Bangun sore yang menjengkelkan. Kalau saya tinggal dengan orang tua, sudah pasti nasehat panjang lebar akan mendarat di telinga saya sampai magrib menjemput. Sore itu daerah tempat saya tinggal mendapat giliran untuk pemadaman listrik, jadi ketika bangun, seisi kamar gelap, “perasaan sebelum tidur sinar lampu sempat “menyakiti” mataku”. Seperti kebanyakan orang yang bangun tidur, beberapa menit dihabiskan dengan bengong, dan mengumpulkan nyawa setelah itu dilanjutkan dengan membuka smartphone yang sebenarnya tidak penting-penting banget. Pada layarnya menunjukkan tanda merah pada icon baterai, sedangkan listrik sedang mati, “wah bahaya ini” fikirku. Bagi orang post-modern dan manusia teknologi sepertiku, smartphone dengan baterai lemah dan listrik mati adalah kiamat kecil. ketergantungan yang luar biasa membuat baterai lemah dan listrik mati adalah momok menakutkan. Tapi apalah daya, saya ikhlaskan kondisi ini. Ketika waktu sudah mendekati magrib, saya teringat satu hal, “kuliah online jam 7”.
Kuliah online
jam 7 malam ini adalah pengganti ketika kelas kosong beberapa waktu lalu,
sempat saya berpikir untuk “skip” saja, tapi saya urungkan niat itu. Kebiasaan
“baik” saya yang dulu sering dilakukan, skip
kelas, tiba-tiba bergejolak ingin keluar. jangankan 75% kehadiran yang
maksimal 3 kali tidak masuk, kalau diperluas lagi jadi 50% kehadiran, saya
tentu akan melebihi itu. bahkan beberapa kali saya masuk Cuma pertemuan
pertama, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Hasilnya? Kuliah 6
tahun!.
Kembali ke
kuliah online jam 7 malam. Karena kuliah ini membutuhkan perangkat elektronik,
sedangkan laptop saya tidak bisa menyala ketika tidak terhubungan dengan
listrik, serta smartphone saya “lemah syahwat” maka saya memutuskan untuk
melakukan kuliah online di rumah keluarga. Pergilah saya menggunakan motor
andalan menuju rumah keluarga. Tepat sampai disana sekitar pukul setengah 7.
Baru 1 menit saya di dalam rumah, lampu tiba-tiba saja mati, ternyata giliran
rumah keluarga saya yang “terdampak” pemadaman listrik. Sungguh na’as nasib
mereka dan juga saya. Takdir Tuhan memang luar biasa.
Saya memutuskan
untuk pulang, atau setidaknya saya menemukan café yang bisa disinggahi untuk
kuliah di tengah perjalanan saya pulang. Tapi sepanjang perjalanan, tidak ada
satupun saya temukan café yang listriknya menyala, entah mereka tidak memiliki
genset atau memang mereka membiarkan saja, ‘kapan lagi ada sensasi ngopi di tengah
kegelapan malam’. Saya lumayan putus asa, “yaudahlah kalau emang tidak kekejar,
bolos aja lagi” pikirku, emang agak drama tapi emang itu kenyataannya. Yang
semakin membuat cerita non fiksi saya dramatis adalah saya terjebak macet.
Sebuah kondisi yang di luar prediksi. Menghadapi macet dengan kondisi
terburu-buru adalah bencana bagi kebanyakan orang, begitupula saya. Lagi dan
lagi saya mengikhlaskan keadaan, mau bagaimana lagi. Biarpun saya menggunakan
motor, yang katanya anti macet, bisa “meliuk-liuk” diantara antrian mobil,
tetap saja memakan waktu yang banyak, belum lagi kalau terjadi senggolan atau
kecelakaan, lebih baik pelan dan hati-hati ditengah keramaian. Valentino rossi
juga pasti pusing kalau dihadapkan dengan macet, orang-orang yang ahli dalam
tes sim yang “zig-zag” juga mungkin gak kepakai ilmunya di tengah kemacetan.
Yang saya lakukan Cuma satu, menikmati perjalanan dengan kemacetan yang luar
biasa.
Di tengah
kemacetan, tiba-tiba terlintas di kepala saya soal konsep ketergantungan.
Manusia hari ini dan mungkin dari manusia pertama ada, semua memiliki
ketergantungannya sendiri, dari yang paling nyata kelihatan sampai yang tidak
kelihatan seperti Tuhan. Manusia selalu butuh tempat untuk bergantung, saya
belum pernah menemukan orang yang tidak bergantung pada apa-apa. Bahkan di
barat sekalipun yang katanya menyoritas tidak percaya Tuhan, tidak bergantung
pada Tuhan, pasti punya tempatnya bergantung juga, bisa saja pengetahuannya
atau pengalaman hidupnya. Tapi kebetulan pikiran melayang saya kali itu tidak
sedalam ketergantungan dengan Tuhan, tapi ketergantungan dengan teknologi,
internet dan keluarga-keluarganya.
pak fahruddin
faiz, dosen filsafat, dan sekaligus “guru online” saya, beberapa kali
membicarakan soal ketergantungan dan mengaitkan dengan kondisi masyarakat hari
ini yang sangat tergantung dengan apapun, terutama soal listrik, teknologi dan
internet. Beliau menceritakan kondisi-kondisi ketergantungan tersebut, bahkan
sampai ke tahap akut yang apabila tidak ada internet, bisa saja mati. Dan
beberapa kali beliau sangkutpautkan dengan kondisinya yang dulu yang bahkan
tanpa internet dan listrik mereka masih tetap bisa hidup. Tenang! Pak faiz
bukan kaum mendang mending yang sering mengadu nasib, beliau ingin
menggambarkan pada kita bahwa ketergantungan itu manusia yang buat, manusia
yang ciptakan. Kita bisa menciptakan ketergantungan kita pada apapun, misalnya smartphone.
Banyak sekarang orang mending ketinggalan dompet daripada ketinggalan
smartphone. Ada juga orang yang kalau
mau makan harus sambil nonton di smartphonenya. Atau ribut di internet ketika
Jakarta dilanda listrik mati, satu Jakarta heboh, dan tidak sedikit yang
memaki. Padahal kalau kita ambil sudut pandang yang lain mungkin ada baiknya,
missal ada waktu kita untuk merenungi hidup dan berkontemplasi di tengah
kegelapan malam. Dan banyak lagi
saya setuju
dengan kondisi itu, kita sudah tahap ketergantungan pada teknologi yang akut,
tidak bisa lepas. Tapi ditengah pikiran saya yang melayang diantara antrian
mobil dan motor, saya berpikir, batasan kita untuk melepas atau tidak dari
ketergantungan tidak lagi 100% milik kita, sekarang sudah dimiliki orang lain,
atau lingkungan sekitar. Misalnya kondisi yang saya hadapi, saya mau kuliah
online sedangkan saya butuh listrik, internet dan teknologi lainnya, akhirnya
timbul ketergantungan saya pada itu semua. Atau kondisi lain, misal komunikasi
melalui media digital, kan banyak orang yang melakukan puasa media, melepas
“toxic digital” yang menjangkit katanya, tapi kita dihadapkan pada kondisi yang
harus berkomunikasi atau kita harus menjawab sebuah pesan penting yang masuk,
sehingga mau tidak mau, kita harus menggunakan “barang-barang itu”. Berbeda
kalau hanya sekedar menyimak media social, itu memang tidak penting banget,
tapi anehnya malah jadi ketergantungan.
Akhirnya
keinginan kita untuk lepas dari ketergantungan tidak ada pada diri kita
sepenuhnya, karena ada andil orang lain di dalamnya. Ada orang yang butuh
pesannya segera di jawab, ada pertemuan yang membutuhkan media social dan
internet, dan mungkin ada begitu banyak urusan yang membutuhkan teknologi dan
sejenisnya.
Pada akhirnya
pikiran melayang saya ini sampai pada kesimpulan sementara bahwa kondisi
ketergantungan banyak campur tangan dari dunia di luar kita, apalagi
ketergantungan akan teknologi di era teknologi. Mungkin memang tidak bisa. Jadi
bagi saya ketergantungan itu tidak buruk, kenapa saya bilang “tidak buruk”,
karena kata “ketergantungan” ini selalu berkonotasi negative dan disalahkan,
bagi saya ia bersifat netral. Tentu ada yang negative, missal ketergantungan
narkoba. Asal ketergantungan itu bersifat positif dan tidak berlebihan, saya
rasa masih bisa diterima. Akhirnya kembali pada konsep agama, konsep moral dan
nilai bahwa segala yang berlebihan itu tidak baik, apapun itu. Kecuali dengan
Tuhan. Ketergantungan dengan Tuhan sangat perlu, bagi seorang manusia bertuhan.
Walaupun sering menjadi kambing hitam, misalnya “ini semua takdir tuhan saya
miskin” dan lainnya. Padahal jelas dalam
surah Ar-ra’d ayat 11 tentang itu. tidak tau isinya? Silahkan google sendiri,
bukannya kita sudah tergantung
habis-habisan pada google!
Penutup cerita
non fiksi saya ini, saya berhasil melintasi kemacetan yang riuh dan mengikuti
kuliah online tersebut, kembali di tempat saya tinggal. walaupun telat 30
menitan, akhirnya saya bisa mengikuti kuliah dengan tenang, damai dan
kecapekan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar