“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
“iiiiih bang rama pulang”
“yeee, akhirnya bang rama pulang”
“ibu mana fit?”
“di dapur bang. Lagi masak”
“jangan meluk-meluk fit”
“kangen tau bang”
“aku juga kangen bang”
“gak usah ikutan meluk juga suciiiiii”
kepercayaan
saya di bandara beberapa jam yang lalu ternyata salah. Apanya yang pulang ke
pelukan ibu, disambut depan rumah saja tidak. Memang realita tidak seindah
ekspektasi yang dibayangkan.
“itu
barang-barangnya taruh di kamar sana” kata ibu yang sibuk menggoreng sesuatu
“eh
rama, oleh-oleh buat ibu mana?” tambah ibu
“yaelah
bu, giliran oleh-oleh aja dicari. Anaknya baru pulang loh” balasku sewot
“kan
kamu udah disini ram. Buat apa lagi ditanyakan” balas ibu.
.
Aku
berjalan memasuki kamar tua milikku dulu. kamar tua yang penuh kenangan,
fikirku. Kamar ini adalah kamarku dari kecil hingga tumbuh menjadi remaja.
Kamar yang berukuran tiga kali tiga ini, sudah sangat luas bagiku. Dengan kasur
berukuran dua kali satu, lalu lemari kayu tepat disampingnya, dan beberapa
hiasan dinding berupa poster-poster tim bola ataupun gambar-gambar artis juga
beberapa tokoh-tokoh film kartun. Tapi, heii kenapa ibu membelikan sprei dengan
gambar real Madrid, jelas-jelas aku pendukung Barcelona, bisa tidak tidur
nyenyak kalau begini, Aku harus protes ke ibu nanti. ruangan yang lainpun tidak
begitu banyak berubah bentuk, semua jadi terlihat sama saja. yang berubah cuma
warna catnya, yang dulu ketika saya meninggalkan rumah ini 7 tahun lalu,
berwarna hijau, sekarang berubah menjadi warna biru muda. juga beberapa sofa
baru yang berada di depan.
.
“mau
kemana ram jam segini?” Tanya ibu
“mau
nongkrong bu, sama temen-temen?” balasku
“baru
juga datang, udah pergi nongkrong aja. Bantu ibu dulu sini” ucap ibu, yang
masih sibuk menggoreng sesuatu
“yah
bu. Udah janji loh. Besok rama bantuin ibu seharian deh”
“alah,
pasti juga kamu molor” ucap ibu dengan muka sedikit kesal
“untuk
besok tidak. Rama janji sama ibu” balasku dengan sedikit tertawa
“kamu
ini ya, tidak pernah pulang rumah kalau bulan ramadhan, sekalinya pulang malah
keluyuran”
“ini
bukan keluyuran tapi nongkrong bu. Kalau bahasa alusnya Silaturrahim bersama
saudara-saudara” kataku membuat alasan agar diizinkan pergi. Walaupun umurku
sudah seperempat abad, tapi keluar rumah terasa tidak afdhol aja apabila tidak
dapat izin dari ibu
“pinter
amat yaa cari alasan ram” kata ibu
“kan
disekolahin sama ibu”
“iya
iya. sana pergi. jangan pulang malam-malam ya rama”
“lah,
ini kan udah malam bu?”
“iiish.
Sana pergi, atau ibu gak ijinin”
“siap
perintah, laksanakan!” balasku sambil hormat seperti seorang tentara yang
sedang memberi hormat pada komandannya.
Memang
benar kata ibu, aku jarang pulang ketika bulan ramadhan, atau mungkin bukan
jarang, tapi tidak pernah. Bukan karena apa-apa, tapi tidak ada biaya
transportasi untuk pulang, sekali pulang pergi, itu jatah makan dan hidupku
selama 6 bulan. Jadi aku memilih untuk tidak pulang, dan ibu mengijinkan itu.
Ibu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Memang menjadi orang susah itu
susah.
Oh
iya, aku Ramadhan Putra Anisa, biasa di panggil Rama. Orang kadang selalu
bertanya kepadaku, “kenapa ada nama anisa sih di belakang namamu, bukannya itu
nama perempuan ya” Aku selalu menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang
terlihat keren, padahal belum tentu “emang kenapa, apakah nama anisa selalu
identik dengan perempuan? Kan tidak. Nama itu hanya sebuah simbol”. Untuk
mereka yang tidak tau arti anisa, jawaban itu terlihat masuk akal, tapi bagi
mereka yang tau dan paham, pasti aku habis di skakmat. jawaban mereka begini
“ya gak salah sih, Cuma kan anisa itu dalam bahasa arab artinya perempuan ram”
kalau aku sudah mendapatkan jawaban itu, maka disitulah akan kuceritkan asal
usul nama ini. Haha
Tapi
belum waktunya untuk menceritakan asal-usul namaku itu. Waktuku akan habis
untuk menceritakannya, akan kuceritakan di lain waktu. Lebih tepatnya bukan
aku, tapi ibu dan bapak yang akan bercerita.
.
“Weh
ini dia, sang perantau pulang” teriak seorang lelaki tinggi berkulit coklat dan
rambut cepak. Namanya dion
“jangan
sok akrab!” balasku
“kau
ini selalu bisa membuat orang naik darah ya!” balas dion
Semua
membalas dengan tertawa
Inilah
tempat nongkrong kami, sebuah bekas pos ronda yang sudah tidak di pakai, kami
sulap menjadi basecamp untuk di pakai nongkrong, walaupun saya adalah orang
yang paling sering absen dari kegiatan nongkrong tersebut.
“bawa
makanan kan bos?” tanya salah satu temanku, pria berkacamata dengan badan kurus
tinggi, namanya imam
“aku
ini heran kali sama kau mam, kau paling kuat makan, tapi gak besar-besar. Aku
ini, makan Cuma dua kali sehari, besarnya udah kayak tong air” balas Harry
dengan menggebu-gebu. Harry memang seperti itu, orang dengan perawakan besar,
kalau ngomong blak-blakan, suaranya keras dan menggebu-gebu. Tidak jarang
orang salah mengartikannya, bahkan sampai tersulut emosi yang diperparah dengan
harry yang juga gampang emosi. Kalau tidak berakhir dengan debat
sambil teriak, ya baku hantam. Tapi akhir-akhir ini, kudengar harry sudah lebih
kalem dan bisa mengontrol emosinya dengan baik.
Kami
sambut omongan Harry dengan tertawa
“kau
mau tau caranya supaya badanmu lebih kecil sedikit Har?” kata dion
“iyo.
Gimana caranya?” balas Harry antusias
“tidak
usah makan selama satu tahun” balas dion sambil tertawa
“itu
memang aku kurus, tapi sekalian mampus” jawab harry
Kami
menyambut ucapan harry dengan tertawa keras
“tak
usah dipikir har. Yang penting mah sehat” balas adit. Adit ini temanku yang
paling santai, hidupnya seperti tidak ada beban. Semua dipikir dengan sederhana
dan gampang.
“khas
adit banget itu” balasku langsung
“ini
aku bawa makanan, sikatlah boy” kataku sambil menyodorkan kantong plastik yang
kubawa.
Inilah
salah satu momen yang selalu dirindukan ketika pulang kampung, selain berkumpul
sama keluarga di rumah, berkumpul dengan keluarga Lain diluar rumah.
Menyenangkan dan membahagiakan.
Oh
iya, ada satu lagi kawanku, selain Dion, Harry, Adit, dan Imam masih ada Bagas.
Dia memang orang yang jarang bicara. Berbeda ya orang yang pendiam dan jarang
bicara. Dia pernah bilang begini “ram, kamu harus tau, pendiam dan jarang
bicara itu beda. kalau pendiam itu ya dia diam aja, kalau jarang bicara itu,
dia bicara hanya kalau itu diperlukan saja dan itu penting, kalau tidak penting
buat apa bicara” penjelasan yang membingungkan bagiku. Mungkin menyapaku yang
sudah lama tidak bersua adalah hal yang tidak penting baginya, yang penting
pertemuan dan momentum kumpulnya. Yasudahlah, tak apa
Malam
yang panjang kali itu kami lewati dengan bernostalgia beberapa kejadian dan
sekedar mendengar lelucon yang keluar dari mulut dion ataupun harry. Mereka
berdua memang orang yang selalu membuat nongkrong kami jadi terasa hidup. Entah
mereka melucu sendiri, atau saling serang. Karena mereka berdua berasal dari
suku yang sama, dan sikapnya yang tidak mau kalah, membuat mereka akan saling
serang mengejek apabila diejek. Tentunya itu hiburan yang paling menyenangkan
bagi kami berempat.
“aku
dengar dion mau nikah?” tanyaku
Dion
yang duduk tepat disampingku langsung memalingkan wajahnya padaku, matanya
begitu tajam menatapku. Bukankah berita pernikahan itu membahagiakan, kenapa
responnya tidak mengenakkan, fikirku. “kenapa kau? Senang dong, akhirnya nikah”
kataku
Imam,
adit tertawa, disambut tertawa harry yang sangat keras. Aku bingung, apa yang
mereka tertawakan. “woiii, jangan ketawa kau”. Kata dion setengah membentak.
Mereka berdua sudah biasa saling bentak. Tidak menghentikan tawanya, harry
malah semakin berulah, dia mempraktekkan ketawa sambil tertunduk, tangan
kanannya memegang perutnya, sedangkan tangan kirinya memukul lantai berulang
kali, menggambarkan betapa lucunya kondisi itu. Karena respon harry yang
berlebihan, aku jadi bisa berspekulasi soal pernikahan dion. “gagal nikah yon?”
kataku dengan sedikit meninggikan nada bicara. Tongkrongan kami riuh dengan
tertawa, Cuma raut wajah dion yang tidak bisa menghasilkan tawa.
“ayolah
boy, kegagalan itu kesuksesan yang tertunda” kataku sambil merangkulnya,
“diam
kau!” balasnya sambil melepas rangkulanku.
“kenapa
boy? Ceritalah, katanya kita teman” kataku sambil mencoba merangkulnya lagi,
tapi dia menghindar.
“gak
usah pura-pura khawatir begitu ram. Biarkan saja. Kalau ditanya-tanya, nangis
pula nanti dia” balas harry sambil tertawa kencang.
“mana
ada aku menangis ya har, ku cabik-cabik moncong kau ya” balas dion sambil
menunjuk tajam harry. Suasana heboh seperti ini yang ku rindukan
"Rumah
yang hangat" fikirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar