Minggu, 21 April 2024

Berada di Barisan Perubahan

Tulisan ini untuk menyongsong hasil sidang MK yang akan diumumkan. Saya dedikasikan untuk segala perjuangan remeh temeh yang sudah saya lakukan, yang saya anggap tepat dan benar. Saya tidak mengikuti sedikitpun sidang MK kali ini, entah kenapa saya pesimis dengan hasilnya. Yang saya tau dari sidang MK ini cuma permohonan dari kubu 01 dan 03, selebihnya cuma lihat dari berita yang lewat dari timeline medsos, tidak mengikuti secara mendalam

Beberapa hari setelah pencoblosan 14 februari lalu, beberapa pendukung 01 menumpahkan kekecewaannya akan hasil quickcount di media sosial dengan mengatakan seperti ini “tidak apa kami kalah, tapi kami kalah dengan terhormat”. Bagi saya kalah terhormat itu tidak ada. kalah ya kalah. Dalam “medan perang”, diksi kalah tidak bisa ditambahkan kata terhormat,. setidaknya untuk kubu yang saling berseteru. kata terhormat hanya bisa disematkan untuk sesama kubunya, sedangkan kubu lain tidak mungkin bilang gini “kami menang, kalian kalah dengan terhormat”, karena kalimat itu akan membuktikan kalau mereka menang secara tidak terhormat. Orang bisa mengatakan dirinya terhormat ketika dia tau bahwa lawannya bermain curang, sedangkan si lawan tidak mungkin mengakui tindakan curangnya, apabila dia benar curang.

Selain kalimat “kalah terhormat’, ada kalimat yang lebih saya suka yaitu “saya bangga berada di barisan ini”. saya sendiri sangat bangga berada di barisan perubahan kemarin. baru kali ini saya mengikuti pesta demokrasi, pemilu dengan antusias, dari menyebarkan informasi dan kampanye lewat media sosial sampai menyempatkan berdiskusi dengan beberapa teman yang bertanya.

Saya adalah orang yang suka dengan narasi dan gagasan, setiap kali mengikuti kontestasi politik untuk mendapatkan jabatan, saya adalah orang yang memegang teguh prinsip “apa gagasanmu kedepan?” didahulukan baru kita hitung-hitungan suara. Dari jaman di IMM Cabang ARF Kota yogya sampai di tingkat Provinsi. Sampai saat ini saya adalah orang yang idealis, yang mungkin akan diludahi oleh para oportunis dan realistis karena terlalu berbusa-busa berbicara narasi dan gagasan daripada kepentingan dan hitung-hitungan. Tapi itulah salah satu nilai yang saya pelajari dan coba terus saya pegang ketika menghadapi kontestasi politik.

Dari ketika di IMM ARF, ada beberapa calon ketua yang bertemu dengan saya, dan yang pertama saya tanyakan kala itu adalah apa tawaran gagasannya untuk IMM ARF kedepannya, saya tidak tertarik punya pemimpin yang kosong, walaupun pada akhirnya kekuatan senior dan permainan belakang tidak terbendung, orang lain yang terpilih, yang bahkan tidak pernah saya temui sebelum musyawarah untuk menanyakan gagasannya. Sampai ketika pemilihan DPD IMM DIY, dimana saya bersama teman-teman angkatan 2014 berkumpul dan menyusun gagasan bersama untuk DPD IMM DIY kedepannya. Saya masih ingat masa-masa itu, kami menyusunnya di warung kopi teko di belakang kampus, yang menghasilkan 20an lembar gagasan bersama angkatan 2014 untuk DPD IMM DIY kedepannya. ya walaupun saya dan beberapa teman 2014 tidak punya kuasa besar untuk mengatur strategi politik praktisnya, tapi setidaknya saya dan teman-teman 2014 punya ikhtiar untuk membangun IMm dengan berbasis narasi dan gagasan.

Kembali ke pemilu, Tawaran gerakan yang diberikan 01 kemarin itu menggugah selera politik saya secara tidak sengaja, dimana adu narasi, perdebatan, menguji gagasan, menelisik rekam jejak dan mendesak calon menjadi tombak kampanye politik. Beberapa orang bilang 01 membuat suatu hal baru dengan menciptakan politik dua arah, diskusi dan dialog. yang mana kita tau dari dulu, kampanye politik itu selalu satu arah, si calon yang berorasi berjam-jam, para pendukung cuma berteriak ketika ditanya, dan ditambah dengan iringan music. Bagi saya, 01 kemarin sudah mengangkat derajat pemilu ke arah yang lebih baik, dan itu yang saya inginkan. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar kenapa saya memilih anies, karena sudah saya tulis di RAMADHAN MENULIS 4. EPS 04 : KENAPA ANIES BASWEDAN?https://www.melawansemesta.com/2024/04/ramadhan-menulis-4-eps-04-kenapa-anies.html

Saya berharap kedepannya pemilu kita seperti ini, adu gagasan, berdebat, berdiskusi, kontra narasi, dan segala model kampanye dua arah (bukan debat formal dari kpu yang pertanyaannya bisa saja bocor kemana-mana. Saya bukan anti debat KPU, gak papa debat KPU, tapi debat dan diksusi dengan masyarakat secara langsung itu lebih baik, karena suduh pandangnya sangan kualitatif kalau di masyarakat, sedangkan debat formal KPU itu sudut pandang kuantitatif). Salah satu alasannya karena bangsa kita adalah bangsa yang pelupa. Kita kadang lupa dengan apa yang pernah kita lihat dan kita dengar, bahayanya lagi adalah apalagi yang kita dengar dan kita lihat tidak lengkap, sehingga kedepannya bisa dipelintir kemana-mana. Contohnya adalah ide makan gratis, yang memang terngiang di kepala, tapi konsep awalnya tidak ada, yang membuat masyarakat bertanya, dan bisa berbahaya kedepannya karena tidak ada obrolan di awal dengan masyarakat, misalnya darimana dana itu diambil, bagaimana konsep pembagiannya, lalu bagaimana konsep proyeknya.

Kalau ditarik ke pemilu sebelumnya pun banyak omongan yang lalai, seperti menyelesaikan pelanggaran HAM, yang bahkan dipakai salah satu calon untuk kampanye dan menjatuhkan lawannya dengan mengatakan “kami tidak punya beban masa lalu, catatan pelanggaran HAM”, yang bahkan malah tidak ada titik terang dari kasus pelanggaran HAM ini. penguatan KPK, demokrasi dan kebebasan berbicara sampai ide revolusi mental yang saya tidak tau apa hasilnya. Adanya kampanye dua arah ini selain menarik simpati masyarakat, kedepannya bisa membuat masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan, misalnya pemerintah ketika berjalan keluar jalur dari yang pernah ia jelaskan dalam kampanyenya, maka masyarakat mengingatkannya (ya walaupun kenyataan yang sudah-sudah, masyarakat tidak di dengar), tapi setidaknya masyarakat paham konsepnya dan memberi masukan.

Pada akhirnya saya bangga berada di barisan perubahan, tidak mengapa kalau akhirnya putusan MK menolak permohonan. Bagi saya, berada pada jalan kebenaran yang kita pilih secara ideal, tanpa ada embel kepentingan, hitung-hitungan atau asas menang kalah sekalipun adalah sebuah kebanggaan. Tidak mengapa juga kalau akhirnya cap anak abah melekat di jidat saya, walaupun saya tidak pernah sedikitpun menyematkan kata "abah" ketika menyebut Anies baswedan, saya lebih nyaman menggunakan "pak" anies. disebut sok agamis, politik agama, sok intelek, imigran yaman, angin tidak punya ktp, dan sebagainya, saya menikmati semua label tersebut. Tapi ada satu fenomena menarik, entah kenapa setiap ada yang mengkritik pemerintah hari ini, selalu saja dianggap anak abah atau pendukung 16%, jadi apakah pendukung genap tidak akan mengkritik, soalnya kalau mengkritik nanti malah dibilang anak abah atau pendukung ketua bokep lagi. Menarik juga narasinya ya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar