Senin, 10 Juni 2024

Harapan Tipis Untuk Yang Terpilih

Malam sehabis pencoblosan, setelah quickcount mencapai angka 100%, seorang teman menghubungi Whatsapp dengan menulis seperti ini “semangat bolo. Anies tetap paling kreatif, tapi takdir sudah dijatah ke prabowo”, saya menjawab “Alhamdulillah nek ngono”. dia membalas lagi “Alhamdulillah pilihan kita 2019 akhirnya jadi presiden”. Saya menjawab “sayangnya saya tidak milih beliau kali ini”.

2014 dan 2019 saya memang condong ke beliau. 2014 adalah pertama kali bisa ikut nyoblos. waktu itu saya baru lulus SMA, dan di masa sekolah saya tidak punya referensi apa-apa tentang pemilu, apalagi sekolah tidak membolehkan membawa gawai, sehingga sumber informasi cuma dari koran di asrama atau koran yang ditempel di madrasah. walaupun ada beberapa teman yang sembunyi-sembunyi membawa gawai, sayapun sebenarnya sembunyi-sembunyi membawanya, Cuman, gawai yang saya miliki hanya bisa sms dan telpon. Jaman itu gawai secanggih sekarang masih sangat jarang, kalaupun ada yang punya, sangat jarang yang membawa ke asrama, resiko ketika ketahuannya lumayan menyakitkan soalnya. Kalaupun saya pergi ke warnet untuk mengakses internet, tidak ada terlintas di kepala untuk mencari informasi soal pemilu. Ketika 2014 saya benar-benar tidak punya informasi apa-apa, akhirnya informasi datang dari keluarga, dan kebetulan keluarga memilih beliau. Tapi pada akhirnya, 2014 saya tidak datang ke tps untuk nyoblos, karena waktu itu lagi di luar kota, dan dulu, mengurus pemindahan tempat memilih ribet sekali.

Ketika 2019, saya condong ke beliau lagi, dan kali ini saya bisa nyoblos beliau. Alasannya se-simple "tidak punya alasan yang kuat" untuk memilih lawannya, yang kala itu seorang petahana. Jangankan alasan kuat, alasan yang lemah sekalipun tidak punya. Nah, ketika mahasiswa, saya habis-habisan berdiskusi tentang pemerintahan, demo berkali-kali, mengeluarkan puisi dan orasi kritik kepada pemerintahan, dan ujungnya, bagiku pemerintahan kala itu kurang baik, maka saya tidak punya rasionalisasi yang kuat untuk menyoblos beliau, Sang Petahana tersebut. Apakah saya tidak belajar soal sejarah dan perjalanan pak prabowo? Saya tahu dan mempelajarinya. Lalu kenapa tetap menyoblos beliau? Saya adalah orang yang tidak bisa masuk di akal soal golput, saya tidak bisa datang ke tps hanya untuk golput, ada perasaan sia-sia aja. maka pilihan satu-satunya ya beliau. dan saya juga tidak bisa membiarkan suara saya digunakan begitu saja jika tidak datang ke tps. Kala itu pun saya tidak terlalu mengikuti soal pemilu seperti pemilu kali ini, tidak begitu aktif bermain twitter yang dulu menjadi medan perangnya, saya lebih asik nongkrong dengan teman, kalaupun bermain media sosial lebih ke youtube dan instagram yang kala itu lebih kecil jangkauannya, apa yang kita tonton adalah apa yang kita follow ataupun subscribe, dan tentu saya tidak mem-follow/subscribe akun-akun politik seperti sekarang. kalaupun ada tekanan untuk memilih pak prabowo di 2019 adalah dari keluarga lagi, bahkan paman dan kakak sepupu saya masuk dalam tim pemenangan daerah, jadi berubahlah isi group keluarga menjadi lahan kampanye, yang ternyata disambut baik oleh anggota group lainnya. Mungkin terdengar seperti mencari-cari alasan, tapi ini benar yang saya rasakan. mungkin ada yang mengira saya orang yang islami, karena asosiasi pendukung pak prabowo kala itu adalah mereka yang islami dan sebagainya, tapi tidak seperti itu. Menaati aturan islam, tidak aneh-aneh, Sholat tetap jalan walaupun kadang sholat dzuhur mendekati ashar, saya bukan orang yang islami banget, bukan pula islam ktp, saya berada di tengah tengah, islam biasa. maka tidak pantas disebut pendukung prabowo karena islaminya. teman-teman IMM bisa membuktikan bahwa saya islam biasa. dan orang yang menghubungi saya tadi, adalah orang sangat tahu seberapa islaminya saya, dan seberapa saya mendukung atau tidaknya gerakan 212 kala itu, yang mana teman saya ini menyempatkan waktu, jiwa dan raganya untuk datang kesana.

Fun factnya adalah, saya selalu dikira berada di kubu yang berbeda dengan pilihan keluarga. Ketika 2019, saya dikira memilih pak jokowi, dan ketika 2024 kemarin saya dikira memilih ganjar. Saya tidak pernah tanya alasan kenapa keluarga punya pikiran seperti itu, tapi asumsiku karena latar belakang aktivis yang kental. Ketika 2019, saya pernah ngobrol dengan keluarga soal pemilu, yang saya angkat waktu itu soal kasus HAM prabowo, walaupun sebenarnya saya sudah nemu beberapa jawabannya, mungkin dari situlah orang tua saya berpikir kalau saya memilih pak jokowi. padahal di kepala saya sudah tidak ada ide apapun untuk memilih pak jokowi. 2024 yang lalupun seperti itu, ketika selesai pemilu, saya menghubungi orang tua di papua, dan ngobrol-ngobrol soal pemilu, tiba-tiba bilang gini “pasti tadi coblos ganjar”. saya tertawa dan membela diri dong. Membela diri? Seperti orang ketangkap maling aja.

Sebenarnya jauh sebelum pemilu 2024 kemarin, saya pernah berdebat panas soal prabowo, anies dan ganjar. waktu itu mati lampu, saya ingat banget moment itu. saya dan bapak berdebat panjang soal pemimpin, islam dan  pemilu (prabowo, anies dan ganjar). waktu itu bapak sudah condong ke anies, dan saya belum ke siapapun, tidak ke ganjar, anies apalagi prabowo. Mungkin itu juga salah satu pemicu kenapa saya dikira milih ganjar. sebenarnya lebih ke pdipnya.. ini asumsiku aja, mungkin karena PDIP terkenal dengan aktivismenya, apalagi di era orde baru dulu, sangat terasa panasnya darah aktivisme di PDIP kala itu. pun ketika 2014 dan 2019, PDIP kan terus menyudutkan lawannya dengan isu HAM, isu aktivisme dan sebagainya. Jadi mungkin saja bapak dan ibu mengira semua aktivis yang bicara HAM pasti mendukung jokowi dan PDIP.

Pada akhirnya presiden baru yang terpilih kali ini adalah Bapak Prabowo Subianto, orang yang sudah berkali-kali mencoba dan akhirnya mendapat kesempatan juga. saya dan semua masyarakat harus menerima itu, mereka yang memilih ataupun tidak memilih beliau. Ya walaupun beberapa cara yang dilakukan bagi saya sangat wadidaw, dari putusan MK sampai cara berkampanye hingga indikasi permainan bansos dan pengerahan aparat. Saya berharap beliau ini bisa memberi dampak yang baik terhadap apapun, ekonomi, politik sampai kebebasan berpendapat, walaupun rada aneh memang mengharapkan kebebasan berpendapat kepada orang yang milih-milih media  dan tidak menerima pertanyaan dari wartawan, apalagi tambahan kisah kelam masa lalunya.

Seperti kata seorang komika, om Sammy notaslimboy, "harapan kita ya ke bapak prabowo", Mungkin itu adalah hal yang paling rasional sekarang, daripada berharap pada wakilnya, yang cara naiknya saja dipertanyakan. Begitupula dengan kata-kata rocky gerung di setiap podcastnya bersama FNN di channel beliau, bung rocky selalu punya pandangan bahwa pak Prabowo sebenarnya tidak benar-benar tunduk ke pak jokowi, tapi lagi nunggu moment aja, ketika sudah dilantik, baru beliau bisa leluasa dan lepas dari jeratnya. Begitulah apa yang saya tangkap dari begitu banyak omongan bung rocky gerung di channelnya, ya walaupun mungkin juga ada andil kedekatan antara pak prabowo dan bung rocky ya, sehingga bung rocky terlihat terus membela pak prabowo. kita liat kedepannya.

Saya jadi ingat cerita kotak Pandora yang saya dengar dari ngaji filsafatnya pak fahruddin faiz. Kotak yang berisi semua keburukan dan kejahatan dunia yang waktu itu diberikan zeus kepada Pandora di hari pernikahannya. Sebenarnya Pandora dilarang membuka kotak itu, karena mereka takut isi kotak itu adalah hal buruk, yang mana kala itu zeus sangat marah kepada promotheus karena telah mencuri api ke dunia. tapi karena Pandora sangat penasaran, maka dibukalah kotak itu, dan keluarlah semua keburukan dunia, keserakahan, wabah penyakit, dusta, kelaparan, kedengkian dan lainnya. Pandora sangat sedih mengetahui itu, tapi ketika Pandora kembali melihat kotak itu, dia menemukan ada satu yang belum keluar, yaitu Harapan.

Ya! saya sedikit menaruh harapan ke presiden terpilih, bapak prabowo subianto. Walaupun beliau kemarin mengusung keberlanjutan, ya semoga saja keberlanjutannya menuju arah yang baik. apalagi ketika saya menulis ini, Negara sedang di bombardir masalah-masalah, dari korupsi sampai RUU yang wadidaw seperti penyiaran, TNI, polri, lalu datang tapera, gong terbarunya adalah putusan MA yang masyaAllah, Allahuakbar. Walaupun kalau ditelaah, kata “keberlanjutan” ya artinya melanjutkan semua yang telah ada. kalau kata pendukung beliau, yang adalah seorang komika, tidak perlu saya sebut namanya, beliau bilang “berkelanjutan kan bukan berarti semuanya dilanjutkan, kalau ada yang buruk maka akan diubah". Oke gas! Ya mungkin bisalah KPK di independenkan lagi, kebebasan pers dibebaskan sebebas-bebasnya. Tapi kalau slogannya “keberlanjutan” sih agak berat ya untuk diubah-ubah, belum lagi kalau ada bersitegang sama presiden lama, aduh. Tapi semoga saja.

Dulupun, ketika jokowi terpilih, dan disebut sebagai “New Hope” oleh majalah time, saya juga sempat berpikir bahwa beliau adalah sebuah harapan baru. Apalagi gembar-gembor soal beliau dari golongan rakyat biasa, bukan dari keluarga militer ataupun keluarga ningrat sehingga mengetahui kesengsaraan rakyat. Bahkan saya sempet berpikir, mungkin saja di era jokowi Indonesia akan baik dan tidak ada demo sedikitpun, eh ternyata beberapa kali demo sempat menelan korban jiwa, dan menakjubnya lagi, beberapa kali demo besar depan istana, beliau lebih memilih kunjungan kerja daripada menemui para demonstran.

Harapanlah yang membuat manusia tetap hidup, kalau harapan itu mati, maka kita mungkin juga ikut mati. Maka saya sedikit menaruh harapan ke pak prabowo, walaupun sangat tipis, karena slogan keberlanjutannya. Karena tidak mungkin juga saya menaruh harapan ke pilihan saya, yang tidak terpilih. Sehebat-hebatnya naruto, kalau bukan dia hokagenya, dia tidak bisa menghapus nama sasuke dalam daftar orang paling dicari di dunia shinobi. Toh, capres yang saya pilih kemarin juga menaruh harapan agar presiden yang terpilih bisa membawa Negara lebih baik dari masalah ekonomi, politik sampai kebebasan pers, jadi kenapa saya tidak. walaupun kembali lagi, sangat tipis bagi saya. lalu pertanyaan selanjutnya adalah "Apakah saya juga memberi harapan ke wakilnya?" Jawaban saya sama seperti jawaban beliau, wakil terpilih, ketika ditanya wartawan : RAHASIA!!

Saya memilih berharap. jikalau seandainya bapak prabowo ternyata sama saja, atau bahkan lebih "wadidaw wasweswos lalalalala" (walaupun sebenarnya banyak indikasi kesana), ya kita harus tetap berharap! berharap pada apa? berharap pada diri kita sendiri, untuk tetap hidup, berjuang, berserikat dan melawan. untuk diri kita, bangsa kita, dan anak cucu kita nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar