Kajian tarawih tadi malam yang saya ikuti lumayan menarik. Bapak penceramah membuka kajiannya dengan membahas soal masalah childfree. Sebuah isu paling heboh di jagat media maya beberapa waktu belakangan ini. Beliau (penceramah) membuka pembahasan childfree dengan mengambil berita dari CNN tentang jepang yang mengalami permasalahan keturunan.
Dalam ceramah
beliau yang ia kutip dari berita, di jepang, banyak rumah-rumah yang kosong
karena tidak ada yang menempati. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena
tidak memiliki anak. Ketika suami istri meninggal, maka rumahnya tidak bisa
diwariskan, sebenarnya bisa diwariskan tapi wariskan kemana sedangkan anaknya
tidak ada? Beliau juga menjelaskan dari berita, bahwa ada sebuah daerah di
jepang (saya lupa nama daerah yang disebut beliau), yang mana bayi yang
terakhir lahir itu 25 tahun yang lalu, artinya semenjak 25 tahun yang lalu,
sudah tidak ada bayi lagi yang lahir. Artinya sudah tidak ada lagi generasi
penerus di daerah itu, dan mungkin suatu hari nanti daerah itu akan mati kalau
tidak ada yang meneruskan.
Permasalahan childfree
memang menarik untuk dibahas, dikarenakan beberapa argumentasi yang diucapkan “penganut”
childfree rasional dan masuk akal. Tapi hidup tidak segampang itu. Tidak segampang
“yang rasional berarti yang benar”. Segala argumentasinya bisa dibantah dan
dimentahkan dengan akal manusia. saya selalu mendengar ucapan ini dari guru
online saya yaitu pak fahruddin faiz, beliau sering mengatakan bahwa “akal
manusia itu adalah mukjizat bagi manusia”. kita bisa membuat argumentasi apapun
dengan akal kita yang rasional dan masuk akal. Lain kali akan saya coba bahas
soal akal, karena bagi saya “akal” ini sangat menarik. Kembali ke soal
childfree.
Argument pertama
‘penganut’ childfree adalah mendidik anak yang susah. Ini satu contoh yang
digunakan penceramah untuk mengambarkan kondisi childfree. (beliau menggunakan
beberapa bahasa Makassar, sebenarnya saya tidak mengerti artinya tapi saya
paham maksudnya, maka saya jelaskan menggunakan bahasa Indonesia). beliau
(bapak penceramah) mengatakan “mereka yang menyakini childfree menganggap punya
anak itu susah, susah ngedidiknya, juga bikin sakit kepala” beliau terdiam
sebentar
“memang kadang
kala anak-anak itu bikin sakit kepala, bikin “gemes”. Tapi! Anak juga bikin
kita senang dan bahagia. Kalau bapak ibu pulang kerja, ketemu anak, jadi
senang, main dengan anak. Kalau bapak-bapak lagi kecapekan, siapa yang
dimintaiin “injek-injek” badan kita. Ya anak-anak itu”.
Mendidik anak
memang susah, apalagi jaman sekarang, era internet, apa saja ada di internet
dan kemungkinan bisa ditiru oleh anak-anak kita”. Beliau juga memberi beberapa
perbandingan contoh kasus mendidik anak. Beliau bercerita “jaman dulu,
anak-anak kalau “dicubit” di sekolah karena nakal, pulangnya tidak berani
melapor, karena kalau melapor pasti tambah dicubit sama orang tuanya. Tapi jaman
sekarang berbeda, “dicubit” di sekolah, pulangnya melapor, selanjutnya gurunya
yang “dicubit” sama orang tua dan sekolahnya” (sebenarnya contoh kasus ini
sudah banyak sekali beredar dan tidak jarang diserang netijen dengan ejekan “si
paling tua”, “si paling tangguh” atau “siap yang senior”.
Ada lagi contoh
kasus yang dipaparkan beliau, dan ini menarik dan sedikit lucu. “jadi jaman
dulu kalau ada anak dimarah, orang yang sedang marah itu tinggal bilang begini “kutanya
mama’nu”, anaknya langsung takut. Tapi jaman sekarang, kalau dibilang begitu,
malah dijawab “tanyami”. Malah ditantang balik. (btw, kata “Tanya” disini bukan
berarti kata Tanya untuk kalimat pertanyaan, tapi Tanya disini berarti “kasih
tau atau memberitahu”, jadi kalimat “kutanya mama’nu” itu bisa diartikan “saya
kasih tau/memberitahu mamamu” dan kalimat “tanyami” itu diartikan “yaudah kasih
tau”. Sebagai orang berdarah Sulawesi, saya sebenarnya juga baru tahu beberapa
waktu lalu, maklum walaupun berdarah Sulawesi, tapi saya menghabiskan seperempat
abad hidup saya di luar Sulawesi)
Kembali ke
contoh kasus “kutanya mama’nu” tadi, jaman dulu anak-anak takut, tapi jaman
sekarang anak-anak malah nantang balik. Kenapa bisa seperti itu? Sebenarnya sama
kondisinya dengan kasus di sekolah tadi. Mereka melapor ke orang tua, karena
mereka yakin orang tua akan belain mereka. Begitupula dengan kasus “kutanya
mama’nu” tadi, mereka menantang balik karena mereka tau kemungkinan besar
mamanya akan mendukungnnya daripada mendukung orang lain yang sedang marah
kepada anak. Logis. Makanya beliau (penceramah) mengatakan bahwa mendidik anak
memang susah tapi tidak susah-susah banget, setidaknya faham dan mengerti
cara-caranya pasti akan baik-baik saja.
Sebenarnya childfree
ini bukan inti pembahasan, malah childfree ini semacam prolognya, hanya
cerita-cerita untuk membuka ceramah intinya. Pertama saya juga kaget ketika
beliau masuk ke childfree, karena waktu MC membaca nama penceramah tarawih
beserta temanya, disebutkan temanya adalah “keutamaan bulan ramadhan”, loh kok
malah masuk ke childfree? Tapi bagi saya menarik. Bukan berarti kajian intinya
tidak menarik, karena beberapa kali tarawih, bahkan tarawih tahun lalu, juga
selalu membahas soal keutamaan bulan ramadhan, jadi terasa familiar. Semalampun
begitu, pembahasannya yang paling inti adalah bahwa keistimewaan dari bulan
ramadhan adalah turunnya AL-qur’an. Bagi umat islam, bahkan mungkin hampir semua
umat islam tau dengan pengtahuan bahwa “al-quran turun di bulan ramadhan”, tapi
yang urgent dibahas harusnya adalah bagaimana Qur’an yang adalah mukjizat ini
digunakan umat manusia untukk melewati kehidupannya di dunia. Makanya ketika
beliau (penceramah) membuka dengan childfree, saya kira beliau ingin
menyangkutkan antara bulan ramadhan dengan childfree, ternyata tidak. Tapi tak
apa, saya juga tidak tau dibalik itu semua, mungkin saja ada kesepakatan
pembahasan dengan takmir masjidnya harus bahas apa, atau kemungkinan lain. Semua
diluar pemahaman saya, dan saya tidak ingin berburuk sangka, apalagi di bulan
suci ini.
Tapi kalau balik
ke childfree, memang pembahasan ini tidak ada habis-habisnya, selalu saja ada
argumentasinya. Misalnya lagi argumentasi “biaya hidup mahal”. Ya memang biaya
hidup mahal. Tapi buktinya masih banyak orang yang berhasil membiayai hidup
anak-anaknya, bahkan ada beberapa cerita seorang tukang becak yang berhasil
men-sarjana-kan anaknya, ada orang biasa yang berhasil membuat anak-anaknya sukses
jadi tni, ada yang jadi pns dll. Malah menurut pandanganku, argumentasi “biaya
hidup mahal” ini terlihat seperti “menyerah sebelum bertarung” walaupun
kayaknya saya kurang pantas membicarakan ini, karena saya tidak punya anak,
jangankan anak, calon pasangan juga tidak ada. Walaupun masih bisa dijawab lagi,
misalnya penjelasan tentang mengambil pelajaran dari orang lain, “ternyata
setelah melihat orang yang menghidupi anaknya susah, akhirnya si penganut “childfree”
ini memutuskan untuk tidak punya anak karena melihat seseorang susah dengan
biaya hidup”.
Yang membuat
childfree kemarin rame sebenarnya karena ada seorang influencer yang membuat
argumentasi yang menurut saya terlalu personal, misalnya dengan childfree itu
seperti skincare alami, lebih awet muda, ada uang untuk botox dll (saya gak tau
juga botox itu apa, mungkin untuk kecantikan dan sejenisnya). Bagi saya itu
terlalu personal dan sempit pandang. Apalagi banyak netijen yang memaparkan
fakta-fakta luar biasa. Misalnya fakta wulan guritno, perempuan berumur kepala
4 keatas, yang punya anak, bahkan anaknya sudah hampir berkepala 3, tapi masih
sangat cantik dan “luar biasa”, banyak laki-laki diluar sana yang
mengidolakannya. Atau contoh lain, yaitu iris wullur, kalau contoh ini saya
tidak tau siapa, saya baru tau ketika netijen mengupload video-video tiktok
iris wullur di twitter, dan memang beliau cantik lluar biasa. Beliau di
perbandingkan karena si iris wullur ini punya anak dan tidak childfree. Yang akhirnya
netijen menyimpulkan permasalahan intinya bukan childfree atau tidak, tapi
punya duit atau tidak. Hahaha, kesimpulan yang akurat!
Pada akhirnya
childfree akan selalu diperdebatkan, karena toh sangat “debat-able” banget
isunya. Banyak argumentasi dan fakta di lapangan yang sering bertabrakan. Yang susah
adalah ketika childfree ini menjadi semacam ideology, kepercayaan dan mungkin
sampai ke pengalaman batin yang menjadikannya childfree. Karena kondisi-kondisi
itu susah untuk berubah, bahkan diberi argumentasi apapun akan susah apabila
menyangkut ideology, kepercayaan sampai pengalaman batin. Kecuali ada
pencerahan. Sebenarnya kurang cocok juga kata “pencerahan”, karena seolah-olah
childfree semacam tersesat di kegelapan maka butuh pencerahan, saya meyakini
selalu ada beberapa yang baik diantara keburukan.
Saya adalah
salah satu orang yang juga kurang setuju dengan childfree dengan
argumentasi-argumentasi di kepala saya. Ada salah satu argumentasi yang saya
suka, argumentasi ini datang dari peserta di acara youtube milik kata ustadz,
episode itu membahas soal childfree, salah satu peserta mengatakan seperti ini ketika ditanya soal “ternyata biaya
menghidupi anak itu besar, tapi kenapa masi tetap pengen punya anak?”
jawabannya “ini adalah titipan dari Allah. Hehehe” kata peserta perempuan
tersebut sambil memegang perutnya. Atau peserta lain yang jawabannya juga
menarik bagiku, beliau menjawab begini “wanita di kasih Rahim, pasti ada
tujuannya”
Yang mau
childfree silahkan, yang tidak mau childfree silahkan, yang terpenting itu ada
pasangannya atau tidak, capek-capek bahas childfree ternyata pasangan saja
tidak punya, kasihan sekali nasib kita~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar