Rabu, 22 Maret 2023

ADZAN MAGHRIB YANG DITUNGGU : SEBUAH PERMULAAN (EPS 00)

 “rama, nanti terbang jam berapa?”

“jam 5 bu”

“owalah. Terus sekarang dimana?”

“masih di kos bu. Lagi siap-siap ini. sebentar lagi mau berangkat”

“lah, ini masih jam sebelas loh”

“hahaha. Tidak papa bu. Pengen aja”



Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak diizinkan pulang oleh keadaan, kali ini semesta mendukungku untuk pulang, pulang ke pelukan ibu misalnya. Ungkapan ini bukan sekedar kiasan atau majas, tapi memiliki arti yang sesungguhnya. Tekstual. Kenapa begitu?, karena hal pertama yang akan dilakukan ibu ketika melihat anaknya yang sudah lama tidak pulang adalah memeluk. Saya sangat yakin seribu persen itu akan terjadi.

beginilah akibat ketika  aku terlalu dipermainkan oleh emosi dan perasaan, harusnya jadwal penerbangan pukul lima, dan melapor minimal jam tiga, tapi aku sudah datang dari jam dua belas. Inilah akibat antusias yang sangat tinggi untuk pulang. Harusnya semua orang memaklumi tindakanku, tapi tidak dengan tiga temanku yang mengantar ke bandara. Dalam mobil mereka terus berbicara soal tindakan “kerajinanku datang ke bandara"

“Gua paham sih lu baru pulang setelah sekian lama, tapi gak jam segini juga jalannya, masih lama juga pesawat lu” kata Faiz  yang sedang menyetir mobil

“ya gimana lagi bro. antusias kan” balasku santai

“antusias sih antusias, tapi gak gini juga bego” celetuk Arya

“asli! Bikin emosi, mana gua harus bawa ini mie lagi dalam mobil” tambah William. Sebelum berangkat ke bandara, William memang menyempatkan masak mie terlebih dahulu, karena tahu bahwa jadwal pesawatku masih lama. Tapi ketika hendak makan, dia langsung diseret arya menuju mobil. William sempet minta waktu sebentar untuk makan, tapi aku menolaknya, hingga arya menyuruhnya untuk membawa saja piring berisi mie instant itu

“belum pernah kan makan mie diatas mobil” kataku menenangkan William sambil sedikit tertawa

“belum pernah kan kepalamu dipukul dengan benda tumpul berisikan mie instan” balas William kesal

“emang sialan si bego. Mau lu datang jam empat, kalau pesawatnya belum berangkat yaa kagak bakal berangkat, kecuali ada pemberitahuaan” kata faiz

“emang gak ada otak ini orang. Dia pikir dia orang penting apa gimana sih” nyambung arya

Aku tertawa melihat ocehan mereka. Nanti aku minta maaf waktu mau masuk ruang tunggu.

Waktu yang kami tempuh lumayan lama, sekitar satu jam. Jarak kos kami dengan bandara memang tidak terlalu jauh, tapi macetlah yang membuat jarak 1 kilometer berubah menjadi 10 kilometer. Tapi setidaknya dengan jarak tempuh yang memakan waktu ini, membuatku bisa menghabiskan waktu dengan mereka bertiga. Mereka bertiga adalah orang-orang yang aku kenal pertama kali ketika menginjakkan kaki di kampus. dan secara kebetulannya lagi, mereka bertiga satu jurusan.

 Faiz adalah anak yang dikarunia otak yang cerdas. Dia bukan cuma pintar dalam akademik tapi juga non akademik. Ketika kami masih mahasiswa, dia selalu menjadi langganan pembicara di sebuah diskusi kecil-kecilan. Saking pintarnya, Di dunia perlombaanpun faiz sering sekali menjadi finalis, walaupun lebih banyak gagalnya daripada menangnya. Beberapa kali juga dia mendebat dosen dalam kelas, yang berujung nilai D di KRS.

Aku memang agak heran dengan kondisi dosen sekarang, kenapa ketika dosen didebat oleh mahasiswanya malah menunjukkan perasaan tidak terima, dan memberi nilai buruk. padahal ruang kelas di kampus adalah ruang terbuka untuk diskusi?.

Selain cerdas, faiz adalah orang yang cukup keras kepala, karna tidak ingin nilainya D, dia mengulang lagi mata kuliah tersebut. dan tindakan mendebat dosennya masih saja dia lakukan, bahkan bertambah ekstrim karena berhasil mempengaruhi beberapa adik tingkat di kelas itu. dan tentunya dia kembali mengulang kelas tersebut.

ketika akan melakukan percobaan ketiga, kami segera menentangnya. Kami yakin dia akan kembali mendebat dosennya. Beberapa kali kami meyakinkan dia untuk tidak mengulang lagi, tapi tetap saja keras kepala. Hingga suatu malam aku dan arya mensabotase HP dan akun KRSnya. Kami mendaftarkan dia ikut remedial. Dan pagi hari, dia tidak berhenti ngomel kepadaku dan arya. Tapi kami membalasnya dengan tertawa. Yang pada akhirnya satu-satunya nilai B di KRS Faiz hanya mata kuliah itu, sisanya Semua A, alias sempurna. Makanya ketika wisuda, dia adalah orang yang berpidato di depan seluruh wisudawan. Karena tidak hanya menjadi lulusan dengan nilai hampir sempurna, secara non akademikpun sangat baik, apalagi faiz pernah ditunjuk sebagai ketua himpunan jurusan, pernah menjadi sekretaris Umum BEM Fakultas, dan Ditunjuk menjadi salah satu menteri dalam Kabinet BEM Universitas serta pernah menjadi ketua UKM Basket kampus.

Arya. Anak keturunan asli suku ibu kota. Orangnya yang ceplas-ceplos dan penuh kebahagian serta candaan, membuat tongkrongan kami tidak pernah kering. Anak ini juga sangat pemberani, mungkin juga karena efek dari lingkungan tumbuh besarnya yang begitu keras.

Ketika itu, demonstrasi yang lagi kami ikuti terjadi Chaos, banyak sekali mahasiswa yang kena pukul dengan polisi, bahkan ada beberapa teman kami yang berhasil ditangkap oleh polisi. Aku yang kala itu lagi menyelamatkan diri dengan arya terhenti karena melihat salah satu teman kelas kami yang kena tangkap polisi. Segera aku pandangi arya yang berdiri disampingku. Dia terdiam tapi fokusnya tertuju pada polisi dan teman kami yang ditangkap. aku yakin di kepalanya sedang menyusun strategi “bagaimana caranya menolong  teman kami ini”. karena dia melamun lumayan lama, segera aku tepuk pundaknya “lu kenapa?” kataku. “kita harus tolong dia ram” balasnya tapi masih tetap focus ke arah polisi dan teman kami. “lu mau ngapain? Depan lu polisi tau. Kita cabut duluan aja” balasku mencoba meyakinkan dia bahwa semua strategi di kepalanya tidak akan berhasil. Tapi si arya bahkan seperti tidak mendengarkan usulanku, dan  sedang menyusun tumpukan strategi di kepalanya.

“woii, ayoo cabut” kataku memukul pundaknya. Tapi selang berapa detik, dia sudah mengambil plastic dalam tasnya, dan melubangi dengan dua jari, aku kira plastic itu untuk apa, ternyata untuk menyembunyikan identitasnya. setelah itu dia lari dengan keceepatan maksimal sampai dengan menabrak polisi itu hingga melepaskan cengkeramannya. sebenarnya kekuatan arya tidak seberapa, kekuatan lima arya sekalipun belum tentu bisa merobohkan bapak polisi itu.  tapi pengalamanlah yang membuatnya kuat, kalau bahasa gaulnya “jam terbang yang berbicara”

Kronologinya adalah setelah melubangi plastic untuk matanya, dia memakai di kepalanya dan berlari kencang ke arah polisi itu dengan tujuan menabrakkan diri, setidaknya ada kejutan walaupun tidak begitu kuat. Tetapi dari kejutan itu, akan memberi sepersekian detik untuk melemahkan cengkraman si polisi tersebut. dan terbukti, karena kejutan dari arya, membuat cengkraman si polisi melemah, dan segera teman kami juga berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Masih belum berhasil, si arya mendorong lagi dengan badannya, sehingga polisi itu kehilangan keseimbangan sebentar. disitulah cengkraman pak polisi menjadi sangat lemah, sehingga teman kami berhasil melepaskan cengkramannya. Segera mereka berdua berlari dan begitupun aku. Arya berhenti sejenak dan menghadap ke polisi tadi, lalu menundukkan kepalanya dan berkata dengan sedikit teriak “maaf ya pak”. Lalu kembali berlari. 

arya pula yang mengajari kami ngomong "gua-lu". dia pernah bilang gini "kalian kalau disini harus pakai "gua - lu", biar gampang berbaurnya. kalau pakai "aku-kamu" nanti dikira apaan. apalagi kalau "aku - kamu" dengan lawan jenis, bisa bahaya nanti".

William. Anak orang kaya yang ingin hidup sederhana. Bapaknya adalah pengusaha pakaian yang sangat laris sedangkan ibunya adalah pengusaha kuliner yang memiliki tujuh restorant di lima pulau yang berbeda. Mungkin kamilah yang harus bertanggung jawab atas pilihan hidupnya yang ingin hidup sederhana itu.  

suatu kali, kami ingin pergi makan, karena saking laparnya setelah ikut kuliah dan demo sekaligus. Waktu itu kami masih mahasiswa baru, sehingga masih takut melakukan hal yang menurut kami aneh di barisan demonstrasi. Kenapa aku bilang aneh, karena kadang kala demonstrasi sekarang hanya sebagian orang saja yang serius sisanya ikut-ikutan. Tidak jarang masa aksi yang menyingkir dari barisan dan berteduh dipinggir jalan, atau masuk ke minimarket untuk membeli minum sedangkan teman-teman yang lainnya berjemur dibawah terik sinar matahari. dan kamilah orang yang berjemur itu.

Setelah demo selesai, kami berniat untuk singgah makan. William yang terbiasa dengan makan makanan yang enak seperti di restoran, kali itu kami mengajaknya makan di warung makan pinggir jalan yang biasa menjual nasi dengan lauk telor atau bisa memesan mie instan tambah telor. Kali itu William tidak menolak, saya yakin saking lapar dan capeknya sehingga tidak ada tenaga lagi untuk menolak. Segera kami memesan 4 es jeruk dan 4 nasi telor.  Ketika meminum es jeruk, William langsung berkata “waaah, ini es jeruk enak banget”. Kami langsung tertawa.

Begitu juga reaksinya ketika makan nasi telor. Dia makan begitu lahapnya, bahkan sampai minta dua piring. Di tengahnya makannya di terus ngoceh sendiri “asli, ini enak banget nasi telornya”. “heran gua. Kok bisa enak gini yaa nasi telornya” selama dia makan, kami terus tertawa melihat ekspresinya itu. expresi selanjutnya juga membuat kami tertawa ketika dia kaget bahwa makanan yang kita makan berempat tidak lebih dari 60 ribu. Nasi telor satunya delapan ribu, kami makan lima piring, jadinya empat puluh ribu. Sedangkan es jeruk harganya tiga ribu, William juga meminum dua porsi, jadinya lima, sehingga jumlahnya lima belas ribu. Jadi total semuanya lima puluh lima ribu.

Di tengah jalan mau pulang, dia berkata kepada kami “anjiir, makanan enak banget gitu kok murah banget yaa”

“enak ya?” Tanya arya

“enak banget bro. Besok-besok makan disitu ajalah” balas William dengan mata berbinar-binar

Dalam hatiku berkata “itumah karena kamu lapar aja. Orang yang kelaparan mah di kasih makanan apa saja pasti bilangnya enak”. Setelah kejadian inilah dia mulai mengurangi makan-makanan restoran, dan banyak mempelajari hidup sederhana masyarakat negeri jepang.

….

“lu kagak balik Wil?” tanyaku pada William yang lagi asik menyantap makanannya

“balik, tapi nantilah, kan masih kerja ram” balasnya

“lu ya?”tanyaku pada arya

“gua mau balik kemana sih, rumah gua kan disini bego” balasnya dengan ekspresi jengkel. Ekspresi ini bukan menunjukkan ekspresi jengkel akan pertanyaanku, tapi ekspresi jengkel yang masih tersisa dari aksi “kerajinanku”

“lu iz?”

“ibu gua suruh balik ram. Kalau sudah disuruh balik, yaa harus balik ram. Soalnya ibu yang suruh kan ya” balas faiz

Benar. Ibu adalah orang yang jarang meminta sesuatu kepada anaknya, malah ibu adalah orang yang selalu mengabulkan segala permintaan anaknya. Maka bukannya kita sebagai anak harus mengabulkan permintaan ibu kita juga, setidaknya beberapa kali dalam hidup kita.  Tapi yang paling benar dari kalimat faiz adalah, ibu adalah tempat pulang, menumpahkan air mata akan perjuangan jatuh bangun di ibu kota. Ahh, aku merindukanmu ibu!

Sampailah kami di bandara. Segera faiz membantuku menurunkan koper, dan arya yang segera mencari keranjang dorong untuk barang-barangku, sedangkan William masih asik makan mie instan yang sengaja dia buat banyak. Katanya dia sangat lapar, sehingga 5 bungkus mie instan dia makan sekaligus. Segera kami menuju pintu masuk bandara.

“gua balik ya” kataku kepada mereka bertiga

“lu jangan nangis gitu ya” kataku melihat arya yang sedikit tertunduk

“bego! Gua kagak nangis lah. Ngapain nangisin lu” balas arya sedikit meninggikan suara. Dia sebenarnya sedikit malu karena ucapanku tadi terdengar oleh beberapa cewek-cewek disamping kami

“lu juga iz, kok mukanya sedih gitu” kataku ke faiz

“tidak ada satu alasanpun yang membuatku sedih, kecuali utang-utangmu yang belum dibayar” balasnya. faiz selalu punya kata-kata tajam untuk menghabisi lawan bicara yang coba menghabisinya

“mana ada. Udah gua lunasin semua kali” jawabku sambil tertawa. Merekapun menyambutnya dengan tertawa

“sebenarnya gua mau nangis ram, Cuma kata mamaku, pamali kalau menangis sambil makan” kata William yang merangkulku

“mau menangis atau tidak itu urusan lain, tapi bisa gak mie instan lu ini jauhin dari muka gua” balasku kepada William. Dia memang merangkulku, dan tangan yang digunakan untuk merangkul itu adalah tangan yang digunakan juga untuk memegang piring mie instannya. Dia segera melepas rangkulannnya sambil tertawa.

“gua balik ya” balasku sambil melambaikan tangan dan masuk ke bandara

Cih, aku bahkan tidak berani mengucapkan maaf karena sudah membuat mereka menuruti “kerajinanku” untuk datang tepat waktu. Ataupun untuk semua kerepotan yang sudah aku berikan kepada mereka selama 7 tahun ini. air mataku tumpah sedikit. Mereka adalah keluargaku setelah pindah ke ibu kota. Maka melepas mereka dengan air mata adalah lumrah. Walaupun segera aku mengusapnya, karena tidak mau dilihat para petugas bandara.

.

getaran muncul dari balik saku celanaku

"Assalamualaikum bu" 

“Waalaikumsalam, udah dimana ram?”

“udah di bandara ini bu, di ruang tunggu. Nungguin pesawatnya”

“pesawatnya kemana emang?”

“belum datang bu”

“Lah, pesawatnya dibawa siapa emang? Sopirnya bagaimana sih”

“bukan sopir bu, pilot”

“sama aja ram. Yaudah, hati-hati dijalan. Jangan lupa berdoa selalu”

“iya bu”

Maklum ibu saya tidak pernah naik pesawat, bahkan naik mobilpun bisa dihitung jari.

Akhirnya aku pulang setelah 7 tahun. kembali bisa mencium aroma masakan ibu, mencium tanah basah kampung halaman, mendengar ributnya perkelahian dua adik perempuan, mendengar obrolan ngalor ngidul 5 kawanku, menikmati ramah tamahnya para masyarakat, dan juga memandangi para gadis-gadis desa yang anggun bak bidadari. Ah nikmatnya pulang ke rumah

Akan kumulai cerita ini, pahit getir, manis dan bahagianya kehidupan. Seorang pria bernama Ramadhan Putra Anisa. Nikmatilah~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar