Tulisan ini untuk menyongsong hasil sidang MK yang akan diumumkan. Saya dedikasikan untuk segala perjuangan remeh temeh yang sudah saya lakukan, yang saya anggap tepat dan benar. Saya tidak mengikuti sedikitpun sidang MK kali ini, entah kenapa saya pesimis dengan hasilnya. Yang saya tau dari sidang MK ini cuma permohonan dari kubu 01 dan 03, selebihnya cuma lihat dari berita yang lewat dari timeline medsos, tidak mengikuti secara mendalam
Beberapa hari setelah pencoblosan 14 februari lalu,
beberapa pendukung 01 menumpahkan kekecewaannya akan hasil quickcount di media
sosial dengan mengatakan seperti ini “tidak apa kami kalah, tapi kami kalah
dengan terhormat”. Bagi saya kalah terhormat itu tidak ada. kalah ya kalah. Dalam
“medan perang”, diksi kalah tidak bisa ditambahkan kata terhormat,. setidaknya untuk
kubu yang saling berseteru. kata terhormat hanya bisa disematkan untuk sesama kubunya,
sedangkan kubu lain tidak mungkin bilang gini “kami menang, kalian kalah dengan
terhormat”, karena kalimat itu akan membuktikan kalau mereka menang secara
tidak terhormat. Orang bisa mengatakan dirinya terhormat ketika dia tau bahwa
lawannya bermain curang, sedangkan si lawan tidak mungkin mengakui tindakan curangnya,
apabila dia benar curang.
Selain kalimat “kalah terhormat’, ada kalimat yang
lebih saya suka yaitu “saya bangga berada di barisan ini”. saya sendiri sangat
bangga berada di barisan perubahan kemarin. baru kali ini saya mengikuti pesta
demokrasi, pemilu dengan antusias, dari menyebarkan informasi dan kampanye
lewat media sosial sampai menyempatkan berdiskusi dengan beberapa teman yang
bertanya.
Saya adalah orang yang suka dengan narasi dan
gagasan, setiap kali mengikuti kontestasi politik untuk mendapatkan jabatan,
saya adalah orang yang memegang teguh prinsip “apa gagasanmu kedepan?”
didahulukan baru kita hitung-hitungan suara. Dari jaman di IMM Cabang ARF Kota
yogya sampai di tingkat Provinsi. Sampai saat ini saya adalah orang yang idealis,
yang mungkin akan diludahi oleh para oportunis dan realistis karena terlalu
berbusa-busa berbicara narasi dan gagasan daripada kepentingan dan
hitung-hitungan. Tapi itulah salah satu nilai yang saya pelajari dan coba terus
saya pegang ketika menghadapi kontestasi politik.
Dari ketika di IMM ARF, ada beberapa calon ketua
yang bertemu dengan saya, dan yang pertama saya tanyakan kala itu adalah apa
tawaran gagasannya untuk IMM ARF kedepannya, saya tidak tertarik punya pemimpin
yang kosong, walaupun pada akhirnya kekuatan senior dan permainan belakang
tidak terbendung, orang lain yang terpilih, yang bahkan tidak pernah saya temui
sebelum musyawarah untuk menanyakan gagasannya. Sampai ketika pemilihan DPD IMM
DIY, dimana saya bersama teman-teman angkatan 2014 berkumpul dan menyusun
gagasan bersama untuk DPD IMM DIY kedepannya. Saya masih ingat masa-masa itu,
kami menyusunnya di warung kopi teko di belakang kampus, yang menghasilkan 20an
lembar gagasan bersama angkatan 2014 untuk DPD IMM DIY kedepannya. ya walaupun
saya dan beberapa teman 2014 tidak punya kuasa besar untuk mengatur strategi
politik praktisnya, tapi setidaknya saya dan teman-teman 2014 punya ikhtiar
untuk membangun IMm dengan berbasis narasi dan gagasan.
Kembali ke pemilu, Tawaran gerakan yang diberikan 01
kemarin itu menggugah selera politik saya secara tidak sengaja, dimana adu
narasi, perdebatan, menguji gagasan, menelisik rekam jejak dan mendesak calon
menjadi tombak kampanye politik. Beberapa orang bilang 01 membuat suatu hal
baru dengan menciptakan politik dua arah, diskusi dan dialog. yang mana kita
tau dari dulu, kampanye politik itu selalu satu arah, si calon yang berorasi
berjam-jam, para pendukung cuma berteriak ketika ditanya, dan ditambah dengan iringan
music. Bagi saya, 01 kemarin sudah mengangkat derajat pemilu ke arah yang lebih
baik, dan itu yang saya inginkan. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar
kenapa saya memilih anies, karena sudah saya tulis di RAMADHAN MENULIS 4. EPS
04 : KENAPA ANIES BASWEDAN?https://www.melawansemesta.com/2024/04/ramadhan-menulis-4-eps-04-kenapa-anies.html
Saya berharap kedepannya pemilu kita seperti ini,
adu gagasan, berdebat, berdiskusi, kontra narasi, dan segala model kampanye dua
arah (bukan debat formal dari kpu yang pertanyaannya bisa saja bocor kemana-mana.
Saya bukan anti debat KPU, gak papa debat KPU, tapi debat dan diksusi dengan
masyarakat secara langsung itu lebih baik, karena suduh pandangnya sangan
kualitatif kalau di masyarakat, sedangkan debat formal KPU itu sudut pandang
kuantitatif). Salah satu alasannya karena bangsa kita adalah bangsa yang pelupa.
Kita kadang lupa dengan apa yang pernah kita lihat dan kita dengar, bahayanya
lagi adalah apalagi yang kita dengar dan kita lihat tidak lengkap, sehingga
kedepannya bisa dipelintir kemana-mana. Contohnya adalah ide makan gratis, yang
memang terngiang di kepala, tapi konsep awalnya tidak ada, yang membuat
masyarakat bertanya, dan bisa berbahaya kedepannya karena tidak ada obrolan di
awal dengan masyarakat, misalnya darimana dana itu diambil, bagaimana konsep
pembagiannya, lalu bagaimana konsep proyeknya.
Kalau ditarik ke pemilu sebelumnya pun banyak
omongan yang lalai, seperti menyelesaikan pelanggaran HAM, yang bahkan dipakai
salah satu calon untuk kampanye dan menjatuhkan lawannya dengan mengatakan “kami
tidak punya beban masa lalu, catatan pelanggaran HAM”, yang bahkan malah tidak
ada titik terang dari kasus pelanggaran HAM ini. penguatan KPK, demokrasi dan
kebebasan berbicara sampai ide revolusi mental yang saya tidak tau apa
hasilnya. Adanya kampanye dua arah ini selain menarik simpati masyarakat,
kedepannya bisa membuat masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan,
misalnya pemerintah ketika berjalan keluar jalur dari yang pernah ia jelaskan
dalam kampanyenya, maka masyarakat mengingatkannya (ya walaupun kenyataan yang
sudah-sudah, masyarakat tidak di dengar), tapi setidaknya masyarakat paham
konsepnya dan memberi masukan.
Pada akhirnya saya bangga berada di barisan
perubahan, tidak mengapa kalau akhirnya putusan MK menolak permohonan. Bagi saya,
berada pada jalan kebenaran yang kita pilih secara ideal, tanpa ada embel
kepentingan, hitung-hitungan atau asas menang kalah sekalipun adalah sebuah
kebanggaan. Tidak mengapa juga kalau akhirnya cap anak abah melekat di jidat
saya, walaupun saya tidak pernah sedikitpun menyematkan kata "abah" ketika menyebut Anies baswedan, saya lebih nyaman menggunakan "pak" anies. disebut sok agamis, politik agama, sok intelek, imigran yaman, angin
tidak punya ktp, dan sebagainya, saya menikmati semua label tersebut. Tapi ada
satu fenomena menarik, entah kenapa setiap ada yang mengkritik pemerintah hari
ini, selalu saja dianggap anak abah atau pendukung 16%, jadi apakah pendukung
genap tidak akan mengkritik, soalnya kalau mengkritik nanti malah dibilang anak
abah atau pendukung ketua bokep lagi. Menarik juga narasinya ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar