Tidak ada yang mengagetkan dari hasil putusan MK hari ini. saya sudah mengira bahwa keputusannya akan menolak. Adanya peraturan 90 di MK saja sudah menjadi petunjuk bahwa hasil sidang MK soal sengketa pilpres tidak akan mengeluarkan keputusan yang mengejutkan. Saya menulis ini bukan sok menenangkan diri, jauh sebelum itu, saya sudah mengira itu.
03 april 2024, saya menghubungi salah satu teman
dari jurusan hukum, alasan saya menghubunginya karena ada senior organisasi
kami yang saya liat bertengger di dalam gedung MK, makanya saya tanya, jadi apa
senior kami di sidang MK kala itu. di akhir percakapan, beliau chat begini ke
saya “pie siap pemilu ulang??”. Tanpa pikir panjang, langsung saja saya jawab “mungkin
po terjadi pemilu ulang?”. Balasan ini adalah pertanyaan pesimis. Selama saya
di jogja, penggunaan kata “po” dalam kalimat pertanyaan, entah kenapa bagi saya
selalu bernada pesimis ya, artinya kemungkinan terjadinya sangat kecil karena factor
lain yang membuatnya tidak terjadi, lebih besar.
Saya bukan anak hukum yang paham mendalam soal
konsep hukum dan segala tetek bengeknya. Dan sengketa pilpres ini terlalu
abu-abu bagi saya untuk dinilai dengan kacamata kepastian hukum. Misalnya seperti
pembagian bansos, dikatakan kalau bansos tidak mempengaruhi suara, tapi
dibagikan ketika semasa kampanye, dan langsung dibagikan oleh presiden yang
mana anaknya lagi ikut pemilu, dan parahnya beredar video beberapa menteri
mengkampanyekan anak presiden melalui
perangkat bansos. “ini dari jokowi, maka harus berterima kasih kepada jokowi” dan
“ini dari jokowi. Dan Gibran anak jokowi, makanya kalau mau lanjut harus pilih gibran”
adalah dua kalimat yang keluar dari mulut dua menteri yang videonya tersebar. Saya
sih gak papa kalau beneran pake uang mereka sendiri, lah ini pake bansos loh.
Belum lagi penggunaan perangkat desa untuk mendulang
suara, banyak cerita tekanan dari perangkat desa, bahkan sempat berada foto
perangkat desa di temanggung melakukan kumpul untuk membahas pemenangan 02. Dirty
vote sudah merangkum dengan baik semua
keculasan yang dilakukan. Yang paling menggemparkan adalah putusan 90 yang
meloloskan Gibran kemarin, yang akhirnya diputuskan melanggar etik. Dalam kepastian
hukum, sependek pengetahuan saya, hal etik seperti ini susah dibuktikan.
Saya tidak ingin berpendapat banyak soal hukum dan
kepastiannya, ilmu saya dangkal. Tapi ada yang menarik bagi saya dalam hasil
putusan sidang MK ini. pertama, MK memutuskan “pencalonan Gibran sebagai
cawapres bukan tindakan nepotisme serta tidak ada intervensi presiden dalam
pencalonannya”. Setelah membaca berita ini dari twitter, saya langsung membalas
dengan kutipan tweet seperti ini “sepertinya definisi nepotisme di kepala saya
memang harus direvisi”. Entah kenapa saya merasa definisi nepotisme di kepala
saya langsung salah karena MK yang punya kuasa hukum membatalkan konsep
nepotisme itu.
Setelah membaca berita juga, otomatis saja tangan
saya bergerak membuka google di gawai untuk mencari definisi nepotisme. Hasil penelusuran
saya soal definisi nepotisme pun bermuara pada argument hariyanto dalam jurnal
biro organisasi dan kepegawaian departemen sosial RI berjudul priayisme dan
korupsi kolusi nepotisme (KKN) :studi status group di kabupaten sleman provinsi
DIY, “mengatakan bahwa nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan sanak
saudara sendiri, terutama dalam jabatan dan pangkat di lingkungan pemerintahan
atau tindakan memilih kerabat atau sanak keluarga sendiri untuk memegang
pemerintahan” (Sumber :detik.com).
saya suka penjelasan Rocky gerung di channel Rocky
Gerung Official, pada diskusi FNN, Bung Rocky mengatakan begini soal nepotisme
itu tidak ada karena Gibran itu dipilih bukan ditunjuk, “poinnya apa itu? Tentu
saja dia dipilih setelah ditunjuk, oleh bapaknya, kepada pamannya. Ini MK buta
huruf, jumlah kedunguannya kalau ditambah-kurangkan tetap dungu. Karena nepotisme
itu adalah istilah politik untuk menyebut fungsi kekuasaan di dalam
mempengaruhi hukum, itu masalahnya. Bukan hukumnya yang dilihat, tapi fungsi
kekuasaan. Kalau Gibran disebut bukan hasil dari nepotisme berarti Gibran bukan
keponakan dari paman usman, artinya usman bukan pamannya Gibran, artinya jokowi
bukan bapaknya Gibran, artinya usman itu bukan iparnya jokowi. Jadi tidak ada
nepotisme kalau usman bukan iparnya jokowi, dan tidak ada nepotisme kalau Gibran
bukan anaknya jokowi. Hakim ini betul-betul dungu, nepotisme itu artinya
penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi hukum, itu masalahnya”.
Inilah yang sering dibilang bang pandji pragiwaksono
sebagai “bermain di wilayah abu-abu”. Permainan yang dimainkan selalu di wilayah
abu-abu, tidak jelas benar salahnya. Bansos dibilang sudah tepat, tapi
dikeluarkan jor-joran menjelang pemilu yang mana salah satu peserta pemilu
adalah anak presiden, lalu putusan MK 90 yang sah secara hukum, tapi
kenyataannya ketua MKnya adalah paman si calon. Inilah hasil dari nepotisme,
yaitu wilayah abu-abu, dan yang tentunya menimbulkan konflik kepentingan.
Yang kedua soal disetting opinion oleh 3 hakim MK. Ada
3 hakim yang berbeda pandangan soal sengketa pilpres ini, dimana 3 hakim ini
menyakini bahwa ada kecurangan yang terstruktur dalam pilpres kali ini. salah
satu ungkapan yang menarik adalah dari hakim saldi isra, beliau mengatakan
begini “dulu jaman orba juga pemilu sesuai prosedur kok, tapi cara curang”. Artinya
hakim saldi isra ingin mengatakan kalau pilpres kali ini sesuai prosedur tapi
prosesnya curang. Saya jadi ingat soal rukun sholat dan diterimanya sebuah
sholat, saya tidak tau ini bisa apple to
apple atau tidak, tapi di dalam islam, secara prosedur ketika kita sholat
sesuai rukunnya, secara ilmu yang dipelajari sholat kita sah, tapi masalah
diterima atau tidak itu balik ke yang diatas, mungkin saja dalam hati kita
tidak khusu’, atau sholat hanya untuk riya, sholat hanya karena terpaksa dan
lain-lain.
Yang menarik dari disetting opinion ini adalah
muncul dua kubu, kubu pertama adalah mereka yang skeptic. mereka meyakini kalau
para hakim yang melakukan disetting opinion cuma akal-akalan saja, mereka
pura-pura berbeda pendapat untuk menjaga agar marwah MK masih terlihat baik,
padahal sebenarnya mereka tidak benar-benar beda pendapat. Kubu yang kedua
adalah mereka yang optimis. mereka meyakini adanya disetting opinion adalah
secercah cahaya dalam hiruk pikuk kegelapan demokrasi, karena berani melakukan
tindakan yang progresif soal keputusan MK. Bahkan mantan ketua MK, mahfud MD
mengatakan ini adalah sejarah baru, yang mana sengketa pilpres dulu tidak
pernah terjadi, selalu saja semua hakim punya suara bulat, tapi kali ini ada 3
hakim yang berbeda pendapat.
Mana yang benar, saya tidak tau juga, walaupun sebenarnya
saya ingin meyakini kubu yang kedua, karena sebaiknya kita memang butuh
secercah cahaya dalam kegelapan ini, butuh sebuah dorongan semangat, pantikan
api kecil untuk menyalakan api besar. Kalau secercah cahaya saja tidak ada,
kalau pantikan api saja tidak ada, maka kita akan membiarkan kejatuhan
demokrasi terus berjalan tanpa hambatan.
Saya hanya berharap Negara ini baik-baik saja,
jangan sampai hal seperti nepotisme ini malah menjadi barang biasa dan normal
di masyarakat, dan semoga demokrasi kita segera membaik. Politik tanpa
identitas ala partai politik Indonesia ini sungguh menjengkelkan bagi saya. Semoga
kita dan Negara kita baik-baik saja kedepannya. Qobul!