Ross Tapsell dalam bukunya yang berjudul “kuasa media di indonesia” menggambarkan hadirnya televisi di indonesia dengan sangat baik. Apalagi ketika ia menceritakan bagaimana Televisi di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Soeharto sebagai kekuatan super power, berhasil menundukkan semua media-media di indonesia, dan tentunya televisi salah satunya.
Pada Era Soeharto semua media di kuasai penuh, bahkan ketika TVRI ingin menampil siaran berita, selalu di awali dengan pidato panjang Bapak Jendral tersebut tentang pembangunan, dan nasionalisme.
TVRI adalah stasiun TV satu-satunya di indonesia kala itu, sebelum bermunculan stasiun TV seperti RCTI, TPI, SCTV dan lainnya, sebelum jatuhnya rezim soeharto.
Tentunya sebagai stasiun TV milik negara, TVRI hanya dibolehkan untuk menyiarkan pesan-pesan pemerintah bahkan tanpa adanya iklan komersial. Walaupun kita tahu bahwa iklan adalah salah satu sumber kehidupan bagi media-media seperti Televisi. Tidak adanya iklan dalam siaran TVRI dikarenakan kekhawatiran pejabat-pejabat kala itu. Mereka menakutkan bahwa apabila ada iklan komersial, “massa yang bodoh” akan sangat mudah dipengaruhi dan digiring. Menarik bukan statement para pejabat kala itu!
Kenapa saya bilang menarik? Karena bagiku statement itu bukan hanya untuk mengantisipasi keadaan masyarakat kala itu, tapi juga masyarakat hari ini. Masyarakat kala itu di katakan bodoh, dan mudah digiring. Apakah kalian tidak menemukan persamaan disini. Bukan sama di frasa “bodoh”nya, tapi di frasa “digiring”nya. Apakah kalian tidak melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana masyarakat kita hari ini mudah sekali digiring oleh media-media penyampai informasi. Bukan hanya pada iklan komersial, yang tentunya kita tahu bahwa tujuan iklan komersial memang untuk menggiring orang membeli atau menggunakan barang yang di tawarkan, tapi juga berita dan informasi. Masyarakat dengan sangat gampang termakan oleh framing media, apalagi ditambah dengan bumbu-bumbu kebencian. Karena keberhasilan media salah satunya adalah apabila bisa membangunan emosi banyak orang. Apa contohnya? Film Korea!. Film korea berhasil membangun industrinya dengan cerita-cerita yang menarik dan penuh drama, yang siapapun bisa terlarut dalam permainan emosi filmnya. Kalau ada yang bilang karena cantik atau gantengnya pemeran, mungkin bisa, walaupun itu sangat subjektif sekali. Tapi yang paling membuat menarik adalah gagasan ceritanya.
Apalagi? Sinetron Adzab dan Reality Show. Kita selalu mengatakan bahwa Sinetron Adzab dan Reality Show alay bin ajaib itu sebagai konten sampah dan tidak mendidik, tapi kenapa masih saja di produksi oleh Televisi-televisi indonesia? Karena masih ada penontonnya. Keberhasilan ini tentunya karena media TV sukses mengaduk emosi penonton, bahkan sampai menangis terisak-isak. Ketika sudah banyak orang yang tahu bahwa reality show seperti “katakan putus, termehek-mehek ataupun Rumah uya” adalah settingan, tetap saja masih ada penonton yang menangis di depan layar tersebut.
Kita lihat yang paling dekat dengan kita akhir-akhir ini aja deh. Kasus Pemeran Korea yang di bully habis-habisan oleh netijen indonesia karena dalam film dramanya, dia memainkan peran sebagai pelakor (perebut laki orang). Netijen indonesia berbondong-bondong meramaikan akun instagramnya, dan menyampaikan “kata-kata mutiara” kepada sang pemeran, saya menyaksikan langsung, karena saya sempatkan diri untuk mampir ke instagram pemeran tersebut dan melihat indahnya netijen indonesia dalam bertahan hidup. Ternyata pemeran itu benar-benar kaget dengan respon dari penggemarnya, bahkan di lain kesempatan, pemeran tersebut mengatakan bahwa dia ingin dicintai di film drama lainnya yang ia perankan. Bayangkan sampai segitunya, padahal ini Cuma seni peran. Yang akhirnya netijen indonesia di serang oleh netijen korea, yang mengatakan bahwa netijen indonesia tidak dewasa.
Menangisi sebuah alur cerita adalah lumrah, bahkan banyak orang yang menangis setelah membaca buku, setelah mendengar lagu, setelah menonton drama kolosal, setelah menonton film dan setelah-setelah yang lainnya. Yang menjadi masalah adalah ketika responnya menjadi tidak benar, seperti “penyerangan” secara membabi-buta kepada pemeran tersebut. Seperti contoh diatas.
Bayangkan saja kalau masyarakat indonesia dalam merespon sebuah film selalu seperti itu, mungkin para artis dan pekerja seni serta pelaku seni drama dan peran akan berlomba-lomba untuk memerankan karakter Protagonis yang baik dan menolak menjadi karakter Antagonis yang super jahat.
Kalau kalian penikmat dan pencinta dunia persinetronan indonesia, kalian pasti pernah kesal dengan mischa yang di perankan oleh Dinda Kanya Dewi dalam sinetron Cinta Fitri. Dinda berhasil membangun karakter super jahat yang masyaAllah, Allahu Akbar. Karena penasaran, saya mencoba mengetik kata “Mischa Cinta Fitri” di pencarian Youtbe, dan sungguh menarik, Video paling atas yang di upload oleh MD Entertaiment adalah video dengan judul “Amit-amit! Ibu hamil jangan nonton kelakukan jahat mischa di cinta fitri” dan video teratas kedua berjudul “SUKURIN!! Ini dia kejahatan mischa yang gagal di cinta fitri”. Bahkan Rumah Produksi tersebut tetap berusaha menggambarkan kejahatan mischa walaupun sudah lama berlalu. Kenapa saya bilang begitu, karena MD Entertaiment mengupload video ini, bukan dalam waktu yang lama, tapi baru 8 bulan yang lalu. Padahal sinetron cinta fitri ini sudah lama berlalu. Lihat, bagaimana media menggiring masyarakat dengan mengaduk emosi penonton.
Saya jadi ingat materi stand up comedy nya Abdurrahim Arsyad ketika dalam kompetisi Suci 4, dimana ia membawa materi tentang Ibunya yang ia anggap layak mendapat piala citra sebagai penonton sinetron garis keras di indonesia. Berikut saya ambil penggalanan materinya “Beliau kalau sudah nonton sinetron. Itu Semua penghuni rumah itu wajib diam dan tenang, hukumnya fardu ‘ain. Ada yang ribut, berarti langsung jadi batu”. Bahkan Abdur juga menceritakan kalau mamanya sedang menonton sinetron, mamanya kadang marah-marah sendiri, emosi-emosi sendiri ke pemerannya. Walaupun ini Cuma materi comedy, tapi ini adalah gambar nyata masyarakat kita hari ini. Walaupun levelnya naik ke tingkat internasional, yaitu film drama korea
Kalau berbicara iklan mah tidak perlu di bahas lagi. Buktinya masih ada orang-orang yang tiap lihat Smartphone keluaran baru muncul, dengan segera mengganti miliknya yang lama dengan keluaran yang terbaru. Padahal kebermanfaatannya pun sama, palingan sedikit naik tingkat di kamera dan memorinya, dan juga naik tingkat di kelas sosial tongkrongan juga sih. Mungkin ini yang paling penting.
Apakah dengan beberapa bukti diatas sudah bisa digunakan untuk membuktikan kenapa pejabat di masa soeharto begitu khawatir dengan adanya iklan komersial?
24 Ramadhan 1441 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar