Semalam saya telpon bapak, sekedar untuk bertanya kabar dan ngobrol-ngobrol biasa. Dari obrolan keadaan disana, sampai dengan masalah kampus. Yang menarik adalah kita ngobrol soal kuliah online yang trending akhir-akhir ini karena pandemi covid-19 ini.
Kita tau bahwa akhir-akhir ini kuliah dan sekolah di alihkan ke dunia digital, tidak ada kelas tatap muka, yang ada kelas tatap layar. Sekilas tampak sekali kemajuan di dunia pendidikan kita, seolah menampilkan gaya baru pendidikan indonesia. Bahkan banyak yang bilang, bahwa kelas online ini membuktikan bahwa pendidikan itu bisa dimana saja, dan kapan saja. Ya Benar sekali, pendidikan bisa dimana saja dan kapan saja. Tapi untuk pernyataan “untuk siapa saja” apakah bisa relevan?
Malam tadi saya bertanya kepada bapak, yang mana bapak adalah dosen di salah satu kampus di papua, “Bagaimana kuliah disana, kan banyak yang tinggal di gunung, dan susah sinyal?” tanyaku. “jangan dulu bicara sinyal, orang HP mereka saja masih banyak yang belum android kok, masih make hp jadul yang Cuma bisa telfon dan sms saja” jawab bapak. “Trus bagaimana kuliahnya?” tanyaku lagi, “ya gimana lagi, yang punya hp android saja dan yang bisa mengakses yang kuliah. Kan tidak mungkin ngumpulin tugas lewat SMS kan. Lewat emailpun susah, di tambah lagi kadang mahasiswa tidak punya duit untuk beli kuota dan pulsa” jawab bapak.
Miris bukan, ketika mahasiswa di kampus-kampus besar mulai berbondong-bondong mengkritik kebijakan kampusnya soal biaya SPP, lalu pemotongan uang kuliah untuk beli kuota biar bisa kuliah online dengan baik, bantuan kampus dan sebagainya. ternyata masih banyak yang tidak bisa kuliah karena kebutuhan untuk kuliah tidak ada, yaitu HP android dan sinyal yang baik. Silahkan siapapun kalian, untuk mengkritik kampus yang kalian rasa salah, toh ini adalah ruang demokrasi, dimana aspirasi dan pendapat bebas bertebangan dimana dan kemana saja. Saya hanya ingin menampilkan sebuah realitas sesungguhnya dari indonesia.
Bukti ini adalah bahwa pembangunan di indonesia ini belum merata, seakan kemajuan hanya milik orang kota.
Yang menariknya lagi adalah, ada seorang menteri, yang bernama Nadiem, beliau ini menteri pendidikan. Dalam pernyataannya dia baru tau kalau ternyata masih banyak yang tidak bisa mengakses kelas online karena keterbatasan alat dan sinyal. Yang mau saya bilang, “bapak ini kemana saja sih! Bapak terlalu sering menikmati gedung sekolah yang tinggi dengan AC sebagai pendinginnya, lalu wifi kencang untuk mengakses informasi lebih banyak, sehingga lupa masih banyak anak yang bahkan masih bermimpi sekolah, tapi belum kesampaian”.
Bapak Nadiem harusnya di ospek dulu ketika mau diangkat jadi anggota kabinet, misalnya pak Nadiem di kirim ke pelosok-pelosok negeri selama satu tahun untuk melihat bagaimana wajah pendidikan indonesia, kalau bapak patokannya jakarta dan sekolah di pulau jawa, bapak pasti menemukan kemajuan, tapi beda ketika bapak berkelana ke ujung-ujung negeri. Saya kecewa membaca pernyataan boleh soal “respon kagetnya” yang harusnya tidak terjadi.
Lupakan masalah menteri yang baru tau, biarkan itu jadi evaluasi presiden, tapi kalau ternyata gak di evaluasi, yang mungkin kita cukup tau saja dengan keadaan rezim ini.
Ketika kita selalu meneriakkan pendidikan yang memerdekakan, sedangkan mereka malah susah mendapatkan pendidikan?
Lalu saya berpikir sebuah solusi gila, yaitu subsidi silang. Dimana nantinya kampus-kampus besar seperti, ITB, IPB, UI, UGM, UNDIP, UNPAD, UNHAS,UMY, UMM, UMS, UMJ, UII bahkan sampai UAD yang sempat trending di twitter, untuk memberikan uang pembayaran SPP kampusnya ke kampus-kampus kecil di pelosok negeri. Membiayai mereka yang tidak punya smartphone, membangunkan tower jaringan, dan sebagainya. Saya yakin kampus-kampus besar ini paling kecil pembayaran kuliah tiap semesternya adalah 4 juta. Dan itu sudah banyak dibanding kampus di papua. Walaupun pada dasarnya itu salah, karena bukan menjadi hak milik orang tersebut untuk mendapat subsidi silang, tapi hak mereka yang telah membayar dan menuntut pengembalian. Tapi kalau mereka mengizinkan dan mengiyakan mengapa tidak.
Kalian mungkin sangat jarang merasakan menggunakan HP tapi harus di tempat-tempat yang khusus saja yang memiliki sinyal yang baik, kalau sudah pindah sedikit, maka sinyal langsung susah bahkan sampai hilang. Saya dulu sering banget merasakan itu. Dan ketika saya Merantau ke jogja, akhirnya saya tau kemajuan dari teknologi itu sendiri
Pada akhirnya saya berharap agar pembangunan di negeri ini bisa merata secara baik.
Memindahkan ibukota ke kalimantan bukan solusi mengurangi kepadatan penduduk di jakarta, karena orang datang ke jakarta melihat kemegahan dan kemajuan. Yang paling bagus adalah menciptakan pembangunan yang merata, semua daerah memiliki kemajuannya sehingga, masyarakat tersebar dengan baik ke seluruh indonesia. Jangan sampai Pembangunan yang merata hanya mimpi di siang bolong. Kemajuan hanya mitos bagi orang kota.
Jangan kalian kira bahwa akses pendidikan yang susah hanya ada di indonesia timur seperti papua, sulsel, sultra, sulut, sulteng, sulbar, maluku, ambon, kupang, sampai dengsn flores, tapi di pulau yang suburnya bukan main, dimana tanah semen dan batu bisa tumbuh gedung tinggi, yaitu jawa saja masih banyak sekolah yang tidak layak, masih banyak anak yang susah mendapat akses pendidikan.
Ingat, pembangunan bukan sekedar masalah infrastruktur, tapi juga masalah kesehatan, pendidikan, pangan, lapangan kerja, angka kemiskinan menurun dan banyak lagi.
Kita tidak akan bisa menikmati gedung tinggi nan megah, kalau perut kita dalam keadaan lapar, pengetahuan kita kurang, kesehatan kita terganggu.
15 Ramadhan 1441 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar