Apakah kita
benar-benar menanti Ramadhan? Benarkah kita senang Ramadhan datang? Seharusnya
seperti itu. tapi tunggu dulu!
Kita tidak
benar-benar menunggu kedatangan Ramadhan. Kita tidak benar-benar senang
kedatangan Ramadhan. Kita tidak benar-benar Bahagia bertemu Ramadhan. Tidak
perlu menyangkalnya, kita hanya bahagia dengan euforianya, kita hanya senang
dengan ritual keagamaannya yang meriah. Kita hanya senang dengan pertemuan bersama
orang yang dicintai ketika akan Lebaran. Walaupun ada aja beberapa orang yang
senang secara utuh dengan kehadiran tamu yang mulia untuk umat beragama islam.
Saya baru saja
membaca tafsir karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghi dengan Judul Tafsir Al-Maraghi. Baru kali ini saya membaca tafsir Al-Quran, dan
didalam buku tersebut banyak sekali pembahasan yang menarik perhatian saya. Tapi karena ini
membahas soal Bulan Ramadhan dan Ibadah Puasa, maka saya membuka Tafsir Surah
Al-Baqarah 183 -185. Yang membahas soal Ibadah Puasa. Bahkan banyak sekali
penjelasan seperti seputar sejarah budaya puasa. Ternyata puasa ini sudah
dikenal jauh ketika jaman mesir kuno, orang-orang yang hidup di jaman mesir
kuno sudah membiasakan diri untuk menahan hawa nafsunya, dan juga
berhasil menyebar sampai ke yunani dan romawi.
Bahkan dalam
beberapa tafsir ini berisikan soal bagaimana manfaat dan rahasia diwajibkannya
ibadah puasa ini. puasa bagi kebanyakan orang adalah suatu ibadah yang berat,
tidak bisa makan dan minum di pagi sampai sore, padahal waktu-waktu itulah
waktu dimana manusia menghabiskan energinya dengan mencari nafkah, berbeda
dengan penggangguran yang menghabiskan energinya dengan mencari lowongan kerja
di internet. Lanjut. Juga bagi mereka yang sudah beristri atau bersuami,
kehidupan berumah tangga, seperti hubungan suami istri menjadi terbatasi. Makna
dari semua ini adalah melatih mental seorang manusia untuk bisa menahan diri
dari segala godaan duniawi. Ketika mental manusia sudah naik tingkat, maka
kehidupannya pun gampang diatur oleh dirinya sendiri.
Sebuah hadits
Shahih menyebutkan bahwa “Puasa itu
adalah sebagian dari sabar”. Tentu sangat benar sekali. Manusia yang bahkan
tidak bisa mengendalikan sabarnya tidak akan pernah menang melawan godaan hawa
nafsunya. Di seri-seri yang akan datang saya ingin membahas soal kekuatan Sabar
dan surah Al-Baqarah : 45.
Bahkan ketika
jaman dulu, kaum watsani meyakini
bahwa puasa adalah ibadah untuk menangkal murka dari pada dewa. Mereka percaya
bahwa dewa akan mengabulkan permintaanya apabila mereka menyiksa, membunuh dan
meniadakan nafsu syahwatnya.
La’allakum tattaqun” agar kamu bertakwa. Ada beberapa
sisi yang membuat puasa menjadi jalan paling dekat untuk sampai pada ketaqwaan
pada Allah SWT.
Pertama, dengan puasa kita melatih untuk selalu takut akan
hadirnya Allah dimanapun kita berada dan bersembunyi. Sebab ketika puasa tidak ada satu
orangpun yang berhak menjadi pengawas kecuali Allah SWT. Seseorang bisa saja
mengatakan dia masih berpuasa, tapi ternyata dia sudah makan, sudah minum
bahkan sudah berhubungan badan dengan istri/suaminya beberapa jam yang lalu. Manusia
bisa dikelabui, Tapi Tuhan yaitu Allah SWT tidak bisa, sepintar dan secerdas apapun manusia itu. manusia yang sudah sampai pada tahap
berhasil meninggalkan keinginan duniawi ketika ramadhan seperti makanan enak,
minuman segar, bahkan pasangan yang menggoda, sudah membudayakan ketaqwaan
kepada sang pecipta. Dan tentunya budaya ini menghasilkan Rasa malu kepada
Allah yang tanpa henti mengawasi segala tindak tanduk manusia di dunia.
Bagi siapapun
yang memiliki rasa malu kepada Tuhannya, maka tindakan-tindakan seperti
penipuan, kekerasan, kerusakan, korupsi, main curang, dan segala tindak
kemungkaran akan ditinggalkan secara total. tapi apabila dia melakukan
kemunkaran tersebut, maka dia akan langsung memohon ampun dan bertobat. Kejadian
ini tertuliskan dengan jelas dalam Firman Allah Surah Al-A’raf : 201, yang
artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka
dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, merekapun segera
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”
(Al-A’raf : 201)
Kedua, Puasa menurunkan ketegangan dalam masalah nafsu
syahwat. Dalam buku tafsir ini dijelaskan bahwa maksud dari menurunkan dan
menangkal ketegangan ini adalah menjaga
kemaluan, sehingga mengurangi keinginan untuk bersetubuh dengan lawan jenis.
Ketiga, Puasa tentunya mengingatkan kita kepada orang-orang
miskin yang susah makan, orang-orang fakir yang hanya bisa makan 2 hari sekali.
Sehingga timbul rasa cinta, kasih dan sayang kepada sesama manusia, yang bentuk
praksisnya adalah berinfak, bersodaqoh dan berzakat.
Keempat, puasa membuktikan bahwa semua manusia itu sama. Tidak
ada satupun yang membedakan, apalagi hanya karena status sosial manusia. Bapak jokowi
sebagai presiden tetap harus puasa dari
adzan subuh berbunyi sampai dengan adzan magrib berbunyi sama pula seperti para
orang jalanan yang harus tidur di bawah kolong jembatan, mereka diwajibkan
untuk puasa penuh juga. Jangan hanya karena orang-orang dengan status sosial
tinggi bisa mendahului buka puasanya.
Kelima, Puasa menimbulkan keteraturan, yang termanifestasi
dari kapan sahur, kapan harus berhenti sahur, dan kapan waktunya berbuka. Tidak
ada yang boleh mendahului waktu berbuka dan tidak ada yang boleh melebihi batas
untuk sahur.
Keenam, Puasa adalah langkah baik untuk membersih organ
tubuh dan zat atau bahkan kotoran yang ada di dalam tubuh. Dia sebagai sarana
yang baik untuk membersihkan raga manusia, dan itu diakui oleh banyak ilmuan
dunia.
Setelah begitu
banyak hal yang tertuliskan, coba kita renungkan ulang kembali. Apakah kita
sudah benar-benar menunggu kedatangan ramadhan atau hanya sekedar menunggu
euforianya yang meriah?
banyak
orang yang berubah beriman ketika bulan ramadhan, tapi kembali lagi menjadi
dirinya yang melakukan kemunkaran dan dosa setelah ramadhan. Saya tidak bilang,
saya bukan orang seperti itu. selama 25 tahun saya hidup, sayapun orang
brengsek yang melakukan itu, bahkan di bulan ramadhan, saya masih sempet
melakukan keburukan dan dosa. Maka saya mengajak diri saya sendiri dan kawan-kawan
sekalian untuk menyambut ramadhan dengan hati yang benar-benar utuh, dengan tujuan
yang benar-benar mulia. Menyambut ramadhan dengan alasan euforianya pun tidak
apa-apa selama itu adalah jalan menuju ketaqwaan, jangan sampai menjadi tujuan.
Seperti percakapan Mas basar, mas Kabul dan pak tarya di meja makan kala itu.
mereka meyakini bahwa syariat adalah jalan bukan Tujuan dari beragamaanya
seorang manusia. Karena toh tujuan Nabi Muhammad di utus ke dunia ini adalah
untuk menyempurnakan akhlak manusia. Begitu kesimpulan diskusi ringan mereka
bertiga di meja makan selepas sholat jum’at. (dikutip dari novel karya Ahmad
Tohari, yang judulnya Orang-orang proyek).
MARHABAN YA RAMADHAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar