“Rama bangun. Subuhan dulu”
“iyaa bu. Ini juga udah bangun”
“bangun itu berdiri dari tempat tidur, terus ambil wudhu”
“iyaa bu, ini udah berdiri dari tempat tidur”
“ramaaaaa. Cepat ambil wudhu, terus sholat!”
“iya bu iya”
“gak ada iya iya, yuk cepetan”
Itulah moment yang selalu dirindukan ketika di rumah. Dibangunin sambil dimarahin. Selama di perantauan tidak ada yang bangunin, kalaupun ada itu adalah alarm, Alarm berisik yang membuatku bangun hanya untuk mematikannya.
Apasih yang membuat orang rindu dengan rumah? Tentunya ngobrol bareng, ketawa bareng, senang-senang bareng. Tapi yang paling kurindukan adalah omelan dan marahnya orang tua. Entah kenapa, hal-hal seperti itu yang malah membuatku rindu akan rumah ketika diperantauan.
Aku adalah anak yang tergolong nakal. Jadi, omelan ibu, marah-marahnya bapak, itu semua makanan sehari-hariku. Jadi ketika merantau, terus gak ada omelan lagi, gak ada yang marah-marah lagi, terasa seperti ada yang hilang.
Aku selalu ingat perkataan ibu, ketika itu ibu mendapat telpon dari kampus, dan diberi tahu kalau aku bolos kuliah. Ya maklum, mahasiswa beasiswa seperti aku ini, banyak dibelenggu oleh aturan, entah harus ipk minimal 3 lah, harus masuk Kuliah terus, harus ikut organisasi A, organisasi B, dan banyak lagi aturan yang disematkan dalam tubuh kami para mahasiswa beasiswa.
Ya wajar memang bila kampus berharap lebih kepada mahasiswa beasiswa, karena toh kami sudah dibiayai kuliah, jadi harus serius kuliahnya. Ya aku tidak mau melakukan pembelaan atau mencari alasan apapun.
Setelah mendapat info tersebut, ibu lalu menelpon, “rama dimana?”,
“lagi dirumah teman bu”
“ibu tadi dapat kabar, katanya kamu tidak kuliah?”
“iya bu. Tadi ikut demo terus ada lanjut diskusi gitu”
“kok gak kuliah dulu?”
“gak bisa bu”
“kok gak bisa? Kuliahnya diprioritaskan dong ram, kuliahnya udah gratis, jadi harus rajin”
“iya bu aku kuliah kok. Tapi itu juga penting, untuk menambah wawasan dan pengalaman”
Perdebatan kami terus berlanjut, dan ada kala nada bicaraku yang sedikit tinggi.
Karena mungkin sudah capek berdebat denganku, ibu bilang “nak, ibu sama bapakmu ini sayang dan peduli sama kamu. Kita ini menasehati kamu karena sayang. Disana siapa yang nasehati kamu? Seberapa peduli mereka dengan kamu, yang paling peduli adalah keluarga dekat. Pada akhirnya mereka akan membiarkan kita. Cuma keluarga dekat yang selalu menasehati, dan pasti nasehat itu baik untuk kamu. Itu aja yang mau ibu bilang. Pokoknya rama baik-baik disana, jaga kesehatan, rajin kuliahnya, rajin ibadahnya, dan jangan aneh-aneh”.
Seketika, dadaku terasa sesak, seperti ada yang mengganjal dihatiku. Mungkin aku berlebihan kepada ibu. Aku akhirnya menelpon ibu kembali dengan tujuan minta maaf. Hal itu belum pernah kulakukan. Meminta maaf kepada orang tua terlalu susah bagiku, entah kenapa akupun tidak tau. Tapi kali itu kuberanikan, jangan sampai aku menyesal di akhir nanti.
“hallo bu”
“iya kenapa ram, ini ibu lagi di dapur”
“aku mau minta maaf bu” Seketika dada begitu terasa sesak, air mata keluar dengan sendirinya.
“rama minta maaf kalau rama. . .” tidak bisa lagi kulanjutkan kata-kataku, dadaku terlalu sesak, terlalu sakit menusuk, bibir tidak bisa di ajak kerjasama dengan baik. Aku menangis.
Ada sekitar 5 menit tidak ada balasan dari ibu, mungkin ibu mendengar sedikit tangisanku, walaupun aku menangis tanpa suara. Tapi mungkin naluri seorang ibu tau itu.
“iya ram. Ibu kan peduli, makanya ibu nasehatin kamu. Yaudah nanti lagi ya ram, ibu mau masak dulu” segera ditutup teleponnya.
Dalam hatiku berkata “sialan, kenapa air mata ini gak mau berhenti sih” dengan terus ku menunduk menutup wajah. Bagaimana kalau ada orang yang liat aku menangis, pikirku. Tapi biarkan saja, toh aku menangis bukan karena hal remeh temeh yang tidak penting.
Aku tau ibu mematikan telponnya untuk membiarkanku menumpahkan semua tangis, semua kesakitan itu.
Aku menangis bukan karena tidak kuliah dan pergi kegiatan lain, aku tidak menyesali melakukan itu, tapi lebih kepada tindakanku yang berlebihan merespon pertanyaan-pertanyaan ibu. Tidak seharusnya aku mendebatnya, tidak seharusnya nadaku kunaikkan saat berbicara dengannya. Dari situ, aku sudah mulai tidak pernah mau berdebat lagi, kalau dinasehati dengarkan, dan kalau salah, ya minta maaf.
Tapi berbeda ketika marahnya langsung, tidak lewat telepon. Aku sering mengajak ibu berdebat. Karena sudah kubilang, aku rindu omelannya, aku rindu marah-marahnya dan kalau bertemu langsung dengan ibu, itu lebih asik, dan kita bisa liat secara langsung ekspresi muka tanpa perlu berspekulasi .
.
.
“ibu pagi-pagi gini goreng apa sih?” tanyaku
“ini lagi goreng tempe, tahu, pisang yaa pokoknya gorengan lah” balas ibu sambil tetap fokus menggoreng
“lah bukannya hari ini ibu rencana libur ya?” tanyaku sambil mengambil pisang goreng yang sudah matang
“ih rama, kok dimakan sih!” kata ibu sambil menatapku
“hehe. Satu aja bu” balasku sambil senyam-senyum ala anak yang tak berdosa
“kamu ini. Ini memang bukan jualan seperti biasa ram. Ibu rani pesan gorengan untuk acara dirumahnya. Ibu emang tidak jualan kok” jelas ibu
“oh begitu toh”
“semalam bilang mau bantu ibu, tapi malah molor juga” balas ibu
Aku tertawa. “yaudah sini rama bantu goreng bu” sambil berusaha merebut spatula di tangannya, tapi ibu menghindar
“gak usah, nanti kalau kamu yang goreng, gosong semua” balas ibu “nanti kamu yang antar aja ke rumah ibu rani” lanjutnya.
“siap perintah, laksanakan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar