Senin, 22 April 2024

Keputusan Yang Terprediksi

Tidak ada yang mengagetkan dari hasil putusan MK hari ini. saya sudah mengira bahwa keputusannya akan menolak. Adanya peraturan 90 di MK saja sudah menjadi petunjuk bahwa hasil sidang MK soal sengketa pilpres tidak akan mengeluarkan keputusan yang mengejutkan. Saya menulis ini bukan sok menenangkan diri, jauh sebelum itu, saya sudah mengira itu.

03 april 2024, saya menghubungi salah satu teman dari jurusan hukum, alasan saya menghubunginya karena ada senior organisasi kami yang saya liat bertengger di dalam gedung MK, makanya saya tanya, jadi apa senior kami di sidang MK kala itu. di akhir percakapan, beliau chat begini ke saya “pie siap pemilu ulang??”. Tanpa pikir panjang, langsung saja saya jawab “mungkin po terjadi pemilu ulang?”. Balasan ini adalah pertanyaan pesimis. Selama saya di jogja, penggunaan kata “po” dalam kalimat pertanyaan, entah kenapa bagi saya selalu bernada pesimis ya, artinya kemungkinan terjadinya sangat kecil karena factor lain yang membuatnya tidak terjadi, lebih besar.

Saya bukan anak hukum yang paham mendalam soal konsep hukum dan segala tetek bengeknya. Dan sengketa pilpres ini terlalu abu-abu bagi saya untuk dinilai dengan kacamata kepastian hukum. Misalnya seperti pembagian bansos, dikatakan kalau bansos tidak mempengaruhi suara, tapi dibagikan ketika semasa kampanye, dan langsung dibagikan oleh presiden yang mana anaknya lagi ikut pemilu, dan parahnya beredar video beberapa menteri mengkampanyekan anak presiden  melalui perangkat bansos. “ini dari jokowi, maka harus berterima kasih kepada jokowi” dan “ini dari jokowi. Dan Gibran anak jokowi, makanya kalau mau lanjut harus pilih gibran” adalah dua kalimat yang keluar dari mulut dua menteri yang videonya tersebar. Saya sih gak papa kalau beneran pake uang mereka sendiri, lah ini pake bansos loh.

Belum lagi penggunaan perangkat desa untuk mendulang suara, banyak cerita tekanan dari perangkat desa, bahkan sempat berada foto perangkat desa di temanggung melakukan kumpul untuk membahas pemenangan 02. Dirty vote sudah merangkum dengan baik  semua keculasan yang dilakukan. Yang paling menggemparkan adalah putusan 90 yang meloloskan Gibran kemarin, yang akhirnya diputuskan melanggar etik. Dalam kepastian hukum, sependek pengetahuan saya, hal etik seperti ini susah dibuktikan.

Saya tidak ingin berpendapat banyak soal hukum dan kepastiannya, ilmu saya dangkal. Tapi ada yang menarik bagi saya dalam hasil putusan sidang MK ini. pertama, MK memutuskan “pencalonan Gibran sebagai cawapres bukan tindakan nepotisme serta tidak ada intervensi presiden dalam pencalonannya”. Setelah membaca berita ini dari twitter, saya langsung membalas dengan kutipan tweet seperti ini “sepertinya definisi nepotisme di kepala saya memang harus direvisi”. Entah kenapa saya merasa definisi nepotisme di kepala saya langsung salah karena MK yang punya kuasa hukum membatalkan konsep nepotisme itu.

Setelah membaca berita juga, otomatis saja tangan saya bergerak membuka google di gawai untuk mencari definisi nepotisme. Hasil penelusuran saya soal definisi nepotisme pun bermuara pada argument hariyanto dalam jurnal biro organisasi dan kepegawaian departemen sosial RI berjudul priayisme dan korupsi kolusi nepotisme (KKN) :studi status group di kabupaten sleman provinsi DIY, “mengatakan bahwa nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan dan pangkat di lingkungan pemerintahan atau tindakan memilih kerabat atau sanak keluarga sendiri untuk memegang pemerintahan” (Sumber :detik.com).

saya suka penjelasan Rocky gerung di channel Rocky Gerung Official, pada diskusi FNN, Bung Rocky mengatakan begini soal nepotisme itu tidak ada karena Gibran itu dipilih bukan ditunjuk, “poinnya apa itu? Tentu saja dia dipilih setelah ditunjuk, oleh bapaknya, kepada pamannya. Ini MK buta huruf, jumlah kedunguannya kalau ditambah-kurangkan tetap dungu. Karena nepotisme itu adalah istilah politik untuk menyebut fungsi kekuasaan di dalam mempengaruhi hukum, itu masalahnya. Bukan hukumnya yang dilihat, tapi fungsi kekuasaan. Kalau Gibran disebut bukan hasil dari nepotisme berarti Gibran bukan keponakan dari paman usman, artinya usman bukan pamannya Gibran, artinya jokowi bukan bapaknya Gibran, artinya usman itu bukan iparnya jokowi. Jadi tidak ada nepotisme kalau usman bukan iparnya jokowi, dan tidak ada nepotisme kalau Gibran bukan anaknya jokowi. Hakim ini betul-betul dungu, nepotisme itu artinya penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi hukum, itu masalahnya”.

Inilah yang sering dibilang bang pandji pragiwaksono sebagai “bermain di wilayah abu-abu”. Permainan yang dimainkan selalu di wilayah abu-abu, tidak jelas benar salahnya. Bansos dibilang sudah tepat, tapi dikeluarkan jor-joran menjelang pemilu yang mana salah satu peserta pemilu adalah anak presiden, lalu putusan MK 90 yang sah secara hukum, tapi kenyataannya ketua MKnya adalah paman si calon. Inilah hasil dari nepotisme, yaitu wilayah abu-abu, dan yang tentunya menimbulkan konflik kepentingan.  

Yang kedua soal disetting opinion oleh 3 hakim MK. Ada 3 hakim yang berbeda pandangan soal sengketa pilpres ini, dimana 3 hakim ini menyakini bahwa ada kecurangan yang terstruktur dalam pilpres kali ini. salah satu ungkapan yang menarik adalah dari hakim saldi isra, beliau mengatakan begini “dulu jaman orba juga pemilu sesuai prosedur kok, tapi cara curang”. Artinya hakim saldi isra ingin mengatakan kalau pilpres kali ini sesuai prosedur tapi prosesnya curang. Saya jadi ingat soal rukun sholat dan diterimanya sebuah sholat, saya tidak tau ini bisa apple to apple atau tidak, tapi di dalam islam, secara prosedur ketika kita sholat sesuai rukunnya, secara ilmu yang dipelajari sholat kita sah, tapi masalah diterima atau tidak itu balik ke yang diatas, mungkin saja dalam hati kita tidak khusu’, atau sholat hanya untuk riya, sholat hanya karena terpaksa dan lain-lain.

Yang menarik dari disetting opinion ini adalah muncul dua kubu, kubu pertama adalah mereka yang skeptic. mereka meyakini kalau para hakim yang melakukan disetting opinion cuma akal-akalan saja, mereka pura-pura berbeda pendapat untuk menjaga agar marwah MK masih terlihat baik, padahal sebenarnya mereka tidak benar-benar beda pendapat. Kubu yang kedua adalah mereka yang optimis. mereka meyakini adanya disetting opinion adalah secercah cahaya dalam hiruk pikuk kegelapan demokrasi, karena berani melakukan tindakan yang progresif soal keputusan MK. Bahkan mantan ketua MK, mahfud MD mengatakan ini adalah sejarah baru, yang mana sengketa pilpres dulu tidak pernah terjadi, selalu saja semua hakim punya suara bulat, tapi kali ini ada 3 hakim yang berbeda pendapat.

Mana yang benar, saya tidak tau juga, walaupun sebenarnya saya ingin meyakini kubu yang kedua, karena sebaiknya kita memang butuh secercah cahaya dalam kegelapan ini, butuh sebuah dorongan semangat, pantikan api kecil untuk menyalakan api besar. Kalau secercah cahaya saja tidak ada, kalau pantikan api saja tidak ada, maka kita akan membiarkan kejatuhan demokrasi terus berjalan tanpa hambatan.

Saya hanya berharap Negara ini baik-baik saja, jangan sampai hal seperti nepotisme ini malah menjadi barang biasa dan normal di masyarakat, dan semoga demokrasi kita segera membaik. Politik tanpa identitas ala partai politik Indonesia ini sungguh menjengkelkan bagi saya. Semoga kita dan Negara kita baik-baik saja kedepannya. Qobul!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar