“Rama! bangun, sahur”
“iya bu”
“ayoo. Iya iya terus”
“ini udah bangun bu"
yaudah berdiri dari tempat tidurnya"
"ini udah berdiri bu"
"kalau udah berdiri, jalan sini."
"iya bu"
"iya iya terus dari tadi kamu ini!!"
"ini juga lagi jalan bu”
“yaudah sini makan”
“oke bu”
walaupun umurku sudah seperempat abad, dibangunkan seperti anak kecil dengan penuh omelan adalah hal yang menyenangkan. ya walaupun aku memang tergolong orang yang susah bangun juga, apalagi ketika kondisi lagi dirumah, udara sejuk yang masuk lewat celah-celah jendela membuat kamar dan kasur begitu nyaman untuk ditiduri.
Kegiatan yang sudah lama tidak saya lakukan, sahur pertama di bulan ramadhan bersama keluarga. tujuh kali Ramadhan berlalu dengan kesendirian. begitulah kalau menjadi anak rantau. Bang toyib tiga kali puasa, tiga kali lebaran gak pulang-pulang. Lah aku dua kali lipatnya bang toyib, harusnya ada penyanyi yang sudi membuatkan lagu untukku kehebatanku tidak pulang-pulang
Yang paling dirindukan bukan ketika makan sahurnya, tapi setelah itu. Ngobrol-ngobrolnya. Kegiatan makan kami dilewati dengan cepat, tanpa ada obrol-obrolan, tapi setelah itu baru ada percakapan-percakapan.
“gimana sahur pertama hari ini ram?” tanya bapak yang baru saja memakan potongan terakhir tempenya. Tumbem sekali beliau bertanya seperti itu, bapak bukanlah orang yang seperti itu, basa-basi dan sebagainya.
“ iya pak. Alhamdulillah tahun ini bisa di rumah” jawabku sambil menatap bapak. berbeda denganku, bapak tidak membalas menatapku, beliau masih asik memakan tempenya sambil merapikan sendok dan garpunya
“biasanya sama siapa disana?”
“sama teman-teman pak. Di dekat kos dulu ada masjid yang siapin sahur kok” balasku
“oh iya, baru tau kalau ada masjid yang menyediakan sahur juga” kata bapak. kali ini bapak menoleh melihatku, sepertinya sebuah masjid yang menyediakan sahur adalah informasi yang baru baginya. ya memang sangat jarang masjid yang menyediakan sahur, kecuali di 10 hari terakhir bulan ramadhan
“disana banyak masjid yang seperti itu pak. Disana kan banyak mahasiswa dan perantau” jelasku antusias. walaupun bukan asli dari sana, tapi saya lumayan bangga pernah hidup di tempat kuliahku dulu, entah kekuatan magis apa yang membuatku lumayan bangga, senang dan antusias ketika berbicara soal daerah tempatku kuliah
“oh begitu yaa. Baik juga orang-orang disana” sambung ibu yang lagi mengupas pepaya. di keluarga kami, buah di konsumsi setelah makan berat, walaupun kata banyak orang itu terbalik, harusnya makan buah dulu baru makan berat, aku juga tidak tau kebenarannya, dan tidak merasa punya urgensi untuk mengetahui informasi itu.
“iya bu. Kampus juga sering bagiin sahur kok, tapi stoknya Cuma sedikit, jadi banyak yang tidak dapat. Sehingga nyari di masjid lain. Kalau gak yaa makan di warung bu” jelasku
“kenapa gak belanja di warung aja?” tanya fitri yang duduk tepat di depanku
“kalau ada yang gratis, buat apa bayar fit” balasku sambil mengangkat bahu. benar kan? kalau ada yang memberi secara gratis, kemana kita harus mengeluarkan uang lagi. hidup hemat itu penting, walaupun hemat dan pelit beda tipis memang. seperti yang sering dibilang orang-orang 'kalau ada yang mudah, kenapa harus yang susah', masuk akal bukan?
.
“aku juga mau nanya dong bang” kata suci mengacungkan tangan, dia pikir sedang melakukan seminar sampai perlu mengangkat tangan
“nanya apaan? Emang saya apaan ditanya-tanya” balasku dengan muka kesal. sebenarnya aku tidak sepenuhnya kesal, cuma kadang-kadang pertanyaan yang keluar dari mulut adik kecilku ini diluar nalar.
“abang gak pernah sahur dengan pacar?” tanya suci dengan muka antusiasnya
“pertanyaan macam apa itu, sangat tidak penting untuk dijawab” jawabku protes
“yaelah bang, gak papa sih pengen tau” pinta suci dengan muka memelasnya
“aku juga pengen tau bang” tambah fitri sambil mengacungkan tangan. mereka pikir meja sahur ini seminar
“iya ram, ibu juga. Udah umur dua puluh lima, masa belum ada?” tambah ibu sambil menatapku
“belum ada apaan bu? Sudah ada kok” kataku menatap balik ibu
“wah beneran bang, bawa ke rumah dong” balas suci yang kali ini terlihat sangat senang,
“apa sih. Bahas yang lain aja” protesku sambil membuang muka. melihat wajah adik perempuanku yang begitu senang, malah membuatku jengkel
“iyaa bang. Aku setuju sama suci. Kalau gak di bawa, setidaknya namanya aja deh” tambah fitri menggoda. fitri bukanlah orang yang pengen tau, kalau bahasa gaulnya kepo, tapi kalau yang mulai adalah suci, fitri jadi ikutan kepo.
“iya kan bu? Masa bang rama gak ngasih tau kita sih” ucap suci ke ibu dengan senyum lebarnya.
“iyaa. Kabar bahagia mah harus di bagi-bagi” timpa ibu yang beres memotong dadu pepaya tadi
“apa-apaan ini. Kok malah ngomongin aku sih. Kebiasaan banget ya ibu-ibu ini, kerjanya ngerumpi. Bulan ramadhan ini, berhenti gosip dulu” balasku dengan wajah yang kubuat seperti orang marah. aku tidak tau apakah ekpresi itu akan membuat mereka berhenti bertanya soal itu atau tidak, tapi sedikitnya mereka menangkap sinyalku soal ketidaknyamananku ditanya soal pacar atau pasangan
“iya bu. Pelit amat dah bang rama” Kata fitri cemberut
“heh ibu-ibu. Ini udah mau subuh. Tolong untuk berhenti gosip yaa. Nanti puasa anda-anda sekalian tidak diterima. Iya kan pak ya?” kataku menunjuk satu-satu mereka, setelah itu menatap bapak untuk mendapat dukungan pada forum aneh ini
“iya ram. Ibu kamu bener. Bapak juga pengen tau, kamu udah punya belum?” jawab bapak yang sekali lagi tidak melihatku tapi asik menatap pepaya diatas piringnya
Lah, bapak ternyata ikut-ikutan juga. Sahur pertama bukannya senang, malah di sidang di meja makan, dan dicerca pertanyaan yang tidak penting, sebenarnya penting, tapi menjawab pertanyaan itu tidak segampang membalikkan telapak tangan.
“Nah, bapak aja setuju kok bang. Cepetan ih” paksa suci menatapku tajam
“gak ada suci!” balasku mendorong kepalanya yang berusaha mendekatiku
“emang gak ada, karena bang rama kan belum move on dari mba rani” timpa fitri dengan santainya, dia tidak sadar kalau sedang memperkeruh keadaan.
“heh apaan, jangan ngawur” balasku melotot. informasi yang tidak harusnya keluar di forum keluarga
“loh kok ibu gak tau kalau rama pernah sama rani?” tanya ibu dengan wajah penasarannya.
Mulut fitri memang bikin masalah, jadi melebar kemana-mana, harusnya saya bilang dari tadi saja, ini malah melebar ke rani segala
“emang gak ada bu, fitri ini ngomong sembarang aja” koreksiku segera
“ibu gak nanya kamu kok ram, ibu nanya fitri. Kapan itu fit?” kata ibu menyuruhku diam dengan jari telunjuknya. aku hanya garuk-garuk kepala.
“sudah lama bu, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan sih” jelas fitri “iya kan bang?” tambahnya mengkonfirmasi
“gak, ngawur aja” balasku membuang muka.
“yaudah, kenapa gak sama rani lagi aja. Rani udah sendiri itu” kata ibu menggoda
“apaan sih bu” balasku “aneh-aneh aja, iya kan pak?” tambahku. Untuk memperkuat posisiku di meja makan ini, aku harus ada bekingan yang kuat, bapak contohnya. Walaupun bapak tadi setuju dengan obrolan yang lalu, tapi untuk pembahasan rani, saya yakin bapak berpihak padaku
“iya bener ram” balas bapak
Nah sudah saya bilang juga apa, bapak pasti beprihak padaku, walaupun di kubu sebelah 3 orang, ibu suci dan fitri, tapi kalau di pihakku ada bapak, bahkan 100 orangpun juga kalah.
“apanya yang benar pak?” tanya ibu menatap bapak
“ya bener lah bu. Mumpung rani masih sendiri, kenapa gak. Rama juga keliatan cocok dengan rani kok” kata bapak yang asik mengunyah pepaya
Allahuakbar, ternyata saya sudah skakmat. Maju kena, mundur kena, belok kiri nabrak, belok kanan ditabrak.
“emang ibu punya duit untuk saya dan rani?” tanyaku. sengaja pertanyaan ini keluar untuk membungkam mereka, setidaknya saya tau bahwa kami bukan orang yang punya banyak uang untuk menikah dengan gampang
“wah bang rama mau nikahin mba rani, beneran?” tanya suci penuh antusias. kembali ia memajukan kepalaku mendekatku
“kamu ini ya, kalau masalah cinta-cintaan cepat amat. Masih kecil juga” kataku sambil mendorong pelan kepalanya
“iih apaan sih bang ram. Aku nanya beneran kok. Iya kan bu?” kata suci
“emang kalau ibu ada uang, kamu mau nikah dengan rani?” tanya ibu balik sambil melipat tangan dan menatapku tajam
Pertanyaan apa ini, aku tidak berharap pertanyaan ini yang muncul. Darimana juga ibu punya uang untuk membiayai pernikahan, apalagi rani kan orang yang dipandang, tidak mungkin nikah modal ke KUA aja.
“kayak ibu ada uang aja!” kataku menyerang balik. Tenang, kami kalau bertemu sering begini kok. Ini bukan praktek menjadi durhaka seorang anak pada ibunya
“ibu ada, kalau Cuma 200 juta mah punya. Iya kan pak?”
“iya bu. Ada beberapa tanah yang bisa di jual kok” tambah bapak
Apa-apaan ini, jangan-jangan obrolan ini sudah disiapkan jauh-jauh hari.
“hayooo bang rama. Itu ibu udah ada uangnya. Kita langsung sahkan saja” tembak fitri
“Sial, sial, sial” Umpatku dalam hati. Mau menyerang malah di serang balik.
“gimana ram, abis puasa yaa. Bulan syawal bagus loh” tanya ibu lagi
“gimana apanya bu. Bulan syawal memang dari dulu bagus kok” jawabku panik. Kenapa malah jadi sudah berbicara teknis sih. Aku belajar organisasi bertahun-tahun, kalau mau buat acara, konsep acaranya dulu digarap sampai matang baru bicara teknis, ini konsepnya belum jelas, udah ngomong teknis aja
“asiik. Bulan syawal aku punya kakak perempuan” teriak suci sambil berdiri membuat meja makan kami bergetar
Segera aku tarik suci duduk dan menjitak kepalanya
“iiiih sakit bang!” kata suci cemberut memegang kepalanya
“gak usah aneh-aneh lah bu” balasku
Ternyata suara adzan menyelamatkanku, kalau tidak, bisa dihakimi terus. terima kasih ya Allah, Engkau memang baik.
“wah udah adzan tu. Yuk subuhan” kataku sambil berdiri.
Aku harus segera mengambil langkah seribu untuk meninggalkan meja makan yang telah berubah menjadi meja persidangan. sebelum melangkah pergi, bapak memberhentikanku
“Ramadhan!”
Bapak selalu punya aura yang berbeda, apalagi kalau sudah menyebut namaku atau kedua adikku dengan lengkap.
“iya pak?” balasku yang terdiam tidak berani meninggalkan meja makan
“jadi gimana usul ibu tadi?” tanya bapak menatapku tajam. walaupun aku dalam kondisi berdiri, sedangkan bapak dalam kondisi duduk, tapi aku malah yang merasa tertekan oleh auranya. Pertanyaan yang selalu dingin dan penuh tekanan berbahaya. Jawabannya harus benar dan tidak boleh asal, atau bisa mendapat balasan yang tidak mengenakkan.
“kayaknya saya harus keluarkan kartu as ini, untuk menyelamatkanku dari pertanyaan dingin bapak” pikirku
“gak pak, saya sudah ada kok. Beneran!” balasku
“siapa?” balas bapak lagi. Ngomong “siapa” aja kayak harimau yang mau menerkam mangsa.
“ada pak, teman KKN dulu” balasku sambil menatap suci dan fitri. aku tidak berani menatap mata bapak, matanya lebih menakutkan dari apapun
“beneran bang?” tanya suci ikut berdiri. Entah kenapa adikku yang satu ini paling suka kalau ngomong soal percintaan. Terlalu keseringan nonton drama percintaan, buat otaknya teracuni.
“siapa?” tanya bapak lagi
Lagi dan lagi, kata “siapa” penuh aura berbahaya
“April namanya pak” balasku cepat.
“beneran ram?, kenalin sama ibu sih ram” ucap ibu dengan senyum khasnya. senyum ibu selalu luar biasa bagiku
Ya pada akhirnya seperti ini. Aku akhirnya tau, kalau senjata terakhir mereka bertiga adalah bapak, karena Cuma bapak yang bisa membuatku tidak berdaya.
“udah adzan bu. Nanti kapan-kapan deh rama ceritain yaa” balasku untuk segera menyelamatkan diri. Bapakpun sudah beranjak pergi dari meja makan.
“oke bang, di tunggu cerita soal mba aprilnya” balas fitri dengan penuh senyum kemenangan
“akhirnya abang aku punya pasangan” teriak suci keras.
.
Akhirnya kalah telak. Sidang di meja makan kali ini, berakhir dengan aku divonis akan menceritakan seseorang.
Tapi tungggu dulu! April!? Apa yang harus saya ceritakan.
Ini mah bukan kartu AS, ZONK! Ternyata aku lagi mempersiapkan bom bunuh diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar