“darimana aja ram?”
“jalan-jalan keliling desa bu sama adit tadi”
“kamu ikut kan pengajiannya ibu rani?”
“ikutlah bu. Makan gratis kok”
“huuss. Ada ada aja. Sana mandi”
“siap perintah, laksanakan!”
Pengajian yang diadakan oleh ibu rani, eh bukan, maksudnya ibu dwi adalah hal yang ditunggu. Karena masyarakat rame-rame datang kesana. Ibu dwi memang tergolong orang yang berada, rumahnya besar, di tambah lagi halamannya yang luas. Jadi jika ada kegiatan dan membutuhkan tempat yang luas, maka rumahnya sering dijadikan alternatif.
Dan juga pengajian ini mengumpulkan orang-orang yang saya jarang temui, dan ngobrol-ngobrol panjang bersama. Apalagi yang paling nikmat ketika kita pulang kampung dan ngobrol ngalor ngidul dengan orang kampung?. Bagi saya itu kenikmatan yang indah, karena orang kampung selalu berbicara jujur, apa adanya. Selama merantau aku selalu berkumpul dengan orang kota tapi tidak sedikit isi pembicaraan mereka adalah kebohongan dan saling memproteksi diri. Mungkin memang begitu ya, hidup di kota dengan tingkat peduli yang rendah, maka harus menjaga diri masing-masing, berbeda dengan masyarakat kampung atau desa yang tingkat gotong royongnya sampai pada level maksimal.
.
“Loh, Ibu dimana fit?” tanyaku
“udah jalan duluan sama bapak. Bang rama sih lama mandinya” jawab fitri kesal
Fitri ini adek perempuan saya yang pertama. Dia sekarang kuliah semester 4 jurusan hukum
“iya ih mas rama sih. Lama!” tambah suci yang keluar dari kamar
Suci adalah adik keduaku, dia baru semester 2 jurusan pertanian
“yaudah sih. Ayoo berangkat” kataku
“huuh dasar”
.
Ketika pengajian menyambut bulan Ramadhan di rumah ibu dwi, suasana kampung akan sepi dan fokus di rumah ibu dwi. Seluruh rumah sudah di pastikan kosong, dan akses masuk kampung sengaja di tutup. Salah satu alasannya untuk mencegah orang asing masuk dan malah mencuri rumah-rumah yang kosong.
.
“Wah mas Rama pulang kampung ternyata ya” sapa pak gatot ketika kami baru sampai di rumah ibu rani
“iya pak. Alhamdulillah ada rezeki dan ada waktu luang” jawabku
Pak gatot ini adalah seorang muadzin tetap mushola kampung kami. Saya mengidolakan beliau. Walaupun umur beliau sudah berkepala 6 Bahkan 2 tahun lagi berkepala 7, beliau masih sangat semangat dan penuh energi. Bayangkan saja, beliau ini yang melakukan adzan selama 5 waktu sholat, dan kalau di lihat dari jarak rumah ke mushola, rumah beliau adalah rumah yang paling jauh jaraknya diantara masyarakat yang lain. Dan beliau selalu jalan kaki, tidak mau naik kendaraan apapun.
Akan saya ceritakan nanti kenapa pak gatot ini sangat keren dan saya idolakan.
Segera saya mengambil tempat duduk di samping pak gatot. Fitri dan suci masuk kedalam untuk membantu menyiap-nyiapkan makanan. Dari belakang muncul dion yang menyanggah omongan pak gatot, “bukan pulang kampung pak, yang benar itu mudik”
Sialan ini anak, bapak-bapak juga diajak berdebat. Sungguh tidak ada akhlak pikirku.
“lah emang beda ya mas pulang kampung sama mudik?” tanya pak gatot
“lahiyo beda toh pak” jawab dion
“emang bedanya dimana?” balas bagas yang tiba-tiba muncul dari belakang dan mendekati kami.
“masa gitu aja gak tau gas. Kalau pulang kampung itu yaa pulang ke kampung. Tapi kalau mudik yaa pulang kampung...”jelas dion, belum selesai menjelaskan omongannya dipotong sama adit yang datang ikut nimbrung
“jangan di potong dulu bego. Belum juga selesai. Bedanya adalah di waktunya. Kalau pulang kampung itu bisa kapan saja, sedangkan mudik itu ketika bulan ramadhan atau mau lebaran” tambah dion
“ya sama aja dong berarti yon” balas bagas
“ya beda banget dong” jawab dion lagi
“berarti kalau bulan ramadhan, Kata yang digunakan harus mudik, gak boleh pulang kampung?” tanya bagas
“ya gak juga gas” jawab dion
“gimana sih yon. Gak jelas amat” balasku “makanya kau pahami kata-kataku bego” kata dion. seperti biasa, mulutnya dion memang tidak terkendali
“kan udah aku bilang pulang kampung itu bisa kapan aja, sedangkan mudik itu hanya bulan ramadhan. Berarti mudik itu masuk kedalam definisi pulang kampung, tapi pulang kampung tidak” jelas dion
“yaaa berarti sama aja dong” balas adit dengan nada tinggi. Yang membuat semua orang yang duduk di sekitar kami, menengok kami.
“eh jahannam, suaramu jangan keras kali. Kirain ini rumahmu hah” kata dion sambil mendorong adit.
“tidak sama, gak paham-paham juga sih kalian” tambah dion
“inilah kenapa negara kita tidak maju, kita kadang terlalu gampang di permainkan oleh kata-kata” balasku
“lah kok gitu?” tanya bagas
“contohnya gas, kata radikal. Kata itu kan artinya mendasar, mengakar, kembali ke yang prinsip. Tapi kenapa orang mengkonotasikan islam radikal itu negatif dan buruk. Padahal ketika kita berislam kita harus mengakar, kita harus sampai akarnya, kita harus sampai pada hal-hal yang prinsip” jelasku
“oh iya juga yaa” kata dion sambil mengangguk pelan
“kita ini gampang di permainkan kata-kata. Contohnya kamu yon, yang di permainkan kata-kata” tambahku lagi
“kok aku? Contohnya?” tanya dion
“iyalah, kamu pikir semua kata-kata si mantanmu dulu adalah bukti dia setia, eh ternyata ditinggalkan juga kan” balasku sambil tertawa. Adit, bagas dan pak gatotpun ikut tertawa
“dan juga kita kadang sering di tipu oleh permainan kata-kata politisi. Politisi bilang “saya akan sejahterakan rakyat”, eh taunya malah keluarganya doang yang sejahtera, ketika di tanya, jawabnya “kan keluarga saya juga rakyat mas”. Makan itu kata-kata” tambahku lagi
Kami tertawa lagi, dion tidak. Dia masih mencoba mencerna kata-kataku. Semoga dia tidak dipermainkan oleh kata-kata lagi kali ini. Dan pak gatot hanya ngangguk-ngangguk saja.
“huuss ribut amat. Ini udah mau mulai” suara dari belakang kami, ternyata imam dan harry.
“ribut amat kalian ini. Debatnya nanti aja Kirain acara debat di tv apa?” tambah harry
kami segera kembali duduk rapi, dan melupakan debat ngalor ngidul ngomongin kata-kata. “ternyata bahaya juga ya kata-kata itu” pikirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar