Kamis, 23 Maret 2023

RAMADHAN MENULIS 3. EPS 02 : KULIAH ONLINE DAN KETERGANTUNGAN

Bangun sore yang menjengkelkan. Kalau saya tinggal dengan orang tua, sudah pasti nasehat panjang lebar akan mendarat di telinga saya sampai magrib menjemput. Sore itu daerah tempat saya tinggal mendapat giliran untuk pemadaman listrik, jadi ketika bangun, seisi kamar gelap, “perasaan sebelum tidur sinar lampu sempat “menyakiti” mataku”. Seperti kebanyakan orang yang bangun tidur, beberapa menit dihabiskan dengan bengong, dan mengumpulkan nyawa setelah itu dilanjutkan dengan membuka smartphone yang sebenarnya tidak penting-penting banget. Pada layarnya menunjukkan tanda merah pada icon baterai, sedangkan listrik sedang mati, “wah bahaya ini” fikirku. Bagi orang post-modern dan manusia teknologi sepertiku, smartphone dengan baterai lemah dan listrik mati adalah kiamat kecil. ketergantungan yang luar biasa membuat baterai lemah dan listrik mati adalah momok menakutkan. Tapi apalah daya, saya ikhlaskan kondisi ini. Ketika waktu sudah mendekati magrib, saya teringat satu hal, “kuliah online jam 7”.



Kuliah online jam 7 malam ini adalah pengganti ketika kelas kosong beberapa waktu lalu, sempat saya berpikir untuk “skip” saja, tapi saya urungkan niat itu. Kebiasaan “baik” saya yang dulu sering dilakukan, skip kelas, tiba-tiba bergejolak ingin keluar. jangankan 75% kehadiran yang maksimal 3 kali tidak masuk, kalau diperluas lagi jadi 50% kehadiran, saya tentu akan melebihi itu. bahkan beberapa kali saya masuk Cuma pertemuan pertama, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Hasilnya? Kuliah 6 tahun!.

Kembali ke kuliah online jam 7 malam. Karena kuliah ini membutuhkan perangkat elektronik, sedangkan laptop saya tidak bisa menyala ketika tidak terhubungan dengan listrik, serta smartphone saya “lemah syahwat” maka saya memutuskan untuk melakukan kuliah online di rumah keluarga. Pergilah saya menggunakan motor andalan menuju rumah keluarga. Tepat sampai disana sekitar pukul setengah 7. Baru 1 menit saya di dalam rumah, lampu tiba-tiba saja mati, ternyata giliran rumah keluarga saya yang “terdampak” pemadaman listrik. Sungguh na’as nasib mereka dan juga saya. Takdir Tuhan memang luar biasa.

Saya memutuskan untuk pulang, atau setidaknya saya menemukan café yang bisa disinggahi untuk kuliah di tengah perjalanan saya pulang. Tapi sepanjang perjalanan, tidak ada satupun saya temukan café yang listriknya menyala, entah mereka tidak memiliki genset atau memang mereka membiarkan saja, ‘kapan lagi ada sensasi ngopi di tengah kegelapan malam’. Saya lumayan putus asa, “yaudahlah kalau emang tidak kekejar, bolos aja lagi” pikirku, emang agak drama tapi emang itu kenyataannya. Yang semakin membuat cerita non fiksi saya dramatis adalah saya terjebak macet. Sebuah kondisi yang di luar prediksi. Menghadapi macet dengan kondisi terburu-buru adalah bencana bagi kebanyakan orang, begitupula saya. Lagi dan lagi saya mengikhlaskan keadaan, mau bagaimana lagi. Biarpun saya menggunakan motor, yang katanya anti macet, bisa “meliuk-liuk” diantara antrian mobil, tetap saja memakan waktu yang banyak, belum lagi kalau terjadi senggolan atau kecelakaan, lebih baik pelan dan hati-hati ditengah keramaian. Valentino rossi juga pasti pusing kalau dihadapkan dengan macet, orang-orang yang ahli dalam tes sim yang “zig-zag” juga mungkin gak kepakai ilmunya di tengah kemacetan. Yang saya lakukan Cuma satu, menikmati perjalanan dengan kemacetan yang luar biasa.

Di tengah kemacetan, tiba-tiba terlintas di kepala saya soal konsep ketergantungan. Manusia hari ini dan mungkin dari manusia pertama ada, semua memiliki ketergantungannya sendiri, dari yang paling nyata kelihatan sampai yang tidak kelihatan seperti Tuhan. Manusia selalu butuh tempat untuk bergantung, saya belum pernah menemukan orang yang tidak bergantung pada apa-apa. Bahkan di barat sekalipun yang katanya menyoritas tidak percaya Tuhan, tidak bergantung pada Tuhan, pasti punya tempatnya bergantung juga, bisa saja pengetahuannya atau pengalaman hidupnya. Tapi kebetulan pikiran melayang saya kali itu tidak sedalam ketergantungan dengan Tuhan, tapi ketergantungan dengan teknologi, internet dan keluarga-keluarganya.

pak fahruddin faiz, dosen filsafat, dan sekaligus “guru online” saya, beberapa kali membicarakan soal ketergantungan dan mengaitkan dengan kondisi masyarakat hari ini yang sangat tergantung dengan apapun, terutama soal listrik, teknologi dan internet. Beliau menceritakan kondisi-kondisi ketergantungan tersebut, bahkan sampai ke tahap akut yang apabila tidak ada internet, bisa saja mati. Dan beberapa kali beliau sangkutpautkan dengan kondisinya yang dulu yang bahkan tanpa internet dan listrik mereka masih tetap bisa hidup. Tenang! Pak faiz bukan kaum mendang mending yang sering mengadu nasib, beliau ingin menggambarkan pada kita bahwa ketergantungan itu manusia yang buat, manusia yang ciptakan. Kita bisa menciptakan ketergantungan kita pada apapun, misalnya smartphone. Banyak sekarang orang mending ketinggalan dompet daripada ketinggalan smartphone.  Ada juga orang yang kalau mau makan harus sambil nonton di smartphonenya. Atau ribut di internet ketika Jakarta dilanda listrik mati, satu Jakarta heboh, dan tidak sedikit yang memaki. Padahal kalau kita ambil sudut pandang yang lain mungkin ada baiknya, missal ada waktu kita untuk merenungi hidup dan berkontemplasi di tengah kegelapan malam. Dan banyak lagi

saya setuju dengan kondisi itu, kita sudah tahap ketergantungan pada teknologi yang akut, tidak bisa lepas. Tapi ditengah pikiran saya yang melayang diantara antrian mobil dan motor, saya berpikir, batasan kita untuk melepas atau tidak dari ketergantungan tidak lagi 100% milik kita, sekarang sudah dimiliki orang lain, atau lingkungan sekitar. Misalnya kondisi yang saya hadapi, saya mau kuliah online sedangkan saya butuh listrik, internet dan teknologi lainnya, akhirnya timbul ketergantungan saya pada itu semua. Atau kondisi lain, misal komunikasi melalui media digital, kan banyak orang yang melakukan puasa media, melepas “toxic digital” yang menjangkit katanya, tapi kita dihadapkan pada kondisi yang harus berkomunikasi atau kita harus menjawab sebuah pesan penting yang masuk, sehingga mau tidak mau, kita harus menggunakan “barang-barang itu”. Berbeda kalau hanya sekedar menyimak media social, itu memang tidak penting banget, tapi anehnya malah jadi ketergantungan.

Akhirnya keinginan kita untuk lepas dari ketergantungan tidak ada pada diri kita sepenuhnya, karena ada andil orang lain di dalamnya. Ada orang yang butuh pesannya segera di jawab, ada pertemuan yang membutuhkan media social dan internet, dan mungkin ada begitu banyak urusan yang membutuhkan teknologi dan sejenisnya.

Pada akhirnya pikiran melayang saya ini sampai pada kesimpulan sementara bahwa kondisi ketergantungan banyak campur tangan dari dunia di luar kita, apalagi ketergantungan akan teknologi di era teknologi. Mungkin memang tidak bisa. Jadi bagi saya ketergantungan itu tidak buruk, kenapa saya bilang “tidak buruk”, karena kata “ketergantungan” ini selalu berkonotasi negative dan disalahkan, bagi saya ia bersifat netral. Tentu ada yang negative, missal ketergantungan narkoba. Asal ketergantungan itu bersifat positif dan tidak berlebihan, saya rasa masih bisa diterima. Akhirnya kembali pada konsep agama, konsep moral dan nilai bahwa segala yang berlebihan itu tidak baik, apapun itu. Kecuali dengan Tuhan. Ketergantungan dengan Tuhan sangat perlu, bagi seorang manusia bertuhan. Walaupun sering menjadi kambing hitam, misalnya “ini semua takdir tuhan saya miskin” dan lainnya.  Padahal jelas dalam surah Ar-ra’d ayat 11 tentang itu. tidak tau isinya? Silahkan google sendiri, bukannya  kita sudah tergantung habis-habisan pada google!

Penutup cerita non fiksi saya ini, saya berhasil melintasi kemacetan yang riuh dan mengikuti kuliah online tersebut, kembali di tempat saya tinggal. walaupun telat 30 menitan, akhirnya saya bisa mengikuti kuliah dengan tenang, damai dan kecapekan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar