukasi
dalam memilih informasi dan berita.”. juga di kasus menolak penyerangan terhadap
wartawan, mahasiswa lagi lagi berpendapat bahwa “penyerangan terhadap wartawan
juga sangat parah padahal pers dan jurnalistik adalah pilar keempat demokrasi
kok dikebiri dengan menyerangnya”., atau mengutuk tindakan penurunan tulisan
penuh kritik, kalau yang ini sudah pasti semua mahasiswa menolaknya, mau dia
yang aktifis ataupun pasifis
Beberapa hari lalu, tulisan saya yang tidak seberapa
pentingnya, bahkan terlalu sampah untuk dikatakan tulisan, minta untuk di-up
nanti atau bahasa halusnya di-take down dulu, tunggu suasana membaik dan
kondusif. Alasannya satu, karena terlalu sensitif, dan bisa mengganggu “kepentingan”.
Setelah saya menurunkan tulisan saya, saya teringat buku yang saya baca,
bukunya ross tapsell tentang kuasa media, bukunya sahrul mauludi yang berjudul
socrates cafe, bukunya nasihin masha berjudul jungkir balik pers, kumpulan
tulisan berjudul orde media, saya jadi merasa seperti seorang wartawan. Dalam hati
“wah keren juga yaa, tulisan saya minta diturunin karena mengganggu sesuatu. Baru
kali ini sebuah blog abal-abal menganggu keadaan. Saya merasa menjadi widji
thukul yang dikejar-kejar karena puisinya, saya merasa seperti udin yang mati
karena menulis sesuatu yang benar. Saya merasa menjadi dandy laksono yang
menulis, saya merasa seperti mochtar lubis
bersama korannya yaitu Harian
Indonesia Raya, Yang memilih dipenjara dan media ditutup daripada terjebak
pada politik pemberitaan yang mengembik. Hahaa, tapi nampaknya perasaan saya
itu berlebihan sekali”
Saya paham kalau ini masalah politik, tapi apakah
bijak bila tulisan sampah seperti itu minta diturunin. Saya takutnya mereka
tidak mengkaji secara mendalam isi tulisan saya. Jelas-jelas tidak ada yang menyudutkan
masing-masing pihak “yang memiliki kepentingan”, kecuali mungkin para DPD yang
baru lengser. Terkhusus lagi dalam tulisan itu saya menyebutkan nama mas
ayatullah sebagai orang SPM dan mas imam sebagai orang hikmah yang bagi saya
bekerja kurang maksimal. Tapi tunggu dulu, apakah tulisan saya pantas untuk
dikaji ulang?, ternyata tidak. Sudah saya bilang tulisan itu terlalu sampah
untuk di kaji kembali. saya berharap tindakan meminta menurunkan tulisan ini tidak terjadi nanti dikemudian hari ya.
Yang harus
kalian tau, ketika musyda yang lalu, saya tembus formatur dan tidak masuk
struktur, itu bukan karena saya tidak suka dengan cara bermain dan berpolitik
teman koalisi, tapi karena saya tidak suka dengan cara bermain dan berpolitik
teman sendiri.
Pada akhirnya, selamat kepada saudara Akmal Ahsan si
Calon magister yang luar biasa. Semoga bisa mengarungi lautan DIY selama dua
tahun kedepan dengan baik begitu pula dengan jajarannya. Pesan saya Cuma satu
untuk mas akmal, “suruh abie lulus. Kasian dia belum lulus, kasian harus mondar-mandir
ke lab hanya untuk menuntaskan skripsinya. Kasihan juga calon istrinya, sudah
gelisah menanti”.
mungkin salah saya juga yaa nulis-nulis soal musyda ini, bahkan ada kawan yang bertanya "sejujurnya aku juga lagi nyari sih alesanmu bikin ginian apaa wkwkwk". tapi setidaknya dari tulisan itu saya beberapa detik sempet merasa menjadi mochtar lubis, walaupun habis itu langsung bertobat. haha
dengan ini saya menurunkan semua tulisan saya
yang berjudul SEBUAH GORESAN MENYONGSONG
MUSYDA dan saya naikkan tulisan ini
dengan judul CORET-CORET SETELAH MUSYDA :
PROLOG SEKALIGUS EPILOG.