pikiran ini muncul pertama kali bukan ketika tulisan ini terbit, tapi sudah lama waktu berlalu. Hanya belum sempat saya sempurnakan saja. Maka dengan anda membaca tulisan ini, maka sempurnalah tulisan ini, setidaknya menurutku.
10 februari
2023, suami dari sepupu saya meninggal dunia, sebelum itu juga, bapak dari
teman pertama saya di S2 UNHAS, meninggal. Hari-hari yang menyedihkan untuk
beberapa orang di lingkaranku. Kembali ke pemakaman suami sepupu. Saya datang
ke rumah duka. Ramai para tamu datang untuk memberikan belasungkawa dan turut
bersedih atas kepergian almarhum. Saya datang pukul 2 siang, dan rencana akan
dimakamkan setelah sholat ashar. Dalam kondisi menunggu, entah kenapa kepala
saya dikelilingi pikiran-pikiran yang tidak berhenti berputar. Pikiran saya
semakin kencang ketika akan pergi menuju masjid tempat almarhum di sholatkan,
saya melihat anak almarhum yang juga adalah keponakan saya (walaupun mereka
lebih tua jauh dari saya) menangis. Sangat tampak di mata saya bahwa
ditinggalkan oleh orang yang disayangi sangat menyakitkan. Saya melihat salah
satu anaknya menangis bahkan sampai susah berjalan, hingga akhirnya dia naik motor
yang dikemudikan oleh suaminya menuju masjid. Mungkin inilah arti dari
menangisi kepulangan.
Dalam perjalanan
saya menuju masjid, saya menyadari sesuatu bahwa menangisi kepulangan artinya
kita menangisi kelemahan kita akan takdir, menangisi kekalahan kita akan waktu,
menangisi ketakutan kita akan kesendirian, dan juga menangisi kehilangan akan
cinta. Menangis karena kita lah yang paling tahu bahwa sebenarnya bukan yang
meninggal lah yang kehilangan kebahagiaan, tapi kitalah sebenarnya yang
kehilangan kebahagiaan itu, setidaknya beberapa bagian kebahagiaan kita hilang.
Pikiran lainnya
muncul ketika selesai menyolatkan jenazah, saya jadi berpikir, secara
eksistensi dan esensi kemanusiaan, manusia dinyatakan meninggal adalah ketika
sudah tidak dapat bernafas lagi. Tapi secara kemanusiaan islaminya adalah
ketika ia sudah di sholatkan. Ketika ia sudah tidak bisa sholat lagi, padahal
tugas manusia dan jin adalah untuk beribadah. Tapi ketika kita sebagai manusia
sudah tidak bisa beribadah lagi, maka selesai secara paripurnalah tugas kita
sebagai manusia dan hamba Allah.
Pikiran lainnya
muncul lagi ketika di tanah kuburan. Ketika saya melihat punggung orang yang
sedang melingkari proses penguburan dan suara tangis yang lirih, pikiran saya
mencuat keluar begitu saja. Saya jadi berpikir mungkin maksud dari Rachel venya
atau para orang yang melanggar aturan dan mendapat kompensasi karena bersikap
baik dan sopan santun adalah tentang hidup dan mati. juga dalam kuhp yang
terbaru mengatakan bahwa apabila dalam masa percobaan 10 tahun oleh terdakwa
hukuman mati, ia berkelakuan baik, maka bisa tidak jadi dihukum mati. Seorang ustadz
atau motivator keislaman sering bilang begini “semua yang bernyawa pasti akan
mati. Kita hanya menunggu antrian”. Artinya, bahwa seharusnya selama kita
menunggu antrian kita harus bersikap “baik” dan “sopan santun”. Karena mungkin
saja di “meja pengadilan akhirat” hukuman kita bisa dikurangi atau malah bisa
saja terbebas dari hukuman. Dan satu yang harus diingat, “pengadilan akhirat”
adalah pengadilan yang paling adil, tidak ada cerita hakimnya bisa disuap untuk
kebebasan. Kenapa? Karena “Sang Hakim” adalah pemilik segalanya termasuk diri
kita sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar