Selasa, 28 Maret 2023

RAMADHAN MENULIS 3. EPS 06 : SI PALING

 Dulu ketika masih mahasiswa s1, masih bergelut di dunia aktipis dan dunia pergerakan, segala pikiran seluruhnya saya tumpahkan kesana. Saya tergabung di Ikatan mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dan di tempat saya berorganisasi ini, pemikirannya sedikit berbeda dan lebih keras dalam dunia intelektual dan gerakan dibanding IMM yang sering saya liat, atau ketika dibandingkan dengan gerakan mahasiswa islam yang lain.

Di IMM yogya inilah saya ditempa dengan pikiran-pikiran perlawanan dan perjuangan. Ada penindasan, kita lawan. Ada penggusuran, kita lawan. Ada kekerasan, kita lawan. Semua terfokus kesana.

Dan tidak jarang saya dan teman-teman mengkritik para gerakan islam yang terlalu focus pada kampanye-kampanye keagamaan yang bersifat personal, dan fikih atau syariat sedangkan melupakan masalah kemasyarakatan. Tidak jarang saya dengar ungkapan-ungkapan seperti “coba kalau kajian itu jangan gini doang, bahas ibadah, halal dan haram, bahas itu perampasan lahan, menjaga lingkungan dalam islam” atau “apaan Cuma gini doang, fikih, ibadah, rukun iman dan rukun islam, giliran penggusuran kemiskinan lupa dibahas. Apaan itu!”. Saya pun beberapa kali, bahkan sering menganggap begitu. Mereka yang berkutak di lingkaran itu saja, saya anggap tidak keren, dan saya merasa keren karena berdiri untuk kemaslahatan masyarakat.

Tapi seiring berjalannya waktu, saya merasa pemikiran itu kurang tepat. Pikiran itu terlalu sombong dan egois. Walaupun saya tetap pada pendirian bahwa segala macam kajian, ceramah dan gerakan yang berdasar keagamaan kalau bisa selalu mengikat permasalahan masyarakat yang actual agar ajarannya terkesan tidak jauh dari masyarakat, tapi yang menjadi salah menurut saya karena membandingkan dan menyalahkan bahkan mengejek secara tidak langsung mereka yang Cuma berputar-putar disekitar situ.

Alasan saya karena semua orang punya kapasitas masing-masing. Mungkin saja pembahasannya memang sesuai kapasitasnnya. Atau memang mereka-mereka mengkaji dan belajarnnya itu saja, dan kembali mereka lakukan di masyarakat ya itu, ceramah dan kajian soal ibadah, sholat, puasa, zakat, dan halal haram. mereka tidak mendalami dan mungkin tidak ada urgensi untuk mendalami itu, misalnya soal bagaimana perampasan lahan dalam islam, bagaimana kemiskinan structural dalam islam.

Jadi tidak perlu lagi keluar komentar “kalau giliran fikih, cadar, halal haram keluar semua, tapi giliran perampasan lahan, kemiskinan, dan penindasan malah menghilang”. Toh kita yang muslim apa benar-benar paham soal masalah-masalah itu, atau jangan-jangan kita sekedar tau doang. Kalau sholat itu lima waktu, kalau sholat itu gerakannya gini gitu, kalau puasa yang wajib itu bulan ramadhan, kalau haji untuk yang mampu, kalau makan babi itu haram, makan ayam halal. Padahal tidak segampang itu. Seperti halal dan haram, banyak orang yang mulai menganggap remeh padahal bagi saya maknanya dalam. Pelajaran pentingnya seperti ketelitian, kehati-hatian, kewaspadaan. Apa yang kita konsumsi akan banyak berpengaruh bagi kita. Konsumsi disini berkonotasi luas, bisa konsumsi makanan, konsumsi tontonan, dan lain-lain.

Ayolah, sudah waktunya kita untuk berhenti merasa paling atas dalam menyuarakan sesuatu. Saya ingat kata “guru online” saya, pak fahruddin faiz, beliau berkata “kebenaran itu bertaut”. Maka daripada saling menyudutkan, mending saling bertaut, mereka yang membicarakan fikih, kita yang membicarakan penindasan, mereka yang berbicara sholat, kita membicarakan kemiskinan structural. Tidak perlu menjadi “si paling islam”, “si paling aktipis”, si paling pejuang”, karena kata “si paling” itu biasanya cuma ejekan bukan kebanggaan~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar