Selasa, 09 April 2024

RAMADHAN MENULIS 4. EPS 07 : FAHRUDDIN FAIZ

Bukan twitter namanya kalau tidak ada kehebohan. Kali ini ada seorang yang menulis bahwa belajar statistic dan melatih softskill itu lebih penting daripada menghafal Al-qur’an. Tentu tweet ini mendapat banyak sekali respon luar biasa, dari yang beneran paham sampai yang Cuma emosi aja dengan tweet tersebut. Bagaimana tidak heboh, beliau membandingkan sesuatu yang harusnya tidak perlu diperbandingkan, apalagi yang ganjarannya berbeda, satunya ganjaran dunia satunya ganjaran akhirat, malah para penghafal juga dapat ganjaran dunia sih, seperti beasiswa tahfidz sampai menjadi imam masjid dengan bayaran super gede

Karena penasaran, saya mencari perdebatan yang menarik dari tweet ini, hingga saya menemukan ada akun lain yang membalas tweet tersebut, tapi bukan tweet balasan ini yang menarik, tapi balasan dari si penulis tweet kontroversial terhadap balasan tweetnya. Intinya dia bilang gini “filsafat itu banyak bentuknya. Makanya belajar filsafat itu jangan hanya dari fahruddin faiz, habib ja’far atau henry manampiring”. Ketika membaca ini, saya terkejut dan tersindir, ternyata 3 tokoh ini, Cuma kelas rendah kalau mau belajar filsafat ya menurut beliau. Wow, tinggi sekali ilmu beliau ternyata.

Saya ketika mahasiswa s1 memang rajin dicekoki soal filsafat oleh para senior di organisasi, dari disuruh baca dunia shopie sampai zarathusranya Nietzsche. Dari mengkaji tokoh awal filsafat, Socrates sampai tokoh sekaliber karl marx. Dulu ketika belajar sendiri emang terasa beratnya, bahasanya yang jelimet membuat ilmu susah terserap dengan baik, butuh berulang kali memahaminya.

Pada akhirnya saya menemukan ngaji filsafat yang dibimbing pak fahruddin faiz, yang membuat filsafat itu menjadi menarik untuk dikaji dan lebih mudah diserap oleh akal pikiran. Banyak sekali pikiran para filsafat yang disampaikan pak fahruddin faiz yang terserap di kepala saya, bahkan beberapa tokoh besar filsafat dan pemikir yang baru saya tau namanya karena pak fahruddin faiz. Walaupun saya tidak pernah sekalipun bertemu beliau, saya sangat berasa dekat dengan beliau, (bagaimana tidak dekat, setiap mendengar semua kajian beliau saya pakai headset yang langsung di gendang telinga. Serasa dibisikan secara langsung oleh pak faiz. Haha).

Makanya banyak sekali opini-opini yang saya tulis, yang mengutip dari perkataan pak faiz, yang sebenarnya pak faiz juga mengutip dari para tokoh-tokoh. Pak faiz itu selalu merendah, beliau pernah bilang begini “bukan saya yang cerdas, tapi para tokoh, saya Cuma menjelaskan saja”. Padahal bagi saya, beliau juga sangat cerdas, bisa memeras dan menyederhanakan semua ide gila para filsuf yang sehingga dinikmati bahkan dicintai para pendengarnya.

Kalau membaca opini dalam tweet tersebut “…makanya jangan baca filsafat hanya dari fahruddin faiz…” emang terlihat menganggap remeh pak faiz, tapi emang ada benarnya. Bayangkan pak faiz mengkaji karl marx hanya 2-3 pertemuan, sekitar 4-6 jam paling lama, sedangkan beberapa teman saya butuh berbulan-bulan untuk paham dan mengerti buku das kapitalnya si karl marx, maka belajar filsafat dari pak faiz mungkin memang bukan langkah yang tepat. Tapi bagi saya tepat, pak faiz memang bukan guru pembimbing terus menerus, beliau adalah pemantik api. Ketika beliau sudah memantik api filsafat dalam diri kita, ya tinggal kita yang mencarinya lebih dalam lagi. Pak faiz pun sering bilang gitu kok dalam ngaji filsafatnya. “…kalau kalian tertarik lebih dalam, silahkan baca-baca lagi…” ini kalimat tidak keluar akhir-akhir ini aja, tapi sudah dari awal-awal ngaji filsafat dimulai, artinya pak faiz emang mengakui kalau beliau Cuma pemantik bagi jiwa yang awam.

Ternyata beliau yang ngetweet itu melihat dari sudut pandang yang berbeda. Yah aneh juga sih ada orang yang berpikir belajar filsafat dari dengerin orang bisa langsung tahu. Setidaknya saya faham kalau belajar filsafat kalau Cuma mendengar tidak akan efekti, kita harus mencari sendiri, membaca dan mendebatnya dalam kepala kita, mengharap paham soal gadamer dalam 2 jam ngaji filsafat adalah ketidaktepatan. Yang anehnya ada yang membandingkan pembelajaran murni dan pembelajaran model pemantik ala pak faiz.

Yang selanjutnya, saya melihat beliau ini seperti merendahkan banyak cara pandang dan cara pikir orang, ada beberapa yang mendebatnya, dan ujungnya malah di katai tolol. Luar biasa. Sependek pengetahuan saya, dan serendah ilmu saya, karena belajar dari pak fahruddin faiz, bahwa ujung dari filsafat bukannya luas wawasan, pandai menyusun kata, atau pintar mempidatokan ide, tapi kebijaksanaan sejati. Kalau anda belajar filsafat tingkat tinggi, bahkan sampai merendahkan habib ja’far, fahruddin faiz sampai henry manampiring, saya gak tau anda beneran menemukan filsafat atau tidak. Setidaknya itu yang saya tangkap dari begitu banyaknya ngaji filsafat pak faiz.

Bayangkan saja dari tokoh satu ke tokoh yang lain kadang kala saling bertolak belakang idenya, tapi pak faiz menyampaikan seolah kedua-duanya sama baiknya, bagaimana cara kita menyikapinya coba? Intinya pak faiz selalu bilang begini “belajar filsafat itu seperti mempersiapkan senjata. Dipakai ketika membutuhkan, karena kadang kala filsafat satu dan lainnya terdengar sama baiknya, tapi ternyata ada yang bisa dipakai, tapi ada yang tidak. Maka bijaksanalah. Ujung pangkal filsafat kok malah pandai menghakimi dan menjelekkan ilmu lainnya. Saya kasih saran kalimat lebih baik agar jiwamu tidak gampang menghukum ilmu pengetahuan lainnya, “Itu bukan jelek, Cuma tidak berguna aja bagi dirimu, atau kamu yang tidak sampai menuju kesana”.

beliau adalah guru online saya, yang sangat ingin saya temui kemudian hari, dan kalau bisa sih saya ketemu pak faiz sama istri, biar saya kasih tau istri saya, kalau beliau, pak faiz adalah salah satu orang yang berpngaruh di hidup saya. ngimpi aja dulu 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar