“gara-gara melaut beberapa hari lalu, katanya dion sempet sakit dua hari”
“iya ram? Lemah ternyata dia”
“jangan
gitu mam, kasihan beliau”
“hahahaha”
“kamu
baik-baik aja gas?”
“iyalah,
Cuma ngelaut doang kok”
“anda
ini baik baik saja ataupun tidak baik baik saja, sama aja ekspresinya
gas”
“hahaha”
Hari
ini jadwal kami kumpul di rumah bagas. aku dan iman sudah di rumah bagas,
menunggu harry, adit dan dion yang dalam perjalanan. Tepat hari ini, 7 hari
ramadhan telah kami lewati. Untuk orang yang menikmati setiap waktu yang
berjalan selama ramadhan, sepuluh hari adalah waktu yang singkat. tapi untuk
mereka yang tiap hari mengeluh lapar dan haus, bahkan melewati satu haripun
begitu berat, kayak sudah tidak makan 30 hari.
Kami
ngumpul di depan rumah bagas, dengan kursi kayu panjang yang cukup untuk 3
orang dan meja plastik di tengah, beserta beberapa tambahan kursi
plastik.
“loh
dit? Kok sendirian?” kataku yang melihat adit muncul dari kegelapan
“iya,
si harry sama dion singgah dulu di rumah bu ning” balas adit
“lah
ngapain singgah di rumah bu ning?” tanyaku
“katanya
ada makanan, disuruh ambil, terus bawa kesini gitu” jelas adit “udah dari
tadi?” tambahnya sambil menarik kursi plastic
“yaa
lumayanlah, 30 menitan” balas imam
“jangan
marah gitu sih. Baru juga 30 menit” balas adit merayu
“Woiii”
suara harry dari kejauhan
Harry
dan dion membawa baskom berisi makanan.
“har,
sudah kubilang, bisa gak sih, gak teriak kalau datang!” kataku
“maaf
maaf ram, kebiasaan” balas harry dengan senyum tipisnya
Kebiasaannya
yang tidak baik, kalau kampung ini punya dia sih gak papa.
“kebiasaanmu
itu menganggu orang tau!” balasku
“yaa
santai aja sih ram” balas dion sambil membuka pastik yang membungkus baskom
besar itu
“jangan
komentar anda yaa. Anda aja tepar dua hari gara-gara melaut kok” balasku
menatap dion
“Itu
namanya proses adaptasi bodoh, kau tidak belajar ipa apa. Yang kempongpong jadi
kupu-kupu itu loh” jelas dion balas menatapku
“heh
itu mah bukan, Itu namanya metamorfisis” balas imam tertawa
“aaah,
suka-suka kau lah mam, mau metamorfosis kah, mau adaptasi kah, yang
penting sama aja” balas dion
“sok
pinter padahal salah”celetukku
Segera
kami berebut gorengan dari baskom tersebut. Mungkin ini sisa buka puasa, rumah
bu ning lagi banyak keluarganya datang, makanya beliau membuat makanan yang
banyak, atau malah terlewat banyak, sampai diberikan kepada kami.
Dari
dalam rumah, muncul ibunya bagas dengan membawa ceret air dan tumpukan gelas
plastik. “eh udah pada datang”
“eh
bude” kataku menyapa balik
“ini
ada teh, bude buatin untuk kalian” kata bude
“makasih
bude” kata harry dengan mulut yang penuh dengan gorengan
“itu
makanan di masukin dulu sih har” tegur dion
“sudah
sudah gak papa kok. Oh iya rama sudah lama yaa gak ngumpul-ngumpul gini?” tanya
bude dengan senyum khasnya.
“hehe,
iya bude. Lama banget. Makanya ngadain acara-acara ngobrol malam ke rumah-rumah
gini” kataku dengan tertawa tipis
“kalian
ini lucu yaa, dari dulu masih aja akrab sampai sekarang, main bareng mulu” kata
bude
“gak
juga bude” balas dion
“kok
bisa?” Tanya bude penasaran
“iyaa
bude, kita berlima mah main bareng terus, yang satu malah pergi jalan-jalan ke
kota” kata dion.
Sial
dia menyindirku ternyata
“halah
yon. Merantau boy, bukan jalan-jalan” balasku membela diri. Enak aja dia bilang
begitu.
“sama
aja lah, mau merantau kah, mau jalan-jalan. Pokoknya sama aja” balas dion
Mereka
tertawa, dan aku hanya sewot sendiri.
“bude
masuk dulu yaa, mau istirahat. Kalian lanjut deh” kata bude sambil berjalan
masuk
“iyaa
bude. Makasih tehnya”
Ibunya
bagas memang baik. Tapi kebanyakan ibu-ibu juga baik sih, jadi wajar. Tapi
selain baik, ibunya bagas yang kami panggil bude, adalah perempuan yang
tangguh. bagaimana tidak, dia menghidupi keempat anaknya sendiri sampai dewasa.
Bude selalu bilang kepada kami, untuk menjadi manusia yang tangguh, jangan
gampang mengeluh dan menyerah. Kalau mendengar kata itu dari mulut bude, tentu
adalah kata-kata yang tulus dari hati, tidak hanya kata-kata motivasi dan kata
penyemangat saja. Kenapa begitu? Bayangkan saja, bude kadang bekerja sebagai buruh
petani, lalu kadang menjadi pedagang di pasar, kadang juga berminggu-minggu
bekerja di rumah orang sebagai pembantu rumah tangga. Dari kerja kerasnya itu,
empat anaknya bisa lulus SMA semua, bahkan anaknya yang kedua sekarang sudah
sarjana, dan anak ketiga dan keempat lagi proses menuju lulus juga.
Kalau
di tanya ke bagas, kenapa dia gak mau kuliah? Dia selalu menjawab dengan tenang
dan keren, “Kadang untuk maju, ada pengorbanan yang harus dilakukan. Dan aku
memilih menjadi korbannya”. Memang agak puitis, tapi itu nyata adanya. Ketika
bagas ditawarin kuliah, Dia memilih untuk tidak kuliah. Padahal ibunya bilang
bahwa sudah menyiapkan duit untuk bagas kuliah, tapi dia tetap menolak dengan
mengatakan, bahwa duitnya disimpan untuk adek-adeknya yang sekolah nanti.
Aku
pernah berkata ke dia “tapi kan ada beasiswa gas, jadi aman”.
“iya
emang ada beasiswa, tapi untuk hidup yang lainnya gimana? Belum lagi orang
rumah kehidupannya gimana” jawab bagas.
Saya
selalu bangga punya teman seperti dia, walaupun dia orang yang paling susah di
ajak ngobrol.
.
“eh
arika belum pulang?” tanya dion
“belum.
Katanya sih 3 hari lagi, 10 ramadhan baru kesini” balas bagas.
“eh
mumpung lagi santai ini gas, ini mau aku tanyain banget ke kamu” kata imam
“apaan?”
“kenapa
namamu sendiri yang pakai huruf depannya B, sedangkan tiga adikmu pakai huruf A
semua?” tanya imam
Pertanyaan
macam apa itu fikirku. Sangat tidak penting sekali.
“mana
saya tau, Tanya ke ibu saya lah” balas bagas
“yaa
kali-kali aja ada filosofinya gas” balas imam mengangkat bahu
“kamu
juga aneh-aneh banget sih mam. Pertanyaan gitu masih di tanyain aja lagi”
balasku sewot
“yaa
apa salahnya bertanya dong” kata imam sambil mengangkat kedua tangannya
“kalau
aku nanya balik, kenapa namamu pake awalan I, sedangkan adik-adikmu gak? Gimana
tuh” balasku
“mana
saya tau ram” balas imam santai
Hahaha.
Mereka tertawa, dan kembali saya sewot sendiri.
“anda
kenapa, lagi banyak masalah? Dari tadi sewot mulu” balas dion.
Mereka
tertawa Lagi
Oh
iya, nama adik-adiknya Bagas memang huruf depannya A semua. Yang pertama ada
arika, yang baru aja sarjana, lalu yang kedua ada Anita yang sedang menempuh
semester akhir, dan Andin yang sudah semester pertengahan. Mereka semua di
kampus yang sama walaupun jurusan berbeda-beda.
“katanya
bapakmu balik gas?” kata adit tiba-tiba
“iya
po dit?” balasku kaget
“aku
dengar kabar begitu” kata adit
“beneran
gak gas?” tanya dion yang ikut penasaran
“iyaa,
dua hari lalu kesini, kok kamu tau dit?” kata bagas
“dikasih
tau ibu aku. Katanya bapakmu sempet datang gitu” balas adit
“terus
gimana dit?” tanya imam penasaran
“gak
gimana-gimana. Dia datang mau minta maaf dan mau kembali. Dia bilangnya udah
tobat. Bahkan kasih kami uang seamplop gitu untuk bukti keseriusannya. Dan dia
bilang duit di amplop itu halal” jelas bagas
“oh
gitu toh. Tapi beneran tobat gak?” tanyaku sedikit tidak percaya
“kayaknya
sih beneran ram. Orang udah dua tahun ini sering bolak-balik minta kembali kok”
jawab adit
“kok
kamu yang jawab sih dit. Orang yang ditanya bagas kok” balas harry
“kan
biasanya bagas gak jawab pertanyaan, makanya aku bantu jawab” kata adit
“yaa
biarkan dia yang ngomong sendiri dong dit. Beneran gak gas?” kataku
“yang
dibilang adit udah bener itu” balas bagas.
“Itu
kan!” balas adit sambil menunjukku
“yaa
gak gitu dong konsepnya. Takutnya kan salah yang di sampaikan adit gas” balasku
membela diri
“yaa
kalau salah kan tinggal di benarkan ram. Untungnya adit gak salah, makanya diam
aja” balas bagas sambil nyeruput teh
Aku
geleng-geleng kepala mendengar rasionalisasinya.
Kembali
mereka tertawa lagi.
“anda
ini terlalu tegang. Diminum dulu tehnya untuk menenangkan diri” kata dion
sambil menyodorkan teh. Segera kuambil teh dari tangannya
“terus
gimana gas, kau ambil duitnya?” tanya harry penasaran. Tumben sekali harry
fokus mendengarkan cerita ketika ada makanan di depan matanya, biasanya dia
hanya mendengar sekilas doang. Bahkan kadang kala dia ikut ketawa, tapi ketika
ditanya kenapa ketawa, dia menjawab “gak tau juga. Aku ikut ketawa aja”.
“gak
lah, ku kembalikan” balas bagas
“kau
masih marah dengan bapakmu?” tanya harry
“sudah
tidak. Bahkan Aku sudah memaafkan kelakuannnya kok” balas bagas
“terus
kenapa tidak kau terima saja, dan biarkan bapakmu kembali?” tanya harry lagi
“memaafkan
bukan berarti melupakan har. Saya, ibu dan adik-adik tidak mau jatuh ke lobang
yang sama” balas bagas.
Beginilah
sosok bagas, dia memang jarang ngomong, tapi sekalinya ngomong selalu bijak dan
memberi kebaikan.
Mendengar
bahwa bapaknya bagas kembali ke kampung, tentunya membuatku terkejut. Bapaknya
ini sempat menjadi orang yang paling menghebohkan di kampung kami karena
tindak-tanduknya.
Kasus
pertamanya, adalah ketika pemilihan kepala desa, dan dia ingin maju menjadi
calon. Ketika ingin mendaftar, ternyata pendaftaran sudah tutup sehari yang
lalu. Mendengar itu bapaknya marah dan mengamuk di kantor, bahkan sempet
memukul beberapa petugas desa, hingga akhirnya berhasil diberhentikan juga.
Tapi walaupun pendaftaran masih buka, bapaknya bagas tidak akan bisa mendaftar
karena ada beberapa syarat administratif yang tidak bisa di penuhi.
Kasus
kedua, adalah ketika perlawanan terhadap pabrik. Ketika semua orang
berbondong-bondong untuk melawan pabrik, bapaknya bagas dengan Santainya
menjadi mata-mata pabrik. Bahkan sering mengompori pemuda untuk tidak
ikut-ikutan melawan. Bagaimana masyarakat tidak naik pitam melihat kelakuan
itu. Suatu hari masyarakat semakin geram dengan kelakuan bapaknya bagas, dan berencana
untuk menyidang beramai-ramai. Ternyata informasi tersebut bocor sampai
ketelinga bapaknya bagas, ketika masyarakat sampai di rumah bagas, bapaknya
bagas telah hilang entah kemana, dan parahnya dia kabur dengan membawa emas dan
beberapa harta milik istrinya yang tentunya adalah ibunya bagas, bude.
Kasus
ketiga, ini yang paling parah. Dan inilah yang membuat bagas menjadi orang
seperti yang sekarang ini, pendiam dan ngomong seperlunya dan sepentingnya aja.
Itu terjadi 3 bulan setelah kasus kaburnya dia. Bapaknya bagas kembali tanpa
dosa. Dan datang ke rumah bagas, dan dalam keadaan setengah mabuk. Sampai di
rumah, dia meminta istrinya uang, tapi tidak di berikan. Bahkan bapaknya sempat
menyekap adiknya bagas, si andin dengan lengannya dan mengancam akan
membunuhnya apabila tidak diberikan uang. Memang terdengar tidak masuk akal,
tapi dalam kondisi mabuk apapun bisa terjadi. Bukannya hal-hal yang masuk akal
itu tidak berguna dalam kondisi tidak waras? Segera ibunya masuk ke kamar dan
memberi semua uang yang dimiliki, bagas Terdiam bingung, dan anita yang
menangis sedangkan arika di tugaskan sama ibunya untuk pergi memberi tau
bapaknya adit, dan orang-orang lain. Ketika diberikan uangnya, segera dia
lempar andin begitu keras sampai menghantam tembok, untungnya tidak berdarah,
hanya memar sedikit. Ketika bapaknya akan pergi, bagas berlari menghadangnya
dengan tangan dan badannya.
“pak
jangan. Kembalikan uang ibu” kata bagas
Tangan
bapaknya mendarat tepat di pipi bagas, bahkan sampai membuatnya tersungkur jatuh.
Sebelum
dia pergi bapaknya berkata “hei bagas. Kau tidak perlu sok jagoan
Membela, banyak omong, menyuarakan kebenaran. sudah terlalu banyak suara
sumbang di dunia yang membuat dunia ini bising. Kau tau! Lebih baik diam dan
jangan banyak bicara!”. Kata bapaknya bagas sambil menendang bagas yang
tersungkur di lantai.
Pelarian
bapaknya bagas tidak berhasil. di tengah jalan, dia berhasil di tangkap oleh
bapaknya adit dan beberapa masyarakat, termasuk juga bapakku. Karena
masih ada dendam yang tertinggal, amukan masa pun tidak bisa dihindarkan.
Banyak tiba-tiba tangan dan kaki yang muncul dari luar kerumunan. Apalagi di
tambah mereka tau bahwa bapaknya bagas berani menyiksa anak-anaknya sampai
terluka.
“dasar
penjahat!”, “pengecut bajingan”, “setan kau ya” “datang-datang malah bikin
rusuh kau yaa bangsat” begitulah teriakan yang terdengar dalam kerumunan itu.
Sudah tidak terhitung lagi beberapa tangan dan kaki yang kena ke tubuh bapaknya
bagas. Untung bapaknya adit dan bapakku begitu sigap, sehingga tidak sampai
berlebihan walaupun Mukanya sudah berdarah-darah, penuh lebam dimana-mana, dan
seperti orang sekarat, dengan hanya teriakan minta ampun. Akhirnya ia dibawah
ke kantor desa dan disidang beramai-ramai. hukumannya adalah Dia tidak boleh
kembali ke kampung selama 15 tahun, untuk memperbaiki diri. Walaupun pada
awalnya ada usul untuk tidak mengizinkan dia kembali ke kampung seumur
hidupnya. Tapi bapakku menolak itu, alasannya manusia pasti bisa berubah, dan
kembali diterima oleh masyarakat. Kedua, dia harus menceraikan istrinya. Pada
awalnya masyarakat minta untuk talak 3, tapi kembali bapakku menolak itu. Dan
berharap Cuma talak 1. Alasannya masih Sama karena manusia itu bisa berubah.
Hukuman ini sempet terjadi perdebatan yang begitu lama, karena banyak yang
masih bersikukuh untuk talak 3, sampai akhinya ibunya bagas sendiri yang bilang
untuk talak 1 saja. Sebenarnya saya pernah bertanya kepada bapak kenapa bapak
mau hanya talak satu, jawaban bapakku adalah, "karena dulu bapak
dan ibunya bagas saling cinta, tapi karena kebutuhan dan kehidupan yang keras
merubah bapaknya bagas jadi tidak terkendali. Mungkin suatu hari cinta akan
menyatukan lagi", begitu kata bapak, yang tidak pernah dia ungkapkan
di sidang rakyat kala itu. Sejak kapan bapakku jadi puitis begitu.
Rasionalisasi
bapak semakin kuat lagi dengan dukungan dari bapaknya adit yang setuju soal
talak 1 itu. Sehingga masyarakat akhirnya setuju.
Hukuman
yang ketiga, dia harus mengganti semua kerugian yang telah dia curi, yaitu
perhiasan dan emas.
Begitulah
singkat cerita bapaknya bagas, makanya kami sangat heboh ketika tau bahwa
bapaknya sudah dua tahun ini kembali. Kala itu kami masih umur 6 tahun, dan
kejadian itu terjadi 2 tahun sebelum kasus perang di pabrik. Karena 19 tahun
sudah berlalu, yang mana sekarang bagas sudah umur 24 tahun, maka hukuman
bapaknya bagas sudah luntur dan bersih.
.
“kalau
misal suatu hari bapakmu benar-benar baik, benar-benar tobat. Apa masih mungkin
dia kembali gas dan kalian menerimanya?” tanyaku menatap tajam bagas
Suasana
tiba-tiba hening, aku paham, bahwa yang lain juga pengen tau jawaban yang jujur
dari hatinya bagas.
“ya
mungkin saja” balas bagas
“berapa
persen?” tanyaku lagi. Dan suasana masih tetap hening.
“berapa
persen yaa? 85% lah” jawab bagas.
Aku
mengela nafas, suasana kembali baik.
“sudah
sudah, lupakan. Sekarang mending kita main kartu. Saya bawa kartu ini” kata
dion sambil mengeluarkan kartunya
“tapi
kan tidak bisa kalau main berenam.” Balasku
“siapa
yang bilang?” tanya dion
“aturannya
kan begitu yon” jawabku
“aah
pake aturan segala. Kaku kali kau ini” balas dion dengan tertawa
Lagi
dan lagi mereka tertawa, tapi kali ini saya juga ikut tertawa, sewot sendirian
terlalu menyedihkan