Selasa, 04 April 2023

RAMADHAN MENULIS 3. EPS 10 : PIKIRAN YANG BERGERILYA DI PEMAKAMAN

pikiran ini muncul pertama kali bukan ketika tulisan ini terbit, tapi sudah lama waktu berlalu. Hanya belum sempat saya sempurnakan saja. Maka dengan anda membaca tulisan ini, maka sempurnalah tulisan ini, setidaknya menurutku.


10 februari 2023, suami dari sepupu saya meninggal dunia, sebelum itu juga, bapak dari teman pertama saya di S2 UNHAS, meninggal. Hari-hari yang menyedihkan untuk beberapa orang di lingkaranku. Kembali ke pemakaman suami sepupu. Saya datang ke rumah duka. Ramai para tamu datang untuk memberikan belasungkawa dan turut bersedih atas kepergian almarhum. Saya datang pukul 2 siang, dan rencana akan dimakamkan setelah sholat ashar. Dalam kondisi menunggu, entah kenapa kepala saya dikelilingi pikiran-pikiran yang tidak berhenti berputar. Pikiran saya semakin kencang ketika akan pergi menuju masjid tempat almarhum di sholatkan, saya melihat anak almarhum yang juga adalah keponakan saya (walaupun mereka lebih tua jauh dari saya) menangis. Sangat tampak di mata saya bahwa ditinggalkan oleh orang yang disayangi sangat menyakitkan. Saya melihat salah satu anaknya menangis bahkan sampai susah berjalan, hingga akhirnya dia naik motor yang dikemudikan oleh suaminya menuju masjid. Mungkin inilah arti dari menangisi kepulangan.

Dalam perjalanan saya menuju masjid, saya menyadari sesuatu bahwa menangisi kepulangan artinya kita menangisi kelemahan kita akan takdir, menangisi kekalahan kita akan waktu, menangisi ketakutan kita akan kesendirian, dan juga menangisi kehilangan akan cinta. Menangis karena kita lah yang paling tahu bahwa sebenarnya bukan yang meninggal lah yang kehilangan kebahagiaan, tapi kitalah sebenarnya yang kehilangan kebahagiaan itu, setidaknya beberapa bagian kebahagiaan kita hilang.

Pikiran lainnya muncul ketika selesai menyolatkan jenazah, saya jadi berpikir, secara eksistensi dan esensi kemanusiaan, manusia dinyatakan meninggal adalah ketika sudah tidak dapat bernafas lagi. Tapi secara kemanusiaan islaminya adalah ketika ia sudah di sholatkan. Ketika ia sudah tidak bisa sholat lagi, padahal tugas manusia dan jin adalah untuk beribadah. Tapi ketika kita sebagai manusia sudah tidak bisa beribadah lagi, maka selesai secara paripurnalah tugas kita sebagai manusia dan hamba Allah.

Pikiran lainnya muncul lagi ketika di tanah kuburan. Ketika saya melihat punggung orang yang sedang melingkari proses penguburan dan suara tangis yang lirih, pikiran saya mencuat keluar begitu saja. Saya jadi berpikir mungkin maksud dari Rachel venya atau para orang yang melanggar aturan dan mendapat kompensasi karena bersikap baik dan sopan santun adalah tentang hidup dan mati. juga dalam kuhp yang terbaru mengatakan bahwa apabila dalam masa percobaan 10 tahun oleh terdakwa hukuman mati, ia berkelakuan baik, maka bisa tidak jadi dihukum mati. Seorang ustadz atau motivator keislaman sering bilang begini “semua yang bernyawa pasti akan mati. Kita hanya menunggu antrian”. Artinya, bahwa seharusnya selama kita menunggu antrian kita harus bersikap “baik” dan “sopan santun”. Karena mungkin saja di “meja pengadilan akhirat” hukuman kita bisa dikurangi atau malah bisa saja terbebas dari hukuman. Dan satu yang harus diingat, “pengadilan akhirat” adalah pengadilan yang paling adil, tidak ada cerita hakimnya bisa disuap untuk kebebasan. Kenapa? Karena “Sang Hakim” adalah pemilik segalanya termasuk diri kita sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar