“rama, nanti terbang jam berapa?”
“jam 5 bu”
“owalah. Terus sekarang dimana?”
“masih di kos bu. Lagi siap-siap ini. sebentar lagi
mau berangkat”
“lah, ini masih jam sebelas loh”
“hahaha. Tidak papa bu. Pengen aja”
Akhirnya
setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak diizinkan pulang oleh keadaan, kali
ini semesta mendukungku untuk pulang, pulang ke pelukan ibu misalnya. Ungkapan
ini bukan sekedar kiasan atau majas, tapi memiliki arti yang sesungguhnya.
Tekstual. Kenapa begitu?, karena hal pertama yang akan dilakukan ibu ketika melihat
anaknya yang sudah lama tidak pulang adalah memeluk. Saya sangat yakin seribu
persen itu akan terjadi.
beginilah
akibat ketika aku terlalu dipermainkan oleh emosi dan perasaan, harusnya jadwal
penerbangan pukul lima, dan melapor minimal jam tiga, tapi aku sudah datang
dari jam dua belas. Inilah akibat antusias yang sangat tinggi untuk pulang.
Harusnya semua orang memaklumi tindakanku, tapi tidak dengan tiga temanku yang
mengantar ke bandara. Dalam mobil mereka terus berbicara soal tindakan
“kerajinanku datang ke bandara"
“Gua
paham sih lu baru pulang setelah sekian lama, tapi gak jam segini juga
jalannya, masih lama juga pesawat lu” kata Faiz yang sedang menyetir
mobil
“ya
gimana lagi bro. antusias kan” balasku santai
“antusias
sih antusias, tapi gak gini juga bego” celetuk Arya
“asli!
Bikin emosi, mana gua harus bawa ini mie lagi dalam mobil” tambah William.
Sebelum berangkat ke bandara, William memang menyempatkan masak mie terlebih
dahulu, karena tahu bahwa jadwal pesawatku masih lama. Tapi ketika hendak
makan, dia langsung diseret arya menuju mobil. William sempet minta waktu
sebentar untuk makan, tapi aku menolaknya, hingga arya menyuruhnya untuk
membawa saja piring berisi mie instant itu
“belum
pernah kan makan mie diatas mobil” kataku menenangkan William sambil sedikit
tertawa
“belum
pernah kan kepalamu dipukul dengan benda tumpul berisikan mie instan” balas
William kesal
“emang
sialan si bego. Mau lu datang jam empat, kalau pesawatnya belum berangkat yaa
kagak bakal berangkat, kecuali ada pemberitahuaan” kata faiz
“emang
gak ada otak ini orang. Dia pikir dia orang penting apa gimana sih” nyambung
arya
Aku
tertawa melihat ocehan mereka. Nanti aku minta maaf waktu mau masuk ruang
tunggu.
Waktu
yang kami tempuh lumayan lama, sekitar satu jam. Jarak kos kami dengan bandara
memang tidak terlalu jauh, tapi macetlah yang membuat jarak 1 kilometer berubah
menjadi 10 kilometer. Tapi setidaknya dengan jarak tempuh yang memakan waktu
ini, membuatku bisa menghabiskan waktu dengan mereka bertiga. Mereka bertiga
adalah orang-orang yang aku kenal pertama kali ketika menginjakkan kaki di
kampus. dan secara kebetulannya lagi, mereka bertiga satu jurusan.
Faiz
adalah anak yang dikarunia otak yang cerdas. Dia bukan cuma pintar dalam
akademik tapi juga non akademik. Ketika kami masih mahasiswa, dia selalu
menjadi langganan pembicara di sebuah diskusi kecil-kecilan. Saking pintarnya,
Di dunia perlombaanpun faiz sering sekali menjadi finalis, walaupun lebih
banyak gagalnya daripada menangnya. Beberapa kali juga dia mendebat dosen dalam
kelas, yang berujung nilai D di KRS.
Aku
memang agak heran dengan kondisi dosen sekarang, kenapa ketika dosen didebat
oleh mahasiswanya malah menunjukkan perasaan tidak terima, dan memberi nilai
buruk. padahal ruang kelas di kampus adalah ruang terbuka untuk diskusi?.
Selain
cerdas, faiz adalah orang yang cukup keras kepala, karna tidak ingin nilainya
D, dia mengulang lagi mata kuliah tersebut. dan tindakan mendebat dosennya
masih saja dia lakukan, bahkan bertambah ekstrim karena berhasil mempengaruhi
beberapa adik tingkat di kelas itu. dan tentunya dia kembali mengulang kelas
tersebut.
ketika
akan melakukan percobaan ketiga, kami segera menentangnya. Kami yakin dia akan
kembali mendebat dosennya. Beberapa kali kami meyakinkan dia untuk tidak
mengulang lagi, tapi tetap saja keras kepala. Hingga suatu malam aku dan arya
mensabotase HP dan akun KRSnya. Kami mendaftarkan dia ikut remedial. Dan pagi
hari, dia tidak berhenti ngomel kepadaku dan arya. Tapi kami membalasnya dengan
tertawa. Yang pada akhirnya satu-satunya nilai B di KRS Faiz hanya mata kuliah
itu, sisanya Semua A, alias sempurna. Makanya ketika wisuda, dia adalah orang
yang berpidato di depan seluruh wisudawan. Karena tidak hanya menjadi lulusan
dengan nilai hampir sempurna, secara non akademikpun sangat baik, apalagi faiz
pernah ditunjuk sebagai ketua himpunan jurusan, pernah menjadi sekretaris Umum
BEM Fakultas, dan Ditunjuk menjadi salah satu menteri dalam Kabinet BEM
Universitas serta pernah menjadi ketua UKM Basket kampus.
Arya.
Anak keturunan asli suku ibu kota. Orangnya yang ceplas-ceplos dan penuh
kebahagian serta candaan, membuat tongkrongan kami tidak pernah kering. Anak
ini juga sangat pemberani, mungkin juga karena efek dari lingkungan tumbuh
besarnya yang begitu keras.
Ketika
itu, demonstrasi yang lagi kami ikuti terjadi Chaos, banyak
sekali mahasiswa yang kena pukul dengan polisi, bahkan ada beberapa teman kami
yang berhasil ditangkap oleh polisi. Aku yang kala itu lagi menyelamatkan diri
dengan arya terhenti karena melihat salah satu teman kelas kami yang kena
tangkap polisi. Segera aku pandangi arya yang berdiri disampingku. Dia terdiam
tapi fokusnya tertuju pada polisi dan teman kami yang ditangkap. aku yakin di
kepalanya sedang menyusun strategi “bagaimana caranya menolong teman kami
ini”. karena dia melamun lumayan lama, segera aku tepuk pundaknya “lu kenapa?”
kataku. “kita harus tolong dia ram” balasnya tapi masih tetap focus ke arah
polisi dan teman kami. “lu mau ngapain? Depan lu polisi tau. Kita cabut duluan
aja” balasku mencoba meyakinkan dia bahwa semua strategi di kepalanya tidak
akan berhasil. Tapi si arya bahkan seperti tidak mendengarkan usulanku,
dan sedang menyusun tumpukan strategi di kepalanya.
“woii,
ayoo cabut” kataku memukul pundaknya. Tapi selang berapa detik, dia sudah
mengambil plastic dalam tasnya, dan melubangi dengan dua jari, aku kira plastic
itu untuk apa, ternyata untuk menyembunyikan identitasnya. setelah itu dia lari
dengan keceepatan maksimal sampai dengan menabrak polisi itu hingga melepaskan
cengkeramannya. sebenarnya kekuatan arya tidak seberapa, kekuatan lima arya
sekalipun belum tentu bisa merobohkan bapak polisi itu. tapi pengalamanlah
yang membuatnya kuat, kalau bahasa gaulnya “jam terbang yang berbicara”
Kronologinya
adalah setelah melubangi plastic untuk matanya, dia memakai di kepalanya dan
berlari kencang ke arah polisi itu dengan tujuan menabrakkan diri, setidaknya
ada kejutan walaupun tidak begitu kuat. Tetapi dari kejutan itu, akan memberi
sepersekian detik untuk melemahkan cengkraman si polisi tersebut. dan terbukti,
karena kejutan dari arya, membuat cengkraman si polisi melemah, dan segera
teman kami juga berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Masih belum
berhasil, si arya mendorong lagi dengan badannya, sehingga polisi itu
kehilangan keseimbangan sebentar. disitulah cengkraman pak polisi menjadi
sangat lemah, sehingga teman kami berhasil melepaskan cengkramannya. Segera
mereka berdua berlari dan begitupun aku. Arya berhenti sejenak dan menghadap ke
polisi tadi, lalu menundukkan kepalanya dan berkata dengan sedikit teriak “maaf
ya pak”. Lalu kembali berlari.
arya
pula yang mengajari kami ngomong "gua-lu". dia pernah bilang gini
"kalian kalau disini harus pakai "gua - lu", biar gampang
berbaurnya. kalau pakai "aku-kamu" nanti dikira apaan. apalagi kalau
"aku - kamu" dengan lawan jenis, bisa bahaya nanti".
William.
Anak orang kaya yang ingin hidup sederhana. Bapaknya adalah pengusaha pakaian yang
sangat laris sedangkan ibunya adalah pengusaha kuliner yang memiliki tujuh
restorant di lima pulau yang berbeda. Mungkin kamilah yang harus bertanggung
jawab atas pilihan hidupnya yang ingin hidup sederhana itu.
suatu
kali, kami ingin pergi makan, karena saking laparnya setelah ikut kuliah dan
demo sekaligus. Waktu itu kami masih mahasiswa baru, sehingga masih takut
melakukan hal yang menurut kami aneh di barisan demonstrasi. Kenapa aku bilang
aneh, karena kadang kala demonstrasi sekarang hanya sebagian orang saja yang
serius sisanya ikut-ikutan. Tidak jarang masa aksi yang menyingkir dari barisan
dan berteduh dipinggir jalan, atau masuk ke minimarket untuk membeli minum
sedangkan teman-teman yang lainnya berjemur dibawah terik sinar matahari. dan
kamilah orang yang berjemur itu.
Setelah
demo selesai, kami berniat untuk singgah makan. William yang terbiasa dengan
makan makanan yang enak seperti di restoran, kali itu kami mengajaknya makan di
warung makan pinggir jalan yang biasa menjual nasi dengan lauk telor atau bisa
memesan mie instan tambah telor. Kali itu William tidak menolak, saya yakin
saking lapar dan capeknya sehingga tidak ada tenaga lagi untuk menolak. Segera
kami memesan 4 es jeruk dan 4 nasi telor. Ketika meminum es jeruk,
William langsung berkata “waaah, ini es jeruk enak banget”. Kami langsung
tertawa.
Begitu
juga reaksinya ketika makan nasi telor. Dia makan begitu lahapnya, bahkan
sampai minta dua piring. Di tengahnya makannya di terus ngoceh sendiri “asli,
ini enak banget nasi telornya”. “heran gua. Kok bisa enak gini yaa nasi
telornya” selama dia makan, kami terus tertawa melihat ekspresinya itu. expresi
selanjutnya juga membuat kami tertawa ketika dia kaget bahwa makanan yang kita
makan berempat tidak lebih dari 60 ribu. Nasi telor satunya delapan ribu, kami makan
lima piring, jadinya empat puluh ribu. Sedangkan es jeruk harganya tiga ribu,
William juga meminum dua porsi, jadinya lima, sehingga jumlahnya lima belas
ribu. Jadi total semuanya lima puluh lima ribu.
Di
tengah jalan mau pulang, dia berkata kepada kami “anjiir, makanan enak banget
gitu kok murah banget yaa”
“enak
ya?” Tanya arya
“enak
banget bro. Besok-besok makan disitu ajalah” balas William dengan mata
berbinar-binar
Dalam
hatiku berkata “itumah karena kamu lapar aja. Orang yang kelaparan mah di kasih
makanan apa saja pasti bilangnya enak”. Setelah kejadian inilah dia mulai
mengurangi makan-makanan restoran, dan banyak mempelajari hidup sederhana
masyarakat negeri jepang.
….
“lu
kagak balik Wil?” tanyaku pada William yang lagi asik menyantap makanannya
“balik,
tapi nantilah, kan masih kerja ram” balasnya
“lu
ya?”tanyaku pada arya
“gua
mau balik kemana sih, rumah gua kan disini bego” balasnya dengan ekspresi
jengkel. Ekspresi ini bukan menunjukkan ekspresi jengkel akan pertanyaanku,
tapi ekspresi jengkel yang masih tersisa dari aksi “kerajinanku”
“lu
iz?”
“ibu
gua suruh balik ram. Kalau sudah disuruh balik, yaa harus balik ram. Soalnya
ibu yang suruh kan ya” balas faiz
Benar.
Ibu adalah orang yang jarang meminta sesuatu kepada anaknya, malah ibu adalah
orang yang selalu mengabulkan segala permintaan anaknya. Maka bukannya kita
sebagai anak harus mengabulkan permintaan ibu kita juga, setidaknya beberapa
kali dalam hidup kita. Tapi yang paling
benar dari kalimat faiz adalah, ibu adalah tempat pulang, menumpahkan air mata
akan perjuangan jatuh bangun di ibu kota. Ahh, aku merindukanmu ibu!
Sampailah
kami di bandara. Segera faiz membantuku menurunkan koper, dan arya yang segera
mencari keranjang dorong untuk barang-barangku, sedangkan William masih asik
makan mie instan yang sengaja dia buat banyak. Katanya dia sangat lapar,
sehingga 5 bungkus mie instan dia makan sekaligus. Segera kami menuju pintu
masuk bandara.
“gua
balik ya” kataku kepada mereka bertiga
“lu
jangan nangis gitu ya” kataku melihat arya yang sedikit tertunduk
“bego!
Gua kagak nangis lah. Ngapain nangisin lu” balas arya sedikit meninggikan
suara. Dia sebenarnya sedikit malu karena ucapanku tadi terdengar oleh beberapa
cewek-cewek disamping kami
“lu
juga iz, kok mukanya sedih gitu” kataku ke faiz
“tidak
ada satu alasanpun yang membuatku sedih, kecuali utang-utangmu yang belum dibayar”
balasnya. faiz selalu punya kata-kata tajam untuk menghabisi lawan bicara yang
coba menghabisinya
“mana
ada. Udah gua lunasin semua kali” jawabku sambil tertawa. Merekapun
menyambutnya dengan tertawa
“sebenarnya
gua mau nangis ram, Cuma kata mamaku, pamali kalau menangis sambil makan” kata
William yang merangkulku
“mau
menangis atau tidak itu urusan lain, tapi bisa gak mie instan lu ini jauhin
dari muka gua” balasku kepada William. Dia memang merangkulku, dan tangan yang
digunakan untuk merangkul itu adalah tangan yang digunakan juga untuk memegang
piring mie instannya. Dia segera melepas rangkulannnya sambil tertawa.
“gua
balik ya” balasku sambil melambaikan tangan dan masuk ke bandara
Cih,
aku bahkan tidak berani mengucapkan maaf karena sudah membuat mereka menuruti
“kerajinanku” untuk datang tepat waktu. Ataupun untuk semua kerepotan yang
sudah aku berikan kepada mereka selama 7 tahun ini. air mataku tumpah sedikit.
Mereka adalah keluargaku setelah pindah ke ibu kota. Maka melepas mereka dengan
air mata adalah lumrah. Walaupun segera aku mengusapnya, karena tidak mau
dilihat para petugas bandara.
.
getaran
muncul dari balik saku celanaku
"Assalamualaikum
bu"
“Waalaikumsalam,
udah dimana ram?”
“udah
di bandara ini bu, di ruang tunggu. Nungguin pesawatnya”
“pesawatnya
kemana emang?”
“belum
datang bu”
“Lah,
pesawatnya dibawa siapa emang? Sopirnya bagaimana sih”
“bukan
sopir bu, pilot”
“sama
aja ram. Yaudah, hati-hati dijalan. Jangan lupa berdoa selalu”
“iya
bu”
Maklum
ibu saya tidak pernah naik pesawat, bahkan naik mobilpun bisa dihitung jari.
Akhirnya
aku pulang setelah 7 tahun. kembali bisa mencium aroma masakan ibu, mencium
tanah basah kampung halaman, mendengar ributnya perkelahian dua adik perempuan,
mendengar obrolan ngalor ngidul 5 kawanku, menikmati ramah tamahnya para
masyarakat, dan juga memandangi para gadis-gadis desa yang anggun bak bidadari.
Ah nikmatnya pulang ke rumah
Akan
kumulai cerita ini, pahit getir, manis dan bahagianya kehidupan. Seorang pria
bernama Ramadhan Putra Anisa. Nikmatilah~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar