Minggu, 28 Maret 2021

CORET-CORET SETELAH MUSYDA : PROLOG SEKALIGUS EPILOG~


Sebenarnya apa yang membedakan antara mahasiswa dan para pejabat? Jawabannya gampang. Kelakuan dan masa depannya.

Beberapa waktu lalu kita dilihatkan dengan tindakan pemblokiran internet yang terjadi di papua. Pemerintah mengatakan bahwa pemblokiran ini adalah bentuk kewaspadaan akan terjadinya kerusuhan lebih parah ketika informasi itu tersebar kemana-mana. Katanya ini sangat sensitif. Atau tulisan-tulisan yang diturunkan karena menyerang kepentingan pemerintahan. Atau para wartawan yang diserang karena melakukan peliputan demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu. Tentunya tindakan-tindakan diatas dilatar belakangi oleh keinginan menjaga keamaan dan situasi agar tetap kondusif, padahal sebenarnya “ada sesuatu yang bisa tergoyang apabila tindakan itu tetap dilanjutkan”. Contonya, bila para wartawan itu tidak diserang, maka mungkin saja bisa mencoreng nama “para penyerang” karena melakukan kekerasan. Atau apabila pemblokiran itu tidak dilakukan, akan membuat kestabilan indonesia terganggu, atau apabila tulisan penuh kritik itu tidak diturunkan, bisa menurunkan elektabilitas para pemimpin.

Dan mahasiswa pada hari itu berdiri paling depan menantang pemblokiran di papua. Banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa “pemblokiran ini sangat berlebihan, pemerintah harusnya melakukan pencegahan melalui edukasi dalam memilih informasi dan berita.”. juga di kasus menolak penyerangan terhadap wartawan, mahasiswa lagi lagi berpendapat bahwa “penyerangan terhadap wartawan juga sangat parah padahal pers dan jurnalistik adalah pilar keempat demokrasi kok dikebiri dengan menyerangnya”., atau mengutuk tindakan penurunan tulisan penuh kritik, kalau yang ini sudah pasti semua mahasiswa menolaknya, mau dia yang aktifis ataupun pasifis

Beberapa hari lalu, tulisan saya yang tidak seberapa pentingnya, bahkan terlalu sampah untuk dikatakan tulisan, minta untuk di-up nanti atau bahasa halusnya di-take down dulu, tunggu suasana membaik dan kondusif. Alasannya satu, karena terlalu sensitif, dan bisa mengganggu “kepentingan”. Setelah saya menurunkan tulisan saya, saya teringat buku yang saya baca, bukunya ross tapsell tentang kuasa media, bukunya sahrul mauludi yang berjudul socrates cafe, bukunya nasihin masha berjudul jungkir balik pers, kumpulan tulisan berjudul orde media, saya jadi merasa seperti seorang wartawan. Dalam hati “wah keren juga yaa, tulisan saya minta diturunin karena mengganggu sesuatu. Baru kali ini sebuah blog abal-abal menganggu keadaan. Saya merasa menjadi widji thukul yang dikejar-kejar karena puisinya, saya merasa seperti udin yang mati karena menulis sesuatu yang benar. Saya merasa menjadi dandy laksono yang menulis, saya merasa seperti mochtar lubis  bersama korannya yaitu Harian Indonesia Raya, Yang memilih dipenjara dan media ditutup daripada terjebak pada politik pemberitaan yang mengembik. Hahaa, tapi nampaknya perasaan saya itu berlebihan sekali”

Saya paham kalau ini masalah politik, tapi apakah bijak bila tulisan sampah seperti itu minta diturunin. Saya takutnya mereka tidak mengkaji secara mendalam isi tulisan saya. Jelas-jelas tidak ada yang menyudutkan masing-masing pihak “yang memiliki kepentingan”, kecuali mungkin para DPD yang baru lengser. Terkhusus lagi dalam tulisan itu saya menyebutkan nama mas ayatullah sebagai orang SPM dan mas imam sebagai orang hikmah yang bagi saya bekerja kurang maksimal. Tapi tunggu dulu, apakah tulisan saya pantas untuk dikaji ulang?, ternyata tidak. Sudah saya bilang tulisan itu terlalu sampah untuk di kaji kembali. saya berharap tindakan meminta menurunkan tulisan ini tidak terjadi nanti dikemudian hari ya. 

Yang harus kalian tau, ketika musyda yang lalu, saya tembus formatur dan tidak masuk struktur, itu bukan karena saya tidak suka dengan cara bermain dan berpolitik teman koalisi, tapi karena saya tidak suka dengan cara bermain dan berpolitik teman sendiri.

Pada akhirnya, selamat kepada saudara Akmal Ahsan si Calon magister yang luar biasa. Semoga bisa mengarungi lautan DIY selama dua tahun kedepan dengan baik begitu pula dengan jajarannya. Pesan saya Cuma satu untuk mas akmal, “suruh abie lulus. Kasian dia belum lulus, kasian harus mondar-mandir ke lab hanya untuk menuntaskan skripsinya. Kasihan juga calon istrinya, sudah gelisah menanti”.

mungkin salah saya juga yaa nulis-nulis soal musyda ini, bahkan ada kawan yang bertanya "sejujurnya aku juga lagi nyari sih alesanmu bikin ginian apaa wkwkwk". tapi setidaknya dari tulisan itu saya beberapa detik sempet merasa menjadi mochtar lubis, walaupun habis itu langsung bertobat. haha

dengan ini saya menurunkan semua tulisan saya yang berjudul SEBUAH GORESAN MENYONGSONG MUSYDA  dan saya naikkan tulisan ini dengan judul CORET-CORET SETELAH MUSYDA : PROLOG SEKALIGUS EPILOG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar