Sabtu, 01 April 2023

ADZAN MAGHRIB YANG DITUNGGU : SANG PENANTANG BADAI (EPS 09)

“woi mam, hujan ini, anginnya kencang banget lagi”

“iya, aku juga tau hujan kali yon”

“aman gak ini mam?”

“santai aja dit, Cuma badai kecil kok”

“gila yaa kau mam. Cuma badai kecil katanya”

“santai aja sih har”

“goyangan kapalnya makin kencang lagi mam” 

“ya bagus berarti, bukannya orang kota suka goyang ram. Haha”

“gas, aman?”

“aman mam”


Kami semua panik, Cuma bagas yang santai dan juga tentunya imam si kapten kapalnya. Adit saja orang yang berpikir dengan logika-logika sederhana Panik. Atau mungkin sebenarnya bagas juga panik, tapi sebagai orang yang susah mengekspresikan dan mengungkap sesuatu, jadi terlihat kalau dia biasa saja.

“tenang, yang penting kita jangan terlalu menantang ombak, karena tekanan kuat Ditabrakkan dengan tekanan yang kuat, salah satu akan hancur. Tentunya kapal kita yang hancur dong. Dan kita bisa mati” kata imam memberi arahan. 

Arahan macam apa itu, itu lebih cocok di bilang sebagai ancaman tersirat. 

“woii, gila kamu yaa mam. Sudah ku bilang, gak usah ngelaut. Masih aja ah!” kata dion yang semakin panik. Bagaimana tidak semakin panik, angin berhembus tambah kencang, ombak yang menghantam kapal pun semakin kencang. 

sekitar 20 menitan kami dalam keadaan panik karena cuaca, sedangkan imam dengan santainya sambil bersiul mempersiapkan jaringnya. 

10 menit setelahnya, keadaan kembali membaik, air mulai tenang, hujan mulai reda, dan angin tidak terlalu kencang seperti tadi. 

Dalam keadaan panik, walaupun tidak seperti tadi, aku selalu berusaha berpikir positif dan optimis.  Hingga laut benar-bener membaik

“yuk lah pada mancing. Kalian berlima mancing, aku yang jaring ikannya ntar”  kata imam

“bentar dulu mam, tenangin diri dulu lah” kata dion masih terus memperbaiki nafasnya. sehebat apapun dion di daratan ternyata takluk juga di lautan. 

Imam hanya tertawa melihat kami berlima dengan wajah pucat.

Mulai imam menunjuk titik -titik kami untuk mancing, supaya tidak tersangkut sama jaring ikannya. Lalu mulailah kami memancing ikan. 

Asli! disitulah aku merasa benar-benar kagum dengan imam. Walaupun aku sering mendengar cerita hebatnya ketika melaut, tapi merasakan secara langsung adalah hal yang luar biasa.

Karena kami di titik yang berjauhan ketika memancing, kami jadi sedikit ngobrol, dan hanya bengong menunggu umpan kami di makan. Sedangkan imam, umpannya sudah dimakan tiga kali.

“ah capek nunggu ikannya mam. Mending tidur” kata dion yang berjalan menuju tikar di tengah kapal

“iya mam. Kau ajalah yang mancing, aku mau tidur” sambut harry juga yang berjalan meninggalkan pancingnya yang masih terpasang.

Di pojok, ku kira adit lagi fokus menunggu pancingannya di makan, ternyata dia tertidur sambil duduk.  Sedangkan bagas masih fokus menunggu pancingannya

“gak istirahat ram?” tanya imam

“nanti dulu ram, lagi menikmati angin malam” balasku yang fokus pada pancingku. walaupun aku tidak hobby mancing, tapi beberapa kali umpanku habis begitu saja membuat adrenalinku meningkat. "enak saja mereka makan umpanku begitu saja. tidak ada makan malam gratis kawan" fikirku

“sudah kubilang laut itu indah dan menyenangkan ram” balasnya yang baru saja melepaskan ikan kelima hasil pancingannya.

Aku tidak merespon pernyataannya, tapi memang benar-benar menyenangkan. Bagaimana tidak, kami yang notabenenya sangat pemula kecuali imam, tiba-tiba di ajak melaut dengan keadaan cuaca yang ekstrem. Hujan kencang, begitupula dengan anginnya. Kami seolah-olah menjadi crew kapal yang di pimpin oleh kapten imam. Walaupun cara memberi instruksi sama sekali tidak memberi motivasi dan semangat. Bayangkan ketika kami di suruh untuk membenarkan arah layar perahu, imam berkata “terlalu kiri ram, bisa-bisa kita terbawa arus. Kamu mau mati apa”. Instruksi macam apa ini, sangat tidak memberi sikap optimisme. 

Tapi memang begitulah cara imam menyampaikan sesuatu, apalagi dia sering menyindirku dengan kata “orang kota”. 

Kemahiran imam dalam melaut tidak lahir begitu saja, ia diterpa begitu banyak perjalanan melaut sebelum menjadi sehebat ini. Ibarat pepatah mengatakan bahwa “pelaut yang handal tidak lahir dari air yang tenang”. Pastinya perjalanan melautnya selalu di hantam arus dan badai yang kencang. Di tambah kecerdasannya, sehingga mencari solusi atas keadaan yang dihadapi bisa sangat mudah.

Aku masih ingat bagaimana imam diajak bapaknya melaut ketika umurnya masih 6 tahun,  Kala itu bapaknya bilang bahwa imamlah satu-satunya penerus bapaknya sebagai nelayan. Dan dari situlah keahliannya melaut hadir. 

Bapaknya imam lumayan keras dalam mendidik. Ketika pertama kali mengajarkan imam berenang, beliau “melempar” imam ketengah lautan lepas, walaupun di rumah sudah diberi arah-arahan sedikit tanpa ada praktek di kolam kecil. Imam dengan penuh ketakutan segera menggerakkan kaki dan tangannya, untuk berenang menuju perahu, dan berhasil sampai. Baru juga mengambil nafas, imam kembali “dilempar” ke tengah lautan, dan kali kedua dia berhasil kembali ke kapal. Dan “pelemparan” ketigapun dilakukan, tapi sebelum itu, bapaknya berkata “berenang yang tenang, gak usah panik”.  Setelah itulah, dia menjadi sangat mahir berenang. Bahkan ada yang bilang dia bisa menahan napasnya lebih dari 10 menit di dalam laut. Itu sesuatu yang tidak wajar untuk manusia kebanyakan.

Dari kecerdikannya dalam memahami konsep nelayan dan melaut, imam akhirnya mentransformasikan usaha bapaknya dari nelayan menjadi pembuat kapal. Ketika pertama kali dia memodifikasi perahu bapaknya, orang semua terkagum-kagum, dan minta bantuan padanya. Melihat peluang disitu, imam akhirnya membuka jasa pembuatan perahu dan kapal kecil, bagi yang mau melaut. Karena banyak orang diluar desa yang juga melaut lewat situ, sehingga memesan kapalnya dari imam. 

.

“Ram, beneran gak mau tidur?” tanya imam memecah lamunanku

“gak mam. Belum ngantuk” balasku

“owalah, okelah. Itu si bagas udah tidur, sambil duduk tapi, kayak adit” tambah imam. segera aku melihat bagas. ia terlihat nyenyak tidur dengan posisi duduk dan memeluk alat pancingnya. sudah dipastikan umpan pada ujung kailnya sudah habis dimakan

Segera imam melemparkan Pancingnya lagi, ternyata dia sudah dapat lebih dari 10 ikan dari hasil pancingannya, sedangkan aku satupun belum. Dia terlalu mahir untuk jadi pembanding denganku.

Kegilaan dan kemahiran imam soal melaut semakin terlihat ketika kami kelas 2 SMA. Kala itu ada masalah besar di rumahnya, bapak dan ibunya sempet ribut, aku juga tidak tau karena apa, sehingga membuat suasana hati imam menjadi kacau. Dua hari dia menginap dirumahku untuk menenangkan dirinya. Tiga adiknya di bawah pergi ibunya, menginap di rumah tetangga. Bapaknya imam tergolong keras dan kasar, tapi disitulah titik balik yang akan membuat bapaknya menjadi baik dan tidak pernah kasar lagi. Karena tidak enak denganku, imam bilang akan kembali ke rumahnya, walaupun sudah kubilang tidak apa-apa, bapak dan ibuku tidak mempermasalahkannya. Tapi ia tetap bersikeras mau pulang. Ketika ia pulang, keesokan harinya dia tidak masuk sekolah. aku dan yang lainnya berpikir positif saja, mungkin masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi lama-kelamaan menjadi janggal, karena satu minggu ia tidak masuk sekolah. Segera aku mengajak dion dan harry yang notabene paling berani untuk mendatangi rumah imam, dan mengetahui keadaanya. Dan bagas dan adit pergi ke ibunya untuk menanyakan keadaan imam.

Sampai di rumah imam, aku melihat bapaknya yang termenung sendiri di depan rumah, dengan muka lemes dan pucat seperti orang kurang tidur. Kami beranikan diri untuk bertanya

“om, imamnya ada?” tanyaku

Tapi bapaknya imam tak menjawab, ia masih terdiam

“om” panggilku

Tetap diam

Segera harry berjalan mendekati dan menyentuhnya, “om”

Seketika bapaknya imam berteriak, dan membuat kami kaget dan terlompat ke belakang. 

“maaf maaf” kata bapaknya imam

“gak papa om. Kita kesini mau ketemu imam” kata dion

“lah, bukannya imam nginap di rumahmu rama?” tanya bapaknya imam dengan wajah bingung

“sudah dari seminggu yang lalu gak om, katanya mau balik kerumah aja” balasku yang juga dengan wajah bingung. seingatku imam ijin pulang ke rumah.

“seminggu ini saya sendirian dirumah, tidak satupun orang disini” jawab bapaknya imam dengan wajah sedih

Kami bertiga bingung, kalau tidak dirumahnya, lalu dimana? Apa mungkin sama ibunya. 

Tiba-tiba datang adit dan bagas

“imam ada gak ram?” tanya adit

“gak ada” balasku

“imam gak ada om?” tanya adit kepada bapaknya imam

“gak ada dit. Saya sendirian terus ini” balasnya

“ibunya bilang apa?” tanyaku pada adit

“gak ada juga. Ibunya udah gak ketemu adit semingguan juga” jawab adit

Wah hilang kemana anak itu. Kami sepakat untuk keliling desa untuk mencarinya. Hampir seharian kami mencarinya, dari rumah ke rumah, sampai dengan di dalam hutan-hutan. Tapi tetap tidak kami temukan. 

Mungkin dia di pantai, ketika kami berlima sampai di pantaipun tidak ada orangnya. Akhirnya kami putuskan untuk istirahat dan mencarinya esok hari. 

Waktu berlalu lebih dan tiga minggu sudah imam menghilang, bapak dan ibunya mencari kemana-mana dan tidak menemukannya, bahkan sampai melapor ke polisi. Tapi tidak menemukan apapun. Hingga akhirnya kami berlima bersama beberapa warga desa termasuk bapak dan ibunya imam mencarinya kembali ke pantai, dan tidak di temukan juga. Sampai kami bertemu dengan nelayan dari desa sebelah.

“ini ada apa rame-rame dek?” tanya bapak dengan topi hitam dan bertubuh pendek

“ini pak lagi nyari orang hilang” kataku

“oh hilangnya di pantai ini ya?” tanya bapak itu penasaran

“gak tau juga pak, tapi anaknya sering kesini” jawabku “bapak biasa di sini?” tambahku

“jarang-jarang mas, paling beberapa minggu sekali. Emang yang hilang umur berapa dek?” tanya bapak itu

“umur 16 pak, seumuranku lah” balasku

Bapaknya Cuma mengangguk.

Sebelum saya pergi meninggalkan bapaknya yang lagi sibuk dengan perahunya, tiba-tiba ia memberhentikanku

“eh tunggu dek, kalau yang seumur kamu saya sempet liat” kata bapaknya

“beneran pak?” tanyaku antusias.

“iyaa mas, tapi sudah lama sekitar 3 minggu yang lalu” jawabnya

Itu dia, itu pasti imam. “oh itu dia pak. Dimana dia sekarang?” tanyaku sambil berteriak memanggil orang-orang desa yang berpencar mencari.

“bapak ini ketemu sama imam 3 minggu yang lalu om” kataku ke bapaknya imam

“bener pak?” 

“iya pak, dia pake baju hitam. Terus bawa karung beras 10 kg, dan gas elpiji 3 kg gitu pak” jawab bapak itu “waktu saya tanya mau kemana, dia bilangnya mau pergi melaut. Saya biarin aja” jelas bapak itu

Ternyata imam pergi melaut toh.

“Paling bentar lagi balik pak, soalnya gas elpijinya juga pasti abis kan” kata bapak itu.

Akhirnya kami menemukan titik terang, kami akhirnya sepakat untuk menunggu dia kembali ke pantai, dengan kami menjadwal minimal dua orang untuk menunggunya di tepi pantai.

Keesok harinya, sebelum saya dan adit berangkat ke pantai untuk menunggu imam, imam muncul sendiri dengan memegang gas elpiji 3 kg di tangan kanannya dan plastik hitam berisi pakaian kotor di tangan kirinya.

“kalian berdua mau kemana?” kata imam dengan santainya

“mau ke pantai nunggu anda!” kataku dengan wajah kesal.

“anda ini menghilang tidak bilang-bilang, orang satu desa panik tau” tambahku lagi

“kamu masih mau terus menceramahinya atau membawanya ke rumahnya ram?” kata adit penuh sindiran. hei, hanya sedikit orang yang bisa tenang ketika kondisi marah, harusnya di paham itu. pikiran sederhananya memang menjengkelkan

“ah lebay. Orang aku Cuma pergi melaut” balas imam dengan santainya sambil berjalan meninggalkanku. Sialan, umpatku dalam hati.

Segera kedatangan imam di sambut gembira masyarakat desa yang ngumpul di rumahnya, ibunya yang masih dalam tangis, berlari dan memeluk erat imam. Dan diikuti ketiga adiknya.

“kamu bawa apa itu mam?” tanya ibunya

“pakaian kotor bu, cuciin ya” kata imam dengan wajah tanpa dosa sambil memberikan pakaian hitamnya. Ibunya kembali memeluk imam sambil tertawa dan menangis. Kolaborasi emosi yang susah digambarkan. 

.

Dion mengagetkanku yang tiba-tiba terbangun dan berlari menuju pinggir kapal untuk memuntahkan isi perutnya di lautan. Hueeek Hueeek Hueeek

“kenapa?” tanyaku

“mual ram, asli gak enak banget tidur goyang-goyang gini” balas dion.

 Kehebohan dion membangunkan yang lainnya. Dion masih terus memuntahkan isi perutnya

“lemah sekali, buktinya harry gak papa” kataku mengejeknya

“bodoamat ram” balas dion yang terduduk lemas. Muntah membuat dia tidak punya energi untuk berdebat dan membela diri.

“memang kalau awal begitu yon. Kita makan dulu aja” kata imam

“kalau makan entar muntah lagi mam” balas dion yang masih terlihat lemas

“ya kan tinggal makan lagi yon” jawab imam

“bodoamat mam mam. Kenapa saya mau ikut ide gilamu ini sih” Gerutu dion sambil teriak walaupun tidak bertenaga.

Kami hanya tertawa.

Imam segera memasak nasi dan memasak ikan hasil tangkapannya untuk di makan sebagai sahur kali ini. Saya, adit dan bagas masih fokus kepancingan yang belum pernah dimakan ikan sekalipun, sedangkan harry kembali tidur, dan dion yang memulihkan keadaannya.

.

“Yuk sahur sahur” kata imam membawa nasi dan ikan hasil masakannya 

Segera kami melingkari makanan itu, dan mulai membagi nasinya satu persatu.

“pokoknya aku harus makan banyak mam, kau tanggung jawab pokoknya. Buat orang muntah-muntah begini” kata dion dengan tubuhnya yang masih lemes

“orang kalau abis muntah itu jangan makan banyak nanti malah merusak lambung dan usus loh” kata imam

“apa bener mam?” tanya dion dengan wajah serius. seketika ketakutan muncul di kepalanya

“gak tau juga sih, aku Cuma ngasal ngomong”

“BODOAMAT MAM MAM!”

.

Ini pengalaman pertamaku sahur di lautan, di temani hembusan angin, dan terpaan ombak. Pengalaman yang menyenangkan dan juga menegangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar