Rabu, 22 Maret 2023

ADZAN MAGHRIB YANG DITUNGGU : RUMAH YANG HANGAT (EPS 01)

 “Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

“iiiiih bang rama pulang”

“yeee, akhirnya bang rama pulang”

“ibu mana fit?”

“di dapur bang. Lagi masak”

“jangan meluk-meluk fit”

“kangen tau bang”

“aku juga kangen bang”

“gak usah ikutan meluk juga suciiiiii”

kepercayaan saya di bandara beberapa jam yang lalu ternyata salah. Apanya yang pulang ke pelukan ibu, disambut depan rumah saja tidak. Memang realita tidak seindah ekspektasi yang dibayangkan.

“itu barang-barangnya taruh di kamar sana” kata ibu yang sibuk menggoreng sesuatu

“eh rama, oleh-oleh buat ibu mana?” tambah ibu

“yaelah bu, giliran oleh-oleh aja dicari. Anaknya baru pulang loh” balasku sewot

“kan kamu udah disini ram. Buat apa lagi ditanyakan” balas ibu.

.

Aku berjalan memasuki kamar tua milikku dulu. kamar tua yang penuh kenangan, fikirku. Kamar ini adalah kamarku dari kecil hingga tumbuh menjadi remaja. Kamar yang berukuran tiga kali tiga ini, sudah sangat luas bagiku. Dengan kasur berukuran dua kali satu, lalu lemari kayu tepat disampingnya, dan beberapa hiasan dinding berupa poster-poster tim bola ataupun gambar-gambar artis juga beberapa tokoh-tokoh film kartun. Tapi, heii kenapa ibu membelikan sprei dengan gambar real Madrid, jelas-jelas aku pendukung Barcelona, bisa tidak tidur nyenyak kalau begini, Aku harus protes ke ibu nanti. ruangan yang lainpun tidak begitu banyak berubah bentuk, semua jadi terlihat sama saja. yang berubah cuma warna catnya, yang dulu ketika saya meninggalkan rumah ini 7 tahun lalu, berwarna hijau, sekarang berubah menjadi warna biru muda. juga beberapa sofa baru yang berada di depan.

.

“mau kemana ram jam segini?” Tanya ibu

“mau nongkrong bu, sama temen-temen?” balasku

“baru juga datang, udah pergi nongkrong aja. Bantu ibu dulu sini” ucap ibu, yang masih sibuk menggoreng sesuatu

“yah bu. Udah janji loh. Besok rama bantuin ibu seharian deh”

“alah, pasti juga kamu molor” ucap ibu dengan muka sedikit kesal

“untuk besok tidak. Rama janji sama ibu” balasku dengan sedikit tertawa

“kamu ini ya, tidak pernah pulang rumah kalau bulan ramadhan, sekalinya pulang malah keluyuran”

“ini bukan keluyuran tapi nongkrong bu. Kalau bahasa alusnya Silaturrahim bersama saudara-saudara” kataku membuat alasan agar diizinkan pergi. Walaupun umurku sudah seperempat abad, tapi keluar rumah terasa tidak afdhol aja apabila tidak dapat izin dari ibu

“pinter amat yaa cari alasan ram” kata ibu

“kan disekolahin sama ibu”

“iya iya. sana pergi. jangan pulang malam-malam ya rama”

“lah, ini kan udah malam bu?”

“iiish. Sana pergi, atau ibu gak ijinin”

“siap perintah, laksanakan!” balasku sambil hormat seperti seorang tentara yang sedang memberi hormat pada komandannya.

Memang benar kata ibu, aku jarang pulang ketika bulan ramadhan, atau mungkin bukan jarang, tapi tidak pernah. Bukan karena apa-apa, tapi tidak ada biaya transportasi untuk pulang, sekali pulang pergi, itu jatah makan dan hidupku selama 6 bulan. Jadi aku memilih untuk tidak pulang, dan ibu mengijinkan itu. Ibu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Memang menjadi orang susah itu susah. 

Oh iya, aku Ramadhan Putra Anisa, biasa di panggil Rama. Orang kadang selalu bertanya kepadaku, “kenapa ada nama anisa sih di belakang namamu, bukannya itu nama perempuan ya” Aku selalu menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang terlihat keren, padahal belum tentu “emang kenapa, apakah nama anisa selalu identik dengan perempuan? Kan tidak. Nama itu hanya sebuah simbol”. Untuk mereka yang tidak tau arti anisa, jawaban itu terlihat masuk akal, tapi bagi mereka yang tau dan paham, pasti aku habis di skakmat. jawaban mereka begini “ya gak salah sih, Cuma kan anisa itu dalam bahasa arab artinya perempuan ram” kalau aku sudah mendapatkan jawaban itu, maka disitulah akan kuceritkan asal usul nama ini. Haha

Tapi  belum waktunya untuk menceritakan asal-usul namaku itu. Waktuku akan habis untuk menceritakannya, akan kuceritakan di lain waktu. Lebih tepatnya bukan aku, tapi ibu dan bapak yang akan bercerita.

.

“Weh ini dia, sang perantau pulang” teriak seorang lelaki tinggi berkulit coklat dan rambut cepak. Namanya dion

“jangan sok akrab!” balasku

“kau ini selalu bisa membuat orang naik darah ya!” balas dion

Semua membalas dengan tertawa

Inilah tempat nongkrong kami, sebuah bekas pos ronda yang sudah tidak di pakai, kami sulap menjadi basecamp untuk di pakai nongkrong, walaupun saya adalah orang yang paling sering absen dari kegiatan nongkrong tersebut.

“bawa makanan kan bos?” tanya salah satu temanku, pria berkacamata dengan badan kurus tinggi, namanya imam

“aku ini heran kali sama kau mam, kau paling kuat makan, tapi gak besar-besar. Aku ini, makan Cuma dua kali sehari, besarnya udah kayak tong air” balas Harry dengan menggebu-gebu. Harry memang seperti itu, orang dengan perawakan besar, kalau ngomong blak-blakan,  suaranya keras dan menggebu-gebu. Tidak jarang orang salah mengartikannya, bahkan sampai tersulut emosi yang diperparah dengan harry yang juga gampang emosi.  Kalau tidak berakhir dengan debat sambil teriak, ya baku hantam. Tapi akhir-akhir ini, kudengar harry sudah lebih kalem dan bisa mengontrol emosinya dengan baik.

Kami sambut omongan Harry dengan tertawa

“kau mau tau caranya supaya badanmu lebih kecil sedikit Har?” kata dion

“iyo. Gimana caranya?” balas Harry antusias

“tidak usah makan selama satu tahun” balas dion sambil tertawa

“itu memang aku kurus, tapi sekalian mampus” jawab harry 

Kami menyambut ucapan harry dengan tertawa keras

“tak usah dipikir har. Yang penting mah sehat” balas adit. Adit ini temanku yang paling santai, hidupnya seperti tidak ada beban. Semua dipikir dengan sederhana dan gampang.

“khas adit banget itu” balasku langsung

“ini aku bawa makanan, sikatlah boy” kataku sambil menyodorkan kantong plastik yang kubawa. 

Inilah salah satu momen yang selalu dirindukan ketika pulang kampung, selain berkumpul sama keluarga di rumah, berkumpul dengan keluarga Lain diluar rumah. Menyenangkan dan membahagiakan. 

Oh iya, ada satu lagi kawanku, selain Dion, Harry, Adit, dan Imam masih ada Bagas. Dia memang orang yang jarang bicara. Berbeda ya orang yang pendiam dan jarang bicara. Dia pernah bilang begini “ram, kamu harus tau, pendiam dan jarang bicara itu beda. kalau pendiam itu ya dia diam aja, kalau jarang bicara itu, dia bicara hanya kalau itu diperlukan saja dan itu penting, kalau tidak penting buat apa bicara” penjelasan yang membingungkan bagiku. Mungkin menyapaku yang sudah lama tidak bersua adalah hal yang tidak penting baginya, yang penting pertemuan dan momentum kumpulnya. Yasudahlah, tak apa

Malam yang panjang kali itu kami lewati dengan bernostalgia beberapa kejadian dan sekedar mendengar lelucon yang keluar dari mulut dion ataupun harry. Mereka berdua memang orang yang selalu membuat nongkrong kami jadi terasa hidup. Entah mereka melucu sendiri, atau saling serang. Karena mereka berdua berasal dari suku yang sama, dan sikapnya yang tidak mau kalah, membuat mereka akan saling serang mengejek apabila diejek. Tentunya itu hiburan yang paling menyenangkan bagi kami berempat.

“aku dengar dion mau nikah?” tanyaku

Dion yang duduk tepat disampingku langsung memalingkan wajahnya padaku, matanya begitu tajam menatapku. Bukankah berita pernikahan itu membahagiakan, kenapa responnya tidak mengenakkan, fikirku. “kenapa kau? Senang dong, akhirnya nikah” kataku

Imam, adit tertawa, disambut tertawa harry yang sangat keras. Aku bingung, apa yang mereka tertawakan. “woiii, jangan ketawa kau”. Kata dion setengah membentak. Mereka berdua sudah biasa saling bentak. Tidak menghentikan tawanya, harry malah semakin berulah, dia mempraktekkan ketawa sambil tertunduk, tangan kanannya memegang perutnya, sedangkan tangan kirinya memukul lantai berulang kali, menggambarkan betapa lucunya kondisi itu. Karena respon harry yang berlebihan, aku jadi bisa berspekulasi soal pernikahan dion. “gagal nikah yon?” kataku dengan sedikit meninggikan nada bicara. Tongkrongan kami riuh dengan tertawa, Cuma raut wajah dion yang tidak bisa menghasilkan tawa.

“ayolah boy, kegagalan itu kesuksesan yang tertunda” kataku sambil merangkulnya,

“diam kau!” balasnya sambil melepas rangkulanku.

“kenapa boy? Ceritalah, katanya kita teman” kataku sambil mencoba merangkulnya lagi, tapi dia menghindar.

“gak usah pura-pura khawatir begitu ram. Biarkan saja. Kalau ditanya-tanya, nangis pula nanti dia” balas harry sambil tertawa kencang.

“mana ada aku menangis ya har, ku cabik-cabik moncong kau ya” balas dion sambil menunjuk tajam harry. Suasana heboh seperti ini yang ku rindukan

"Rumah yang hangat" fikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar