Malam sehabis pencoblosan, setelah quickcount mencapai angka 100%, seorang teman menghubungi Whatsapp dengan menulis seperti ini “semangat bolo. Anies tetap paling kreatif, tapi takdir sudah dijatah ke prabowo”, saya menjawab “Alhamdulillah nek ngono”. dia membalas lagi “Alhamdulillah pilihan kita 2019 akhirnya jadi presiden”. Saya menjawab “sayangnya saya tidak milih beliau kali ini”.
2014 dan 2019 saya memang condong ke beliau. 2014
adalah pertama kali bisa ikut nyoblos. waktu itu saya baru lulus SMA, dan
di masa sekolah saya tidak punya referensi apa-apa tentang pemilu, apalagi
sekolah tidak membolehkan membawa gawai, sehingga sumber informasi cuma
dari koran di asrama atau koran yang ditempel di madrasah. walaupun ada
beberapa teman yang sembunyi-sembunyi membawa gawai, sayapun sebenarnya
sembunyi-sembunyi membawanya, Cuman, gawai yang saya miliki hanya bisa sms dan
telpon. Jaman itu gawai secanggih sekarang masih sangat jarang, kalaupun ada
yang punya, sangat jarang yang membawa ke asrama, resiko ketika ketahuannya lumayan menyakitkan soalnya. Kalaupun saya pergi ke warnet untuk
mengakses internet, tidak ada terlintas di kepala untuk mencari informasi
soal pemilu. Ketika 2014 saya benar-benar tidak punya informasi apa-apa,
akhirnya informasi datang dari keluarga, dan kebetulan keluarga memilih beliau.
Tapi pada akhirnya, 2014 saya tidak datang ke tps untuk nyoblos, karena waktu itu lagi di luar
kota, dan dulu, mengurus pemindahan tempat memilih ribet sekali.
Ketika 2019, saya condong ke beliau lagi, dan kali
ini saya bisa nyoblos beliau. Alasannya se-simple "tidak punya alasan yang
kuat" untuk memilih lawannya, yang kala itu seorang petahana. Jangankan alasan
kuat, alasan yang lemah sekalipun tidak punya. Nah, ketika mahasiswa, saya
habis-habisan berdiskusi tentang pemerintahan, demo berkali-kali, mengeluarkan
puisi dan orasi kritik kepada pemerintahan, dan ujungnya, bagiku pemerintahan kala itu kurang baik, maka saya tidak punya rasionalisasi yang
kuat untuk menyoblos beliau, Sang Petahana tersebut. Apakah saya tidak belajar soal
sejarah dan perjalanan pak prabowo? Saya tahu dan mempelajarinya. Lalu kenapa tetap menyoblos beliau? Saya adalah orang yang tidak bisa masuk di akal soal
golput, saya tidak bisa datang ke tps hanya untuk golput, ada perasaan sia-sia
aja. maka pilihan satu-satunya ya beliau. dan saya juga tidak bisa membiarkan suara saya digunakan begitu saja jika tidak datang ke tps. Kala itu pun saya tidak terlalu
mengikuti soal pemilu seperti pemilu kali ini, tidak begitu aktif bermain
twitter yang dulu menjadi medan perangnya, saya lebih asik nongkrong dengan teman,
kalaupun bermain media sosial lebih ke youtube dan instagram yang kala itu
lebih kecil jangkauannya, apa yang kita tonton adalah apa yang kita follow
ataupun subscribe, dan tentu saya tidak mem-follow/subscribe akun-akun politik
seperti sekarang. kalaupun ada tekanan untuk memilih pak prabowo di 2019 adalah dari keluarga lagi, bahkan paman dan kakak sepupu saya masuk dalam tim pemenangan daerah, jadi berubahlah isi group keluarga menjadi lahan kampanye, yang ternyata disambut baik oleh anggota group lainnya. Mungkin terdengar seperti mencari-cari alasan, tapi ini benar
yang saya rasakan. mungkin ada yang mengira saya orang yang islami, karena asosiasi pendukung pak prabowo kala itu adalah mereka yang islami dan sebagainya, tapi tidak seperti itu. Menaati aturan islam, tidak aneh-aneh, Sholat tetap jalan walaupun kadang sholat dzuhur mendekati ashar, saya bukan orang yang islami banget, bukan pula islam ktp, saya berada di tengah tengah, islam biasa. maka tidak pantas disebut pendukung prabowo karena islaminya. teman-teman IMM bisa membuktikan bahwa saya islam biasa. dan orang yang menghubungi saya tadi, adalah orang sangat tahu seberapa islaminya saya, dan seberapa saya mendukung atau tidaknya gerakan 212 kala itu, yang mana teman saya ini menyempatkan waktu, jiwa dan raganya untuk datang kesana.
Fun factnya adalah, saya selalu dikira berada di
kubu yang berbeda dengan pilihan keluarga. Ketika 2019, saya dikira
memilih pak jokowi, dan ketika 2024 kemarin saya dikira memilih ganjar. Saya
tidak pernah tanya alasan kenapa keluarga punya pikiran seperti itu, tapi
asumsiku karena latar belakang aktivis yang kental. Ketika 2019, saya pernah
ngobrol dengan keluarga soal pemilu, yang saya angkat waktu itu soal
kasus HAM prabowo, walaupun sebenarnya saya sudah nemu beberapa jawabannya,
mungkin dari situlah orang tua saya berpikir kalau saya memilih pak jokowi. padahal di kepala saya sudah tidak ada ide apapun untuk memilih pak jokowi. 2024 yang lalupun
seperti itu, ketika selesai pemilu, saya menghubungi orang tua di papua, dan
ngobrol-ngobrol soal pemilu, tiba-tiba bilang gini “pasti tadi coblos ganjar”.
saya tertawa dan membela diri dong. Membela diri? Seperti orang ketangkap maling aja.
Sebenarnya jauh sebelum pemilu 2024 kemarin, saya pernah berdebat
panas soal prabowo, anies dan ganjar. waktu itu mati lampu, saya ingat
banget moment itu. saya dan bapak berdebat panjang soal pemimpin, islam
dan pemilu (prabowo, anies dan ganjar).
waktu itu bapak sudah condong ke anies, dan saya belum ke siapapun, tidak ke
ganjar, anies apalagi prabowo. Mungkin itu juga salah satu pemicu kenapa saya
dikira milih ganjar. sebenarnya lebih ke pdipnya.. ini asumsiku aja, mungkin karena
PDIP terkenal dengan aktivismenya, apalagi di era orde baru dulu, sangat terasa
panasnya darah aktivisme di PDIP kala itu. pun ketika 2014 dan 2019, PDIP kan
terus menyudutkan lawannya dengan isu HAM, isu aktivisme dan sebagainya. Jadi
mungkin saja bapak dan ibu mengira semua aktivis yang bicara HAM pasti
mendukung jokowi dan PDIP.
Pada akhirnya presiden baru yang terpilih kali ini
adalah Bapak Prabowo Subianto, orang yang sudah berkali-kali mencoba dan
akhirnya mendapat kesempatan juga. saya dan semua masyarakat harus menerima
itu, mereka yang memilih ataupun tidak memilih beliau. Ya walaupun beberapa
cara yang dilakukan bagi saya sangat wadidaw, dari putusan MK sampai cara
berkampanye hingga indikasi permainan bansos dan pengerahan aparat. Saya
berharap beliau ini bisa memberi dampak yang baik terhadap apapun, ekonomi,
politik sampai kebebasan berpendapat, walaupun rada aneh memang mengharapkan
kebebasan berpendapat kepada orang yang milih-milih media dan tidak menerima
pertanyaan dari wartawan, apalagi tambahan kisah kelam masa lalunya.
Seperti kata seorang komika, om Sammy notaslimboy, "harapan kita ya ke bapak prabowo", Mungkin itu adalah hal yang paling rasional
sekarang, daripada berharap pada wakilnya, yang cara naiknya saja
dipertanyakan. Begitupula dengan kata-kata rocky gerung di setiap podcastnya
bersama FNN di channel beliau, bung rocky selalu punya pandangan bahwa pak
Prabowo sebenarnya tidak benar-benar tunduk ke pak jokowi, tapi lagi nunggu
moment aja, ketika sudah dilantik, baru beliau bisa leluasa dan lepas dari
jeratnya. Begitulah apa yang saya tangkap dari begitu banyak omongan bung rocky
gerung di channelnya, ya walaupun mungkin juga ada andil kedekatan antara pak
prabowo dan bung rocky ya, sehingga bung rocky terlihat terus membela pak prabowo. kita liat kedepannya.
Saya jadi ingat cerita kotak Pandora yang saya
dengar dari ngaji filsafatnya pak fahruddin faiz. Kotak yang berisi semua
keburukan dan kejahatan dunia yang waktu itu diberikan zeus kepada Pandora di
hari pernikahannya. Sebenarnya Pandora dilarang membuka kotak itu, karena
mereka takut isi kotak itu adalah hal buruk, yang mana kala itu zeus sangat
marah kepada promotheus karena telah mencuri api ke dunia. tapi karena Pandora
sangat penasaran, maka dibukalah kotak itu, dan keluarlah semua keburukan
dunia, keserakahan, wabah penyakit, dusta, kelaparan, kedengkian dan lainnya.
Pandora sangat sedih mengetahui itu, tapi ketika Pandora kembali melihat kotak
itu, dia menemukan ada satu yang belum keluar, yaitu Harapan.
Ya! saya sedikit menaruh harapan ke presiden
terpilih, bapak prabowo subianto. Walaupun beliau kemarin mengusung
keberlanjutan, ya semoga saja keberlanjutannya menuju arah yang baik. apalagi
ketika saya menulis ini, Negara sedang di bombardir masalah-masalah, dari
korupsi sampai RUU yang wadidaw seperti penyiaran, TNI, polri, lalu datang
tapera, gong terbarunya adalah putusan MA yang masyaAllah, Allahuakbar. Walaupun
kalau ditelaah, kata “keberlanjutan” ya artinya melanjutkan semua yang telah
ada. kalau kata pendukung beliau, yang adalah seorang komika, tidak perlu saya
sebut namanya, beliau bilang “berkelanjutan kan bukan berarti semuanya
dilanjutkan, kalau ada yang buruk maka akan diubah". Oke gas! Ya mungkin bisalah
KPK di independenkan lagi, kebebasan pers dibebaskan sebebas-bebasnya. Tapi
kalau slogannya “keberlanjutan” sih agak berat ya untuk diubah-ubah, belum lagi kalau ada bersitegang sama presiden lama, aduh. Tapi semoga saja.
Dulupun, ketika jokowi terpilih, dan disebut sebagai
“New Hope” oleh majalah time, saya juga sempat berpikir bahwa beliau adalah
sebuah harapan baru. Apalagi gembar-gembor soal beliau dari golongan rakyat
biasa, bukan dari keluarga militer ataupun keluarga ningrat sehingga mengetahui
kesengsaraan rakyat. Bahkan saya sempet berpikir, mungkin saja di era jokowi
Indonesia akan baik dan tidak ada demo sedikitpun, eh ternyata beberapa kali
demo sempat menelan korban jiwa, dan menakjubnya lagi, beberapa kali demo besar depan istana, beliau lebih
memilih kunjungan kerja daripada menemui para demonstran.
Harapanlah yang membuat manusia tetap hidup, kalau
harapan itu mati, maka kita mungkin juga ikut mati. Maka saya sedikit menaruh
harapan ke pak prabowo, walaupun sangat tipis, karena slogan keberlanjutannya.
Karena tidak mungkin juga saya menaruh harapan ke pilihan saya, yang tidak
terpilih. Sehebat-hebatnya naruto, kalau bukan dia hokagenya, dia tidak bisa
menghapus nama sasuke dalam daftar orang paling dicari di dunia shinobi. Toh,
capres yang saya pilih kemarin juga menaruh harapan agar presiden yang terpilih
bisa membawa Negara lebih baik dari masalah ekonomi, politik sampai kebebasan
pers, jadi kenapa saya tidak. walaupun kembali lagi, sangat tipis bagi saya. lalu pertanyaan selanjutnya adalah "Apakah saya juga memberi harapan ke wakilnya?" Jawaban saya sama seperti
jawaban beliau, wakil terpilih, ketika ditanya wartawan : RAHASIA!!
Saya memilih berharap. jikalau seandainya bapak
prabowo ternyata sama saja, atau bahkan lebih "wadidaw wasweswos lalalalala" (walaupun sebenarnya
banyak indikasi kesana), ya kita harus tetap berharap! berharap pada apa? berharap pada diri kita
sendiri, untuk tetap hidup, berjuang, berserikat dan melawan. untuk diri kita, bangsa kita,
dan anak cucu kita nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar