Tolol dan Dungu. mana mungkin saya angkat topi untuk tindakan itu. kok bisa-bisanya sekelas pimpinan pusat berpikir untuk melakukan hal yang toloooooooooolll seperti itu. kok bisa muncul ide di kepala para pimpinan untuk melakukan yang wadidawadidawadidawadidawadidaw semacam itu. saya sungguh penasaran darimana landasan berpikirnya itu. saya juga penasaran bagaimana kondisi rapatnya sehingga mereka setuju untuk melakukan arak-arakan tersebut
Mungkin saja di kepala mereka terpikir seperti ini “kami
keren sekali bro. saking pedulinya kami dengan Negara, bangsa dan
perpolitikannya, maka kami sampai rela mengantarkan ketum kami untuk masuk ke
dalam salah satu kendaraan politik di Negara Indonesia raya tanah air beta ini.
sebagai organisasi aktivisme yang sangat dekat dengan budaya demonstrasi, kami
perlu untuk mengantarkan ketum kami juga dengan budaya demonstrasi itu. ayooo
semuanya, berkumpul di satu titik, dan berjalan bersama menuju sebuah kantor
partai sambil bernyanyi bersama agar bumi bergetar, dan langit mendengar
kepedulian kita. Mari nyanyikan “ASSALAMUALAIKUM MAS KAESANG, ASSALAMUALAIKUM
MAS KAESANG, IMM DATANG, NGANTAR TUM ABDUL”.”.
Pertama kali saya melihat video tersebut, saya
langsung berdiri dari tempat duduk, lalu membungkukkan badan dengan kedua
tangan bertumpu pada lutut, selanjutnya kepala saya melihat ke bawah, mengambil
nafas yang dalam dan berteriak “buadjingaaaan, buadjingaaaan”. Hahaha, Bercanda.
saya tidak se-atraktif itu untuk mengikuti seorang kakek-kakek mengamuk yang
viral tsb.
Setelah saya mengupload ulang video menghebohkan
“ASSALAMUALAIKUM MAS KAESANG” ke laman Story instagram, beberapa teman memberi
komentar atas video tersebut, dua teman berkomentar dengan nada yang sama “Kok
bisa gitu ya?”. Pertanyaan “kok bisa gitu?” ini kemungkinan terbentuk dari
sebuah pola pikir yang menganggap “IMM harusnya tidak begitu”. Sebelum jauh,
saya ingin mengenalkan singkat siapa dua orang ini tanpa menyebutkan siapa nama
mereka, tapi menjelaskan sejauh mana mereka dididik dan menjabat di structural
IMM. Pertama, seorang IMMawati seangkatanku yang bahkan tidak pernah menjabat
di level komisariat sekalipun, beliau cuma jadi anggota bidang, karena
sebenarnya beliau berdiaspora di level himpunan jurusan. Secara perkaderan pun,
beliau Cuma sampai tingkat dasar. Seorang IMMawati yang mau belajar, kritis dan
progresif. Kedua, seorang IMMawan yang pernah menjabat sebagai Kabid Hikmah di
IMM Teknik UMY, tapi bukan seangkatan denganku. Laki-laki yang juga kritis, dan
progresif. Walaupun baik secara pikiran, kritis dan progresif, beliau tidak
maju sampai di level jabatan selanjutnya.
Maksud dari perkenalan siapa mereka ketika masih
aktif di IMM untuk memperlihatkan bagaimana cara berpikir mereka, orang yang
pernah mengenyam pendidikan dan menelan ideologi-ideologi ke-IMMan walaupun
hanya di tingkat akar rumput. Asumsi saya, mereka mempertanyaan video tersebut
karena mereka merasa ada yang salah dengan tindakan tersebut. ada yang tidak
cocok dengan apa yang sering mereka dapatkan dari forum-forum diskusi dan
kajian ketika mereka di IMM dulu. Atau kalau mau yang lebih kasarnya lagi, “ada
yang tidak sesuai dengan doktrin-doktrin yang sudah ditanamkan di kepala
mereka”.
Ada lagi salah satu teman yang membalas story instagram
saya dengan tulisan ini “sepertinya kans fahmi kecewa ini haha”. Waktu itu,
saya membalas dengan “bukan kecewa, ini bentuk kebahagiaan kanda”. Jawaban
sebenarnya tentu kecewa. Sebagai mahasiswa yang dididik habis-habisan dari
organisasi berbendera merah maron itu, tindakan para pimpinan pusat itu lumayan
menyerang sesuatu yang sudah lama tidak saya bicarakan, yang tersimpan rapi
dalam hati saya, “kebanggaan sebagai seorang kader IMM”. Keluarnya jawaban
bercanda itu tidak lebih dari rasa malas saya untuk menuangkan rasa kesal dan
kecewa ke teman yang saya yakin dia juga kecewa dengan tindakan wadidaw itu.
saya pun yakin, teman saya tidak akan berpikir saya benar-benar bahagia dengan itu.
Kembali ke pertanyaan “kok bisa gitu?” yang
dilontarkan teman saya tadi, saya menjawab pertanyaannya dengan menulis seperti
ini “itulah realitas sebenarnya dari dunia aktivisme, hehe”. maksudnya adalah
pada akhirnya beberapa mahasiswa dan/atau kader yang lahir dari dunia aktivisme
akan berakhir menjadi seorang politisi. Terbukti dari beberapa mantan aktivis
era orde baru yang hari ini asik menjelajah di dunia politik praktis. Mereka
pun bukan orang kecil ketika menjadi aktivis ataupun ketika sekarang menjadi
politisi, mereka besar di dua waktu.
Apakah menjadi seorang politisi itu salah dan buruk?
Tentu saja tidak, bahkan di beberapa kondisi, menjadi politisi adalah suatu yang baik,
bahkan senafas dengan idealism gerakan aktivisme, yaitu menciptakan perubahan dan
kebaikan. Salah satu cara menciptakan kebaikan dan perubahan adalah melalui
undang-undang atau kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemangku kebijakan. Di
Negara Indonesia ini, untuk mendapat jabatan-jabatan tersebut harus terlebih
dahulu menaiki kendaraan yang disebut partai politik., walaupun ada beberapa
orang yang tidak melalui partai politik, tapi persentase itu sangat kecil
sekali, dan mereka itu orang-orang pilihan, walaupun sebenarnya mereka dekat juga dengan orang-orang partai sih.
Maka tidak salah ketika seorang aktivis yang
bergeliat dari bawah sampai ke puncak tertinggi salah satu organisasi mahasiswa,
memilih untuk masuk ke dalam partai politik. Mungkin dan sangat mungkin beliau
punya tujuan yang baik dan mulia untuk bangsa, dan satu-satunya cara adalah
lewat partai politik tersebut. Tidak salah bagi individu IMM masuk ke partai
politik. Lalu apa yang membuat saya begitu kesal? Adalah karena mereka
membawa-bawa nama IMM.
Memang betul, orang yang diantarkan itu kader IMM,
bahkan mantan ketua umum Pimpinan Pusat, artinya pernah menjadi orang nomer 1
(satu) di IMM, tapi sangat tidak elok dan bijaksana ketika mereka mengantar
bapak mantan ketum ini mengatasnamakan IMM. Bagi saya, IMM sebagai organisasi
mahasiswa adalah entitas yang netral dan mandiri, tidak cocok ketika ada
kecondongan pada salah satu partai politik. Adanya video tersebut tentu membuat
banyak sekali tumbuh spekulasi di kader-kader bahkan sampai ditingkat akar
rumput. Misalnya, “IMM secara kelembagaan telah Berpihak”, “IMM sekarang gabung
PSI”, atau “IMM sekarang sudah main di ranah politik praktis”, yang paling
parah “IMM sudah jadi penjilat”. Implikasi lanjutannya adalah tumbuh
ketidakpercayaan kepada pimpinan pusat secara khusus oleh para kadernya karena
ada video tersebut, dan ketidakpercayaan kepada IMM secara umum di masyarakat.
Adanya bidang Hikmah memang secara khusus membahas
soal sosial politik dan kebijakan public, yang mana beberapa kali IMM melakukan
komunikasi dan audiensi ke DPRD, DPR, walikota sampai presiden sekalipun. Tidak
salah, karena disanalah bermuara kebijakan-kebijakan itu. tapi khusus untuk ke
partai, beda cerita. partai masih produk mentah, mereka tidak bisa membuat
kebijakan, walaupun implementasinya banyak kebijakan di kendalikan oleh
partai-partai berkuasa juga, tapi tetap partai masih dalam kondisi mentah. Pun
ketika ada keberpihakan terhadap salah satu partai, ada kemungkinan-kemungkinan
buruk seperti, IMM hanya dijadikan ladang suara sampai ladang masa ketika suatu
waktu butuh masa besar untuk demonstrasi, sedangkan IMM sendiri tidak mengkaji
mendalam soal apa yang di demonstrasikan atau bahkan tidak masuk dalam
blueprint gerakannya.
Mungkin kalian ingat ketika pilpres kemarin, ada
pasangan calon yang tiba-tiba di datangi puluhan mahasiswa, sepertinya
demonstrasi, karena berorasi dan membawa pamflet-pamflet ciri khas aksi massa. Tapi
keanehannya adalah tuntutan dan tulisan di pamflet tersebut, ada tulisan gini
“kami menuntut pasangan **blablabla** untuk menepati janjinya”. Dari satu
pamflet itu saja sudah jelas kalau itu bukan khas demonstrasi banget. Demonstrasi
selalu identic dengan menggugat aturan dan kebijakan yang menyimpang dan merugikan
masyarakat, tiba-tiba ada kumpulan mahasiswa yang menuntut kepada calon
pemimpin. Yap benar, calon pemimpin loh. Aneh banget menuntut ke sesuatu yang
bahkan belum pasti. Kecuali udah di setting ya. Asumsi para netijen adalah
untuk membuktikan paslon tersebut pro demokrasi sehingga mau menerima para
demonstran. wow luar biasa. Dan bukan tidak mungkin IMM menjadi massa seperti
ini, diminta demonstasi hanya untuk pencitraan, dan tidak benar-benar paham. Kasian
sekali kalau itu terjadi pada organisasi mahasiswa yang besar.
Mungkin beberapa teman berpikir saya tidak setuju
karena masalah partai PSI, yang mana ketika pilpres kemarin saya condong di
kubu 01, tapi tidak seperti itu. partai manapun, IMM tidak layak untuk
mengantar seorang kader dengan parade jalanan seperti itu, PKS, Nasdem, PKB,
atau Partai Ummat sekalipun, yang mana pendirinya adalah seorang kader
Muhammadiyah. Kalau memang tetap mau seperti itu, parade jalanan mengantar
kader, bagaimana kalau semua kader di data yang masuk partai politik dan adakah arak-arakan untuk mereka juga, biar adil dan terbukti ingin konsisten membangun bangsa lewat dunia politik. Walaupun
kalau sampai arak-arakan itu terjadi, IMM benar-benar akan kehilangan
integritasnya sebagai organisasi mahasiswa kritis.
Saya Cuma kader IMM biasa yang merasa janggal dalam
hati ketika melihat video tersebut. Saya tidak sehebat para pimpinan-pimpinan
pusat hari ini, bahkan dengan ketum DPD IMM DIY hari ini, secara keilmuan saya sangat jauh
sekali, apalagi masalah politik dan aktivisme. Saya hanya lulusan sekolah
rakyat dan trapol, sebuah sekolah kader kepemilikan IMM AR Fakhruddin Yogya. Saya
tidak berjalan jauh di tingkat structural, hanya sampai di tingkat kota, yang
bahkan cuma mendapat bidang yang tidak menarik bagi para kader yang berburu
jabatan di IMM.
Pada akhirnya, mungkin IMM akan seperti itu,
bercampur baur dengan partai politik, saya sebagai kader biasa bisa apa, Cuma bisa
cuap-cuap dan tulis kritik di blog gratis ini. IMM pusat silahkan seperti itu,
bahkan semua DPD IMM juga boleh seperti itu, Tingkatan PC IMM manapun juga
boleh, bahkan komisariat sekalipun. TAPI, ada salah dua yang tidak boleh melakukan hal wadidawadidaw itu, bahkan haram
hukumnya untuk melakukan itu, yaitu IMM AR Fakhrudddin Kota Yogyakarta dan IMM
FT UMY, rumah tempat saya ditempa, dan rumah tempat saya pulang nanti. “dua
rumah” ini harus tetap netral, mandiri, kritis, dan progresif tanpa campur
tangan siapapun, apalagi politisi dan partai politik.
Sekali lagi saya katakan, menjadi politisi dan masuk ke dalam partai politik adalah hal lazim dalam dunia aktivisme, bahkan kemampuan “ngebacot” para aktivis itu sangat berguna di dunia politik. TAPI, jangan pernah bawa “bendera” ke partai politik, apalagi sampai arak-arakan ala festival ulang tahun suatu daerah. Berhenti melakukan hal tolol seperti itu, menggunakan identitas Muhammadiyah yaitu "1912" dalam kontestasi pilpres kemarin saja sudah wadidaw walaupun masih tidak terlalu terlihat jelas, lah sekarang malah terang-terangan nyebut nama Organisasinya. Tolol!!!