Ini tahun ke-empat saya melakukan rutinitas menulis di bulan ramadhan. Tulisan-tulisan itu saya beri judul ramadhan menulis. Alasan saya lumayan sederhana kala itu, saya Cuma ingin ramadhan kala itu dilewati dengan banyak kegiatan. Btw, rutinitas ini lahir tahun 2020, ketika covid melanda dunia, sehingga kegiatan-kegiatan di bulan ramadhan yang biasa saya lakukan seperti tidur siang sampai sore, lalu malamnya nongkrong sampai sahur, yang mana tidak bisa saya lakukan lagi, apalagi seperti nongkrong. Alasan baiknya biar saya lebih aktif dan produktif tapi alasan eksistensialnya adalah biar keliatan keren aja. Alasan yang mulia sekali bung~
Sebagai manusia
yang islam selama 27 tahun, ramadhan adalah rutinitas tahunan, setidaknya 20
tahun saya berpuasa dengan sadar dan penuh tanpa bolong, sisanya dilalui dengan
menjadi anak kecil yang lucu, sepertinya~
Saya pernah
menulis di ramadhan menulis jilid 2, tahun 2021, (https://www.melawansemesta.com/2021/04/prolog-ramadhan-yang-tidak-benar-benar.html) dimana saya tuliskan bahwa
sebagian dari kita mungkin tidak benar-benar menunggu datangnya bulan ramadhan,
kita hanya menantikan euforianya, padahal di ceramah-ceramah biasanya para
ustadz sering mengatakan bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang paling ditunggu
oleh umat muslim. Tapi mungkin kebanyakan dari kita tidak. Kita Cuma menanti euphoria
buka puasa bareng, sahur on the road, jalan-jalan setelah sholat subuh,
ngabuburit, nyari jodoh di antara jamaah tarawih dan euphoria lainnya. Dan kemungkinan
besar kita hanya ingin kembali ke kenangan dan moment yang sudah lewat yang
bagi kita indah dan menyenangkan, dan kondisi itu hanya bisa terjadi di bulan
ramadhan.
Saya pun
merindukan moment-moment tersebut. Bermain benteng dan kejar-kejar ketika kecil
di halaman masjid, atau moment ketika mubaligh hijrah ketika di madrasah aliyah,
atau moment ketika berpuasa di jogja, di temani manusia-manusia tuna asmara.
Moment di jogja
adalah salah satu moment paling luar biasa dalam kehidupan bulan ramadhan yang
saya pernah lewati. Saya tidak tau di daerah lain ada atau tidak, tapi di jogja
kala itu, bukan hanya ada buka bersama di masjid (yang umum dilakukan di
manapun), di jogja ada semacam sahur bersama. Jadi masjid-masjid menyediakan
sahur untuk masyarakat. Tentunya ini sangat membantu masyarakat terkhusus para
perantau dan mahasiswa untuk sahur. Bahkan ada beberapa teman yang tidak
mengeluarkan duit makan selama ramadhan, ia hanya mengeluarkan duit untuk beli
bensin. Ada lagi moment unik ketika di jogja, kembali lagi saya katakan, “saya
tidak tau di daerah lain ada atau tidak” tapi di jogja beberapa masjid besar
bahkan menuliskan menu buka puasa mereka di selebaran ramadhan yang disebarkan offline dan online. Jadi kita
mahasiswa tau menu buka puasa apa yang akan disediakan oleh masjid A atau
masjid B. beberapa teman bahkan sampai punya beberapa selebaran masjid yang
melampirkan menu buka puasanya, yang tidak jarang teman saya mengajak saya
untuk datang ke masjid tersebut dengan ajakan seperti ini “ayo ke masjid ini,
buka puasanya nanti tongseng kambing”. Ah percakapan yang semoga di dengar
Allah sebagai ibadah, bukan sekedar cari makan. Dan banyak moment luar biasa
yang buat saya merindukan jogja. Mungkin kita semua juga begitu, memiliki
moment tersendiri sehingga ramadhan menjadi salah satu waktu yang ditunggu.
Saya tidak tau
konsep dibalik itu semua, gabungan moment, kenangan, dan ramadhan. mungkin ada
semacam konsep filosofis dan ilmiahnya yang membuat ramadhan menjadi hal yang
ditunggu bagi kebanyakan orang, walaupun beberapa orang juga sebal dengan
datangnya bulan ramadhan. Tapi terlepas dari itu semua, ada baiknya kita untuk
memperbaiki orientasi kita di ramadhan kali ini, tidak hanya mengejar moment
dan kenangan indah secara duniawi tapi juga harus secara ukhrawi, memberi makan
jiwa batin kita. Puasa memang sementara tidak memberi makan fisik kita, tapi ia
memberi makan jiwa batin kita secara penuh.
Sebenarnya saya
lumayan bingung ingin menyematkan kata “jilid 4” atau tidak pada judul tiap
tulisan nantinya, karena tahun lalu yang harusnya jilid 3, saya tidak menulis
apa-apa pada tema “ramadhan menulis”, alasan saya karena ingin menyelesaikan
kisah bersambung yang berjudul “adzan maghrib yang ditunggu”. Ini juga program
menulis ramadhan saya. Tapi ternyata tidak juga selesai di ramadhan tahun lalu,
kemalasan lebih memihak kepadaku. Sama seperti ramadhan menulis, “adzan maghrib
yang ditunggu” juga lahir tahun 2020, Cuma awalnya belum bernama “adzan maghrib
yang ditunggu”, masih berjudul “ramadhan bercerita”, judulnya simple karena
pemeran utamanya bernama ramadhan. Tapi tahun berikutnya, saya pikir judul “ramadhan
bercerita” terlalu simple dan kurang estetik, akhirnya saya temukan judul “adzan
maghrib yang ditunggu”, saya temukan judul itu karena sangat nyambung dengan
ceritanya, kalau penasaran ikut saja ceritanya.
Saya berharap
ramadhan kali ini bisa selesai. Sudah 3 kali puasa, 3 kali lebaran tidak
selesai-selesai, kalau sampai ramadhan kali ini tidak selesai, maka “adzan magrib
yang ditunggu” akan merebut tahta bang thoyib yang tidak pulang-pulang dengan gelar 4 kali puasa, 4 kali lebaran tidak selesai-selesai.
keputusan akhirnya, saya sematkan jilid 3 pada judulnya, akan memalukan kalau saya menulis "ramadhan menulis 4" tapi yang ke-3 saja tidak ada. selain menciderai perjuangan orang tua saya yang mengajari berhitung, juga mencoreng nama saya sebagai alumni fakultas teknik yang tiap hari bermain-main dengan angka~
Cukup sekian
prolog saya kali ini, singkat, padat, tidak jelas dan tidak filosofis. Jangan
berharap ke-filosofi-an dari saya yang hidupnya cuma haha hihi, dan menonton
anime di kala senggang dan sibuk. Saya ucapkan MARHABAN YA RAMADHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar