Bukan twitter namanya kalau tidak ada kehebohan. Kali ini ada seorang yang menulis bahwa belajar statistic dan melatih softskill itu lebih penting daripada menghafal Al-qur’an. Tentu tweet ini mendapat banyak sekali respon luar biasa, dari yang beneran paham sampai yang Cuma emosi aja dengan tweet tersebut. Bagaimana tidak heboh, beliau membandingkan sesuatu yang harusnya tidak perlu diperbandingkan, apalagi yang ganjarannya berbeda, satunya ganjaran dunia satunya ganjaran akhirat, malah para penghafal juga dapat ganjaran dunia sih, seperti beasiswa tahfidz sampai menjadi imam masjid dengan bayaran super gede
Karena penasaran, saya mencari perdebatan yang
menarik dari tweet ini, hingga saya menemukan ada akun lain yang membalas tweet
tersebut, tapi bukan tweet balasan ini yang menarik, tapi balasan dari si
penulis tweet kontroversial terhadap balasan tweetnya. Intinya dia bilang gini “filsafat
itu banyak bentuknya. Makanya belajar filsafat itu jangan hanya dari fahruddin
faiz, habib ja’far atau henry manampiring”. Ketika membaca ini, saya terkejut
dan tersindir, ternyata 3 tokoh ini, Cuma kelas rendah kalau mau belajar
filsafat ya menurut beliau. Wow, tinggi sekali ilmu beliau ternyata.
Saya ketika mahasiswa s1 memang rajin dicekoki soal
filsafat oleh para senior di organisasi, dari disuruh baca dunia shopie sampai
zarathusranya Nietzsche. Dari mengkaji tokoh awal filsafat, Socrates sampai
tokoh sekaliber karl marx. Dulu ketika belajar sendiri emang terasa beratnya,
bahasanya yang jelimet membuat ilmu susah terserap dengan baik, butuh berulang
kali memahaminya.
Pada akhirnya saya menemukan ngaji filsafat yang
dibimbing pak fahruddin faiz, yang membuat filsafat itu menjadi menarik untuk
dikaji dan lebih mudah diserap oleh akal pikiran. Banyak sekali pikiran para
filsafat yang disampaikan pak fahruddin faiz yang terserap di kepala saya, bahkan
beberapa tokoh besar filsafat dan pemikir yang baru saya tau namanya karena pak
fahruddin faiz. Walaupun saya tidak pernah sekalipun bertemu beliau, saya
sangat berasa dekat dengan beliau, (bagaimana tidak dekat, setiap mendengar
semua kajian beliau saya pakai headset yang langsung di gendang telinga. Serasa
dibisikan secara langsung oleh pak faiz. Haha).
Makanya banyak sekali opini-opini yang saya tulis,
yang mengutip dari perkataan pak faiz, yang sebenarnya pak faiz juga mengutip
dari para tokoh-tokoh. Pak faiz itu selalu merendah, beliau pernah bilang
begini “bukan saya yang cerdas, tapi para tokoh, saya Cuma menjelaskan saja”. Padahal
bagi saya, beliau juga sangat cerdas, bisa memeras dan menyederhanakan semua
ide gila para filsuf yang sehingga dinikmati bahkan dicintai para pendengarnya.
Kalau membaca opini dalam tweet tersebut “…makanya
jangan baca filsafat hanya dari fahruddin faiz…” emang terlihat menganggap
remeh pak faiz, tapi emang ada benarnya. Bayangkan pak faiz mengkaji karl marx
hanya 2-3 pertemuan, sekitar 4-6 jam paling lama, sedangkan beberapa teman saya
butuh berbulan-bulan untuk paham dan mengerti buku das kapitalnya si karl marx,
maka belajar filsafat dari pak faiz mungkin memang bukan langkah yang tepat. Tapi
bagi saya tepat, pak faiz memang bukan guru pembimbing terus menerus, beliau
adalah pemantik api. Ketika beliau sudah memantik api filsafat dalam diri kita,
ya tinggal kita yang mencarinya lebih dalam lagi. Pak faiz pun sering bilang
gitu kok dalam ngaji filsafatnya. “…kalau kalian tertarik lebih dalam, silahkan
baca-baca lagi…” ini kalimat tidak keluar akhir-akhir ini aja, tapi sudah dari
awal-awal ngaji filsafat dimulai, artinya pak faiz emang mengakui kalau beliau Cuma
pemantik bagi jiwa yang awam.
Ternyata beliau yang ngetweet itu melihat dari sudut
pandang yang berbeda. Yah aneh juga sih ada orang yang berpikir belajar
filsafat dari dengerin orang bisa langsung tahu. Setidaknya saya faham kalau
belajar filsafat kalau Cuma mendengar tidak akan efekti, kita harus mencari
sendiri, membaca dan mendebatnya dalam kepala kita, mengharap paham soal
gadamer dalam 2 jam ngaji filsafat adalah ketidaktepatan. Yang anehnya ada yang
membandingkan pembelajaran murni dan pembelajaran model pemantik ala pak faiz.
Yang selanjutnya, saya melihat beliau ini seperti
merendahkan banyak cara pandang dan cara pikir orang, ada beberapa yang
mendebatnya, dan ujungnya malah di katai tolol. Luar biasa. Sependek pengetahuan
saya, dan serendah ilmu saya, karena belajar dari pak fahruddin faiz, bahwa
ujung dari filsafat bukannya luas wawasan, pandai menyusun kata, atau pintar
mempidatokan ide, tapi kebijaksanaan sejati. Kalau anda belajar filsafat
tingkat tinggi, bahkan sampai merendahkan habib ja’far, fahruddin faiz sampai
henry manampiring, saya gak tau anda beneran menemukan filsafat atau tidak. Setidaknya
itu yang saya tangkap dari begitu banyaknya ngaji filsafat pak faiz.
Bayangkan saja dari tokoh satu ke tokoh yang lain kadang
kala saling bertolak belakang idenya, tapi pak faiz menyampaikan seolah
kedua-duanya sama baiknya, bagaimana cara kita menyikapinya coba? Intinya pak
faiz selalu bilang begini “belajar filsafat itu seperti mempersiapkan senjata. Dipakai
ketika membutuhkan, karena kadang kala filsafat satu dan lainnya terdengar sama
baiknya, tapi ternyata ada yang bisa dipakai, tapi ada yang tidak. Maka bijaksanalah.
Ujung pangkal filsafat kok malah pandai menghakimi dan menjelekkan ilmu
lainnya. Saya kasih saran kalimat lebih baik agar jiwamu tidak gampang
menghukum ilmu pengetahuan lainnya, “Itu bukan jelek, Cuma tidak berguna aja
bagi dirimu, atau kamu yang tidak sampai menuju kesana”.
beliau adalah guru online saya, yang sangat ingin saya temui kemudian hari, dan kalau bisa sih saya ketemu pak faiz sama istri, biar saya kasih tau istri saya, kalau beliau, pak faiz adalah salah satu orang yang berpngaruh di hidup saya. ngimpi aja dulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar