ADZAN MAGHRIB YANG DITUNGGU : MASA KELAM SI PEMIKIR SEDERHANA (EPS 04) - Melawan Semesta

Membaca adalah cara kita memahami kehidupan, Menulis adalah cara kita menikmati perjalanan, dan Berdiskusi adalah cara kita mengerti arti persimpangan. Hitam Putih Kehidupan insan manusia dalam pencarian!

Breaking

Sabtu, 25 Maret 2023

ADZAN MAGHRIB YANG DITUNGGU : MASA KELAM SI PEMIKIR SEDERHANA (EPS 04)

 “nanti malam udah tarawih lagi aja”

“iyo ram. Gak kerasa”

“mana ada gak kerasa. Aku ini kerasa banget. Beberapa kali puasa di tanah rantau”

“salahmu sendiri ram, kenapa gak pulang”

“mahal woi. Emang kamu mau bayarin uang jalannya?”

“Heh, kalau saya punya uang sebanyak itu mending pakai beli makanan, terus kasih makan semua orang miskin di kampung ini. Termasuk saya”

“lah, kenapa gak di simpan sendiri, kamu juga kan miskin?”

“rama, rama. kamu ini kurang ngaji sih”

“lah kok? nyambungnya dimana?”

“kata pak ustadz, kalau ada rezeki harus dibagi-bagi”

“Halah bodoamat dit. Ngomong sama kamu gak ada habisnya”

.

“katanya kamu abis pdkt lagi sama rani ya?”

“berita darimana lagi?”

“tadi kamu dari rumahnya rani”

“owalah tadi nganter gorengan”

“sekalian clbk dan pdkt lagi kan”

“ambil kesimpulan darimana”

“iyalah, dulu kamu dekat sama rani, terus suka sama rani, tapi rani suka orang lain. Terus rani menikah, kamu patah hati. Kamu Pergi merantau. Ternyata rani cerai, dan sendiri lagi. Kamu juga masih sendiri. Akhirnya datang lagi, untuk pdkt lagi. Simple bukan!”

“aku abis anter gorengan, berharap ketemu kamu di jalan, bisa bahagia malah stres dit. Cara pandangmu yang simple ini mengganggu cara orang lain berpikir!”

“santaii, kalem ram. Kita yang berpikir simple, adalah orang paling cerdas ram. Mencari solusi paling sederhana dan simple. Itu susah loh”

“tidak semua bisa dibuat simple dan sederhana dit”

“kenapa tidak? Kalau ada yang gampang, kenapa ambil yang susah”

“Haiiish preet lah dit”

“eeeh, mau kemana?”

“keliling desa, cari angin”

“oke aku ikut”

Adit adalah temanku yang paling sederhana dan simple, tidak hanya cara berpikir tapi juga tindakannya. Dia menganggap bahwa hidup tidak perlu diambil susah. Kalau bisa disederhanakan, lalu buat apa dibuat susah. Memang terlihat hidupnya sangat enak dan enteng. Tapi siapa kira hidupnya sangat berat, apalagi hidupnya di masa lalu. Kehidupan keras sudah dia rasakan dari kecil. 

Bapaknya adalah seorang buruh pabrik sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga, yang terkadang ikut orang kerja sawah atau bisa dibilang buruh tani panggilan. 

Kala itu bahkan sampai hari ini, kehidupan buruh selalu jauh dari kata sejahtera. Mereka selalu diperas keringatnya, tapi dibayar pas-pasan, sedangkan pemiliknya bergelimangan harta. Aku paham bahwa merekalah pemilik modal, dan juga sekaligus sebagai pemiliknya, sehingga mereka punya hak untuk membuat aturan pada perusahaannya. Tapi apakah tidak ada rasa kemanusiaan yang mereka masukkan ketika menyusun sebuah aturan perusahaannya?

Aku mau cerita ke kalian masa susah buruh di kampung kami.

Ketika itu kami masih umur 9 tahun, kelas 4 sekolah dasar. Diumur seperti itu, seharusnya pekerjaan kami adalah bermain, tertawa, belajar, mandi di pantai, dan berpetualang.

Pada waktu yang bersamaan, pabrik dekat kampung kami, yang juga adalah tempat kerja bapaknya adit terjadi keributan antara perusahaan, warga, dan pekerja. Warga dan pekerja bersepakat untuk menuntut perusahaan atas beberapa kesalahan. 

Pertama, Pabrik membuang limbahnya ke daerah masyarakat, padahal sudah ada perjanjian bahwa tidak boleh ada pembuangan limbah apapun disekitar kampung. 

Kedua, Pabrik berjanji akan memberi pekerjaan bagi warga sekitar. Memang diberikan, tapi hanya sementara. Ada beberapa warga yang dipekerjakan hanya dua (2) sampai tiga (3) bulan dan setelah itu di PHK tanpa kejelasan yang pasti. Warga sekitar yang menjadi pekerja disana banyak yang dipecat, yang tersisa sangat sedikit, bisa dihitung jari. Dan yang tersisa adalah “pentolan” kampung, salah satunya bapaknya adit. Dan tempat kosong yang ditinggalkan para pekerja yang di phk, diisi oleh pekerja-pekerja yang dibawa dari luar desa. jumlahnya sangat banyak. 

Ketiga, gaji yang tidak manusiawi dan berubah seketika tanpa ada pemberitahuan. Contohnya adalah bapaknya adit. Beliau di gaji 30 ribu perharinya, dengan 26 hari kerja. Jadi bila digaji tiap awal bulan, bapaknya adit mendapat uang sebesar 780 ribu. Untuk kerja yang berat, upah segitu sangatlah kurang. Kalau kita mendetailkan lagi hitungannya, bapaknya adit bekerja selama 8 jam seharinya, 30 ribu upah perhari di bagi dengan 8 jam kerja, maka dia dibayar 3.750 per jamnya. Kembali lagi, untuk kerja yang berat dan melelahkan, 3.750 perjam sangat memprihatinkan, apalagi di tambah keluarganya yang terbilang banyak, ada satu (1) istri dan empat (4) anak. dalam waktu tiga (3) bulan, upah seluruh karyawan di turunkan sebanyak 5 ribu perharinya, menjadi 25 ribu perhari. Ketika pekerja bertanya apa gerangan yang membuat gaji mereka diturunkan, perusahaan berkata kalau penjualan lagi susah. Ketika mendengar perkataan itu, beberapa pekerja mencoba memastikan apakah bener lagi susah, ternyata tidak. malah produk perusahaan tersebut sangat laku di pasaran. Inilah yang membuat masyarakat geram.

Pekerja dan masyarakat yang tidak terima, sering melakukan aksi dan demo di depan perusahaan. Tapi nihil. Bahkan para pekerja yang tersisa di ancam akan dipecat. Sehingga perlawanan semakin kendor dan malas-malasan karena takut dipecat. "Daripada kami terus melawan tidak dapat apa-apa, malah dipecat, mending kami ikut saja aturan, tapi rutin dapat uang". Begitulah beberapa pikiran pekerja disana. Tapi tidak dengan bapaknya adit. Dia terus melawan dan menerobos batas. Surat peringatan sudah tidak terhitung banyaknya sampai ke rumahnya. 

Tapi bagi perusahaan besar dengan uang yang banyak, melawan seorang pemberontak adalah hal gampang. Salah satunya adalah membayar preman, bapaknya adit pernah di culik dan dipukuli bahkan di kroyok oleh preman, dan disuruh untuk berhenti memprovokasi masyarakat. Tapi bukan pemberontak sejati kalau menyerah hanya karena di pukul. Kejadian tersebut ternyata bocor di masyarakat. Bapakku salah satunya yang pertama tau, dan begitu marah. Dan akhirnya menyusun rencana bersama om ari untuk menuntut keadilan. Oh iya bapaknya adit namanya om ari, lupa saya kenalkan. Bapakku bukan pekerja disana, tapi melihat kelakukan perusahaan dan tindakan kasar yang dilakukan ke temannya, membuat dia marah. Naluri premannya keluar lagi. 

Ternyata perlawanan semakin kuat, masyarakat semakin berani bersuara dan terus menuntut keadilan. Setiap hari ada selembar kain putih panjang di ikat di pagar pabrik bertuliskan “dimana hati nuranimu! Kami juga manusia, bukan robot!” tiap hari dicopot tapi tiap hari juga dipasang lagi yang baru. Dan tiap senin dan kamis, masyarakat berkumpul di depan daerah pabrik, tidak ngapa-ngapain, hanya duduk nongkrong, ngobrol, makan-makan, gelar tikar kayak orang piknik, tapi menggunakan pakaian hitam. Bapak dan om ari ingin menggambarkan bahwa tanah mereka untuk kehidupan telah di rampas, sehingga mereka harus melakukan aktifitas biasanya di depan pabrik. adapula beberapa orang yang diminta untuk menggunakan masker yang menggambarkan tentang limbah pabrik yang telah mencemari lingkungan sekitar desa. Sebagian pekerja yang dari luar mulai risih dan juga takut. Dan memilih untuk mundur dari perusahaan tersebut. 

Aksi begini berlangsung hampir 5 bulan. Dan setiap bulan semakin bertambah tinggi intensitas perlawanannya. Yang biasa hanya selembar kain panjang depan pagar, mulai pagar lainnya diikat kain lain bertulis “tanah kami subur tuan!” atau “anjing saja makanannya lebih dari 30 ribu perhari!”. Tambah ekstrim lagi ketika mulai banyak tulisan juga diikat di gedung asrama pekerja.

Tentunya aksi yang dilakukan menghambat laju produksi.  Akhirnya perusahaan mengambil langkah untuk bekerja sama dengan aparat keamanan dan beberapa preman-preman. Alih-alih untuk mengkondusifkan keadaan, konflik malah semakin tajam antar perusahaan dan masyarakat.

Buntut akhirnya adalah ketika bulan kelima mereka melakukan aksi. Masih membekas diingatanku, hari itu hari Minggu, jam 8. tiang listrik berbunyi sangat keras. Semua orang berkumpul ke sumber suara tersebut. Aku yang mencoba menuju kerumunan, segera di tahan oleh ibu. Usut punya usut, ada dua (2) orang pemuda desa yang tertembak kakinya oleh aparat karena memasang selembar kain panjang di depan pagar. Dan semalam ada 3 pemuda yang dipukul sama preman bayaran perusahaan, karena 3 pemuda ini juga orangnya bapak dan om ari yang getol melawan. Dan juga ternyata sore kemarin para pekerja yang tersisa, yang juga warga situ, sudah di phk semuanya. 

Kami yang anak-anak dan perempuan di kumpulkan menjadi satu untuk mempermudah penjagaan dan komunikasi. Kali itu aku benar-benar tidak tau akan keadaan apa ini. Tapi perasaanku benar-benar takut dan terasa begitu mencekam. Suara orang-orang dewasa yang terus berteriak, dan juga suara mobil aparat yang terus berbunyi penuh teror.

masih sangat membekas diingatkanku, aku berdiri di samping ibu dan juga adit bersama ibunya. di depan kami, ada bapak dan om ari yang berbicara kepada kami, menyampaikan pesan. Karena kami pasti adalah orang pertama yang dicari, orang-orang yang paling dekat dengan komandan aksi ini.

Om ari jongkok di depanku dan adit lalu berkata “kalian jangan mau jadi buruh. Kalian hanya akan diperas sampai keringat kalian kering dan mati!”

“apa buruh itu jelek pak?” tanya adit

“buruh itu mulia dit, perusahaannya aja yang brengsek” jawab om ari

“berarti perusahaan itu brengsek om?” tanyaku

“bukan perusahaannya, tapi pemiliknya. Para pembisnis dan pelaku usaha” jawab om ari lagi

“pembisnis jahat berarti pak?” tanya adit lagi

“tidak semua, tapi kebanyakan iya. Mata dan hatinya sudah di tutup uang. Sehingga mereka rakus dan serakah!” jelas om ari

“sudah sudah!” kata bapak menghentikan percapakan kami. Mungkin bapak tau, kami akan terus bertanya. 

“adit, bapak pergi dulu. Rama, om pergi dulu ya. Jaga ibu kalian” kata om ari sambil pergi menuju kerumunan massa. “bung, segera menyusul ya” kata om ari pada bapak. Sapaan mereka memang menggunakan kata bung.

“kalian sekarang masuk sana, berkumpul sama yang lain” menyuruh kami. “nisa, kalau ada apa-apa segera hubungi mas andan, dia dan beberapa pemuda yang berjaga disini” kata bapak kepada ibu

“iya, mas hati-hati yaa” 

Segera kami masuk ke dalam masjid, yang mana jadi tempat dikumpulkan anak-anak dan perempuan. Aku tidak pernah berpikir akan sampai sejauh ini konflik antar masyarakat dan perusahaan.

Kerusuhan pun pecah, kami yang di dalam masjid mendengar teriakan bersahut-sahutan, tidak jarang suara pistol berbunyi kencang. Beberapa anak-anak ada yang menangis, tidak terkecuali ibu-ibu. Aku hanya terdiam dan terduduk ketakutan dipelukan ibu.

.

.

Keliling desa memang menyenangkan, menghirup udara segar dan menyapa masyarakat. Walaupun saya sudah lama tidak pulang, masyarakat disini masih tetap ramah, masih mengingatku dan menyapaku

“eh mas rama, sini mampir dulu”

“iya bu, nanti, masih ada urusan”

“eh rama, balik toh”

“iya mas, lagi kosong aja”

.

“kamu masih terkenal juga ya?”  kata adit

“artis memang seperti itu dit” jawabku sombong. 

Kami tertawa

“dulu itu gila banget ya, sampai konflik seperti itu” kataku

Kami masih sambil berjalan menuju suatu tempat

“tau gak ram, pemicu paling besarnya apa konflik itu?” Tanya adit

“itu kan yang dua pemuda ketembak kakinya, dan 3 pemuda lainnya yang dipukul” balasku

“emang iya, tapi ada lagi yang lebih parah, yang membuat bapakku naik pitam dan para pemuda” kata adit. Sambil berjalan, aku terus memandangi adit. Ternyata ada beberapa cerita yang tidak sampai ke telingaku, atau memang cerita ini di rahasiakan, “oh iya? Apa itu?”

“Sehari sebelum kejadian, paginya rumahku di samperin preman. Mereka ada 5 orang” kata adit. Ekspresi kaget tergambar jelas di wajahku. Inilah cerita yang tidak sampai ke telingaku. “Nah, waktu itu premannya Tanya dimana bapakku. Karena ibu tidak menjawab, tiba-tiba salah satu preman menarikku dan mencengkramku begitu kuat. Empat orang lainnya masuk membongkar-bongkar rumah. Ibuku menangis meminta supaya aku dilepaskan. Tidak dilepaskan, preman ini malah semakin keras mencengkramku, aku teriak kesakitan. Ketika selesai membongkar rumah, dan tidak menemukan apa yang mereka cari, mereka kembali bertanya ke ibuku. Dan ibuku bersikeras tidak mau menjawabnya”. Jelas adit.  “Ram, kamu pernah merasakan atau melihat anak umur 9 tahun, dipukul oleh pemuda berumur 25an tahun dengan badan besar dan otot yang sudah terbentuk sempurna tepat diperut gak?” tambah adit, sambil menunjukku dan berhenti berjalan. Karena dia berhenti, akupun berhenti dan aku menggelengkan kepala.

“aku pernah ram. Aku merasakan langsung di perutku ini” kata adit sambil mengelus perutnya. Terlintas dikepalaku bagaimana sakitnya dipukul oleh preman yang biasa berkelahi ke anak kecil yang tulangnya saja baru tumbuh berkembang. Aku cuma diam menatapnya. Adit kembali menjelaskan lagi, bahkan dia memprakteknya kepadaku, aku berperan sebagai adit kecil, dan dia berperan sebagai preman itu “jadi dia cengkram tanganku. Lalu setelah melihat ibuku menjawab “saya tidak tau”, preman itu tampak begitu marah, terlihat jelas diwajahnya ram. Aku liat jelas wajahnya merah padam”.

“kenapa dia marah?” tanyaku penasaran. “mungkin tugasnya mencari bapakku ram. Dan mungkin juga ada hukuman untuk dia kalau tidak berhasil menjalankan tugasnya” jawab adit. “bener juga” balasku.

“aku lanjutkan ya. Nah karena mendengar jawaban itu, cengkramannya semakin keras, aku semakin keras menangis dan berteriak. Mungkin karena teriakanku mengganggu juga, akhirnya dia menatapku sangat tajam, lalu menarikku, sehingga tubuhku berhadapan dengan dia. Tanpa aba-aba dia langsung memukul keras di perutku. Kepalaku langsung oleng, kesadaranku hilang, aku langsung pingsan, tergantung di tangannya yang masih keras mencengkramku. Kata adikku, ketika dipukul aku mengeluarkan cairan dari mulut, semacam film-film action yang orang dipukul keluar air bercampur darah, kondisiku begitu katanya ram” adit kembali terdiam. Akupun terdiam, di kepalaku tidak muncul satupun tanggapan yang tepat. Adit melepas cengkramannya dan kami kembali berjalan.

“kata adikku, si preman itu bilang begini “dimana suamimu!! Atau kupatahkan tangan anakmu ini!” sambil teriak begitu kencang. Karena ibuku yang ketakutan, langsung memelukku sambil menangis dan memberitahu dimana bapakku berada, sambil terus meminta untuk melepas cengkramannya dari tanganku. Segera preman itu melepas tanganku. Dia menatap ibuku, dan berkata “kalau begini kan cepat, tidak perlu anakmu ku pukul”. Lalu mereka pergi meninggalkan kami. Itu ceritanya ram” kata adit. Wah ternyata ada cerita yang belum pernah orang dengar ya, atau aku saja yang tidak tau. “aku doang yang tidak tau ya cerita ini?” tanyaku penasaran. “gak, hampir keseluruhan masyarakat gak tau soal cerita ini, karena kalau tau konfliknya bisa tambah parah. Yang tau itu bapakku, lalu 5 pemuda itu, dan satu lagi bapakmu ram. Yang lainnya gak ada yang tau. Mungkin karena cerita inilah membuat 5 pemuda itu semakin geram dan melakukan tindakan yang memancing emosi perusahan” jelasnya. “jadi cerita ini percikan awal sebenarnya yang memicu api besar ya dit” kataku. Adit Cuma mengangguk.

.

Sampailah kami di depan gapura besar yang tak bernama

“mau singgah?” tanya adit

“boleh, aku sudah lama tidak ketemu” balasku

Kami memasuki gapura besar tersebut

“masih sama?” tanyaku

“ya, tidak dipindah kok” jawab adit

Kami berjalan sekitar satu menit dan berhenti. Terdiam sejenak, lalu aku menjongkok. 

“om ari, maafkan aku kalau tidak bisa mengikuti kata om ari untuk tidak jadi buruh. Sekarang aku jadi buruh om. Karena pengen kumpulin duit untuk jadi pembisnis dan pelaku usaha, tapi rama janji akan jadi pembisnis yang baik, pelaku usaha yang memanusiakan manusia. Rama janji om” kataku di depan nisan bertuliskan “Ari Dewanto. 01 mei 1965 – 01 mei 2005. Beristirahat dengan tenang. Perjuanganmu Abadi bung!” 01 Mei 2005 adalah hari dimana konflik antar masyarakat dan perusahaan itu pecah.

“ayo pulang” kata adit memecah keheningan sambil berjalan meninggalkanku perlahan

“kamu tidak mau berdoa dan berbincang dengan bapakmu?” tanyaku mengedahkan kepala ke arahnya

“tidak perlu. Saya selalu berbincang dengannya di hatiku” balas adit sambil berjalan meninggalkanku

“heii! tunggu. Pikiran itu sungguh sangat tidak sederhana dit” kataku tertawa sambil mengejarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here