Kejahatan yang dibalas dengan kejahatan tidak akan menemukan jalan tengah. Begitulah kiranya makna yang saya ambil dari film Avatar The Legend Of Aang dan Naruto.
Dalam cerita Avatar Aang, ia punya tugas berat untuk mengalahkan lord ozai, yang mana lord ozai ini adalah raja negara api, negara yang beringas dan menghancur seluruh negara untuk menguasai dunia. Dia menindas dan membunuh semua pemberontak yang menentang negara api. Yang pada akhir ceritanya, aang harus mengalahkan lord ozai, dan pilihannya adalah membunuhnya. Tapi sebagai seorang yang dilahirkan untuk memberi keseimbangan di dunia, dia merasa membunuh lord ozai adalah jalan yang salah, membunuhnya hanya akan menimbulkan dendam baru, dan hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan dunia yang lain di masa mendatang. Aang akhirnya berguru kepada kura-kura raksasa, yang kura-kura tersebut adalah sumber pertama kali adanya pengendalian dalam dunia. Aang di ajarkan cara mengambil pengendalian. Dan cara inilah yang dipakai oleh Aang untuk mengalahkan lord ozai. Aang lebih memilih mengambil “alat”nya lord ozai untuk menindas yaitu pengendalian api, dan tidak membunuhnya. Dan ingin menunjukkan pada dunia, bahwa menciptakan kedamaian dan kebaikan tidak selalu melalui jalan kekerasan atau salah.
Lain cerita di serial Naruto, yang mana ketika itu terjadi perang besar antar aliansi ninja dan Akatsuki yang dipimpin oleh Tobi alias Obito. Tobi yang lahir dari dendam masalalu, sangat membenci manusia, bahkan ingin membuat dunianya sendiri, dimana semuanya hidup nyaman dan tidak ada kejahatan dan kekerasan. Obito berkata kepada naruto bahwa dendam yang dibayar dengan kekerasan hanya akan menimbulkan dendam yang baru, apalagi perang dunia, yang pastinya akan menimbulkan dendam baru di masa yang akan datang.
Dari dua serial ini, kita diajarkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan tanpa emosi yang menggebu-gebu.
Dan akhir-akhir ini kita di pertontonkan oleh aksi seorang youtuber yang melakukan prank tidak manusiawi, dia benar-benar menghina kemanusiaan. Dengan membagikan sembako palsu di tengah pandemi, yang kita tau bahwa seluruh masyarakat lagi dalam masa kesulitan.
Semua masyarakat heboh mengutuknya dan memakinya. Sehingga membuatnya bersembunyi, tapi pepatah mengatakan “sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga” akhirnya beliau berhasil di ringkus di jalanan.
Setelah kabar penangkapannya tersebar di media sosial, banyak sekali yang bahagia dan di ikuti dengan cacian dan hinaan. Beliau benar-benar mendapat hukum sosial masyarakat. Siapa mengira kalau aksinya akan menjadikannya sebagai musuh bersama kebanyakan rakyat indonesia.
Tidak sampai disitu, perjalanan kesengsaraan beliau tidak berhenti begitu saja. Sesampainya di dalam perjara, tersebar sebuah video ketika beliau dan teman-temannya habis “dikerjai” senior-senior di dalam tahanan. Seperti di suruh masuk tong sampah salah satunya. Dan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi lainnya.
Yang paling menarik adalah respon netijen (perasaan saya dari kemarin-kemarin mengomentari respon netijen mulu dah) yang mana memunculkan dua poros, poros pertama adalah mereka yang membiarkan atau membenarkan tindakan perundungan di dalam sel itu, dan poros lainnya adalah mereka yang tidak terima dengan kejadian perundungan itu.
Aku berada pada poros kedua, bukan apa-apa, walaupun beliau ini salah dan sampah, seperti tulisanku di beberapa hari yang lalu. Bahkan bagiku telah menghina kemanusiaan, tapi tindakan yang kita lakukan yang tidak manusiawi juga salah. Lalu apa bedanya kita dengan beliau yang menghina kemanusiaan. Ada koment menarik di salah satu akun instagram yang menampilkan video perundungan pada beliau, dia berkomentar begini “lalu ketika kita ikut bersorak dia diperlakukan begitu, apa bedanya kita dengan orang-orang yang tidak memanusiakan manusia?”. Yap benar sekali, kita seolah paling suci ketika berteriak di awal kasus, tapi ketika ada hal yang tidak manusia yang di lakukan pada beliau, kita malah bahagia dan tertawa. Ada yang bilang ini “konsekuensinya”, ini “tanggung jawabnya”, ini “resikonya”dia melakukan begitu. Apakah budaya indonesia adalah “Mata di balas mata”? Saya rasa tidak.
Yang paling “keren” menurutku adalah komentar seperti ini “bukannya emang itu sudah biasa ya di sel. Yaa sebagai salam perkenalan lah. Hehe”. Kita masyarakat indonesia terlalu sering membiasakan sesuatu yang sebenarnya tidak benar, yang akhirnya itu membudaya dan mendarah daging. Tidak hanya di penjara, dimanapun banyak. Seperti contohnya di kampus-kampus. Masih banyak budaya ospek yang sedikit menggunakan kekerasan. Misal yaa, ini permisalan aja, jangan di ambil hati. Contohnya fakultas teknik ya (saya ambil contoh fakultas teknik, karena saya anak teknik. Tidak ada tendesius apa-apa). Ketika misal ospek di teknik mereka di bentak-bentak, dimarah-marah dengan alasan anak teknik itu harus kuat dan tangguh. Tapi ketika di tanya apa landasan dasarnya tindakan tersebut, mereka Cuma bilang ini budaya dari dulu, supaya anak teknik itu kuat-kuat. Ingin saya teriak di telinganya “PINTAR SEKALI ANDA!”. Inilah yang membuat keadaan bisa semakin parah, karena tidak tau dasar kenapa dulu ada marah-marah dan bentak-bentak, hanya sekilas mengambil dari cerita dulu, atau mungkin ada dendam dulu karena pernah di bentak senior ketika ospek. Dendam yang terbalaskan secara salah akan melahirkan dendam yang baru. Jangan coba-coba melestarikan suatu budaya yang anda sendiri tidak tau landasan dasarnya apa. Kalian akan telihat bego nantinya.
Kalau kalian pernah menonton jalan-jalan men yang diproduksi oleh Malesbangetdotcom channel di youtube, nah ketika episode di sumbawa, hostnya yaitu jebraw Lagi menonton lomba pacuan kuda, dan melihat joki-joki balapan tersebut adalah anak-anak kecil dengan pengamanan yang masih sangat minim, dalam videonya jebraw mengatakan “tapi kalau gua liat-liat ya pacuan kuda bahaya juga sebenarnya, apalagi jokinya masih anak-anak, kayak keamanannya masih kurang diperhatikan gitu. Kayak rada berbahaya untuk anak-anak kecil disana yang ikut jadi jokinya gitu. Dan gak seru aja kalau anak-anak yang jatuh, terluka, patah tulang atau bisa sampe kehilangan nyawa gitu. Soalnya lebih baik memperbaiki budaya, daripada mempertahankan budaya yang beresiko tinggi apalagi bagi anak-anak” kalau mau lebih jelasnnya silahkan nonton langsung jalan-jalan men episode Sumbawa – Ayo-ayo Moyo part 2.
Kata-kata ini menjelaskan bahwa Kebudayaan yang beresiko lebih baik diperbaiki daripada di pertahankan tapi berdampak buruk. Padahal ini konteks budayanya adalah baik, tapi masih perlu banyak perhatian dab perbaikan. Nah untuk budaya buruk seperti perundungan di ospek atau penjara, yang sebenarnya itu bukan budaya baku dari nenek moyang, kok malah di lestarikan. emang ada ya nenek moyang penjara. Hadeh!
Di akhir kata saya hanya ingin bilang, ini negara demokrasi, jadi silahkan berargumen dan beraspirasi. Kau mau ada di poros yang satu, atau dua, atau kau membuat poros lain, silahkan lah. Mumpung ruang demokrasi ini belum dibelenggu oleh penguasa, walaupun akhir-akhir ini rasanya sudah menyempit aja ini ruang demokrasi kita. Ssstt, hati-hati jangan ngomong soal demokrasi, bahaya~
17 Ramadhan 1441 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar