Yak, betul. saya melewati perayaan tahun baru dengan
biasa saja. Saya, kamu, dia, mereka atau siapapun juga, pasti ada yang melewati
perayaan tahun baru dengan biasa aja, seperti perpindahan haribiasanya, dari
hari ini ke hari esok. Bahkan, beberapa orang lebih memilih tidur daripada
menikmati kelap-kelip kembang api yang pecah di langit-langit dunia. bukan mau
sok indie, sok beda dan sebagainya, karena sudah saya tuliskan di awal, ini
kondisi yang biasa, dan banyak juga yang melewatinya dengan biasa aja.
Saya kepikiran menulis ini karena beberapa hari
ketika berkendara saya melihat begitu banyak penjual kembang api di pinggir
jalan. Kembang api yang waktu kecil juga saya mainkan. Kalau ada yang berpikir
saya melewati perayaan tahun baru karena sangat islami dan menolak perayaan kembang
api, anda sedikit keliru. Kenapa sedikit?
Sebenarnya bapak dan ibu, terutama ibu, juga selalu
bilang soal perayaan tahun baru yang bukan budaya islam, jadi lebih baik
dihindari. Tapi sebagai anak yang ingin menikmati euforianya, bapak dan ibu
membelikan beberapa kembang api, walaupun bukan kembang api yang luar biasa
indah kalau meledak, Cuma seperti roda gila, petasan korek, dan kembang api
yang level menengah.
Ketika berkendara tadi, saya mulai mengingat berapa
kejadian-kejadian yang saya lewati ketika pergantian tahun terjadi. Dari bakar-bakar
ayam sampai main petasan. Tapi ada satu moment yang masih sangat membekas di
kepala saya soal pergantian tahun.
Jadi, kalau kalian ingat, dan pasti ingat, tahun 2004
aceh dilanda bencana tsunami yang menghancurkan daerah tersebut. Salah satu
bencana terbesar yang pernah melanda Indonesia. Semua televisi, Koran, radio
memberitakan bencana tersebut. Kejadian tersebut tepatnya terjadi 26 Desember
2004, 20 tahun yang lalu. Beberapa hari sebelum pergantian tahun.
tepat 31 desember 2004, ketika mau malam pergantian
tahun, yang biasanya kami sekeluarga keluar untuk nonton kembang api, atau
pergi membeli kembang api untuk memainkannya, kali itu, kami tidak membeli dan
ikut merayakannya. Malam ketika akan berganti, saya ke kamar orang tua dan
bilang “ma, ayo beli kembang api”. Jawaban ibu saya sangat membekas di kepala
saya “tidak usah, kasian itu orang di aceh. Masa kita senang-senang sedangkan
mereka malah sedang kesusahan” sambil menunjuk ke arah televisi yang kebetulan
sedang memutar video aceh.
Sebagai anak kecil, saya tentu tidak bisa menerima
jawaban itu sepenuhnya, saya mencoba menolak walaupun tanpa omongan dan serius
menatap video di televisi tersebut, tapi dari kondisi itu saya jadi belajar
soal bagaimana kita berempati dan bersimpati terhadap kondisi buruk yang
melanda saudara jauh kita. Kita tidak hidup sendirian, bahkan saudara yang
begitu jauh, saya di papua, dan mereka di aceh, ujung pukul ujung, tapi kita
harus berempati dengan tidak bersenang-senang, tertawa bahagia, sementara ada
saudara kita yang baru saja terkena bencana super besar dan berbahaya.
Apakah tahun berikutnya, 2005, 2006 dan seterusnya
saya tidak lagi ikut merayakan pergantian tahun? Masih ikut, tapi tidak
berlebihan. Seperti yang saya katakan tadi, kami cuma membeli kembang api level
bawah atau sekedar keluar dan menonton letusan di langit.
Bapak dan ibu saya yang mengajarkan bahwa pergantian
tahun itu biasa aja, tidak perlu dirayakan berlebihan juga. Gongnya, adalah
ketika saya pergi sekolah ke jogja, tahun 2011, tahun itu sampai seterusnya
melewati pergantian tahun menjadi hal yang sangat biasa bagi saya.
Moment kedua yang saya ingat juga adalah ketika
mahasiswa baru. Tahun 2014, saya adalah mahasiswa baru, yang pada bulan
desember saya ikut Darul Arqam Dasar (DAD), sebuah perkaderan dari organisasi
pergerakan IMM. Sebagai kader baru, senior mengajak kami, para kader baru untuk
ikut sebuah pengajian pergantian tahun di sebuah masjid besar di jogja, masjid
syuhada. Sebagai senior, mereka pasti ingin mengkader dan mendidik para kader
dengan baik, maka mereka putuskan untuk mengajak kami pengajian.
Ketika kami sampai di masjid tersebut, peserta
sangat banyak. Kami berhasil ikut dan masuk untuk mendengar pengajian. Seperti ceramah
kebanyakan ketika akan pergantian tahun, soal memperbaiki diri, evaluasi diri,
muhasabah diri dan sebagainya. Moment yang paling saya ingat ketika kami pulang,
beberapa rombongan, termasuk saya, melewati jalan yang tidak melintasi pusat
kota jogja, yaitu tugu dan yang satu motor lewat jalan yang melewati pusat kota
tugu jogja, sebuah keputusan yang sangat fatal. Kami yang melewati jalan lain,
sudah sampai di sebuah warmindo (salah satu warung khas di jogja) untuk kumpul,
tapi satu motor ini tidak sampai-sampai. Kami hubungi pun tidak masuk-masuk.
Kami tunggu sampai jam 1 malam, barulah mereka
muncul, dari situ kami tau ternyata mereka terjebak di kerumunan orang yang
menunggu pergantian tahun di tugu jogja. Kalau yang pernah hidup di jogja, atau
sekedar melepas pergantian tahun di jogja, pasti tau kalau tugu adalah satu
spot paling rame di jogja. Semua manusia berkumpul disana, menghitung mundur
dan melihat letusan kembang api. Sebuah kondisi yang tidak pernah sekalipun
saya ikuti. Ada dua alasan, pertama, kalau desember jogja macetnya setara Jakarta,
malas keluar. dan kedua, terlalu ramai, saya tidak terbiasa di keramaian
sebanyak itu, bukan banyak lagi, sangat sangat sangat banyak.
Apa yang special dari moment tersebut? Itu awal mula
saya merasakan diskusi ngobrolin apapun sampai subuh datang, dari jam 10an,
pulang dari pengajian, nungguan satu motor yang terjebak, setelah motor itu
datang, diskusi masih berlanjut hingga subuh datang. Kondisi yang sangat
membekas di kepala saya. Obrolin Tuhan, kebenaran, aktivisme, perlawanan, buku
dunia shopie dan banyak lagi. Dan itu awal mula saya tau, bahwa di dunia
organisasi pergerakan mahasiswa, budaya diskusi seperti ini ada, dan mengakar. Mungkin
biasa saja, tapi itu menjadi memori tersendiri di kepala saya, dimana saya
melewati pergantian tahun dengan mendengar komat-komitnya para senior dengan
teori-teorinya.
Sebenarnya ada salah satu komentar atau kritik yang
pernah saya dan teman-teman diskusikan soal pengajian-pengajian yang dilakukan
ketika pergantian tahun, salah satu argumennya adalah “secara tidak langsung,
pengajian-pengajian ini juga ikut merayakan pergantian tahun dengan mengadakan
pengajian besar-besaran di masjid-masjid atau tempat lainnya. Padahal sering
dikatakan bahwa pesta kembang api itu bukan budaya islam”. Memang benar sih,
kalaupun kita tidak membakar kembang api, tapi kita ikut bakar-bakar ayam, atau
ikut pesta yang lainnya, sama saja kita merayakannya. Tapi counter argumennya
lumayan oke juga, ada teman yang berkomentar “itu salah satu antisipasi yang
dibuat masjid, misalnya, daripada pesta-pesta mending ikut pengajian aja,
muhasabah diri, memperbaiki diri dll”. Ini masuk akal juga. Ya bebaslah seperti
apa, pokoknya seenak kalian aja, yang penting kalau ada dosa, pahala, akibat,
risiko dan lain sebagainya, ya ditanggung masing-masing. hehehe
Ketika berkendara tadi, saya jadi ingat juga, kalau
ada sebuah kalimat yang selalu terlontar ketika malam pergantian tahun, bukan
yang “kembang api bukan budaya islam” ya, itu mah silahkan di cari dalilnya
sendiri, tapi yang “beli kembang api untuk dibakar, sama aja kayak bakar uang”.
Memang benar sih, kita beli kembang api, setelah itu
dibakar, setelah itu kita nontonin dan ya udah begitu aja. Sebuah kalimat yang
masuk akal, tapi sebenarnya ada kondisi yang menurut saya berbeda dari orang
yang menyalakan dengan yang Cuma nonton aja. Apa itu? sebuah kepuasan tambahan.
Saya waktu kecil juga merasa puas dan senang ketika bisa menyalakan dan
menontonnya meletus-letus. Kalau Cuma nonton, kita Cuma senangnya satu, kalau
kita ikut membeli dan menyalakan, ada
dua kepuasan. saya tidak tau teorinya apa, tapi itu terjadi. Saya mendapat
kepuasan dan kesenangan yang lebih ketika menyalakan dan menontonnya.
Walaupun, yang untung, tetap yang Cuma nonton. Kenapa?
Ya dia dapat kepuasan melihat kembang api yan sama kayak kita, tapi dia tidak
mengeluarkan duit untuk memainkan kembang api. Karena pada hakikatnya kembang
api yang indah, yang rutin mewarna langit dunia di akhir tahun itu, ya bagusnya
ketika sudah menyala dan meledak diatas, jadi gongnya yang di akhirnya. Semua orang
bebas melakukan apapun, mau nonton aja kah, ikut membeli kah, atau melewati
dengan hanya nonton youtube dan ketiduran, dan abis itu kebangun karena ribut
tengah malam. Itu saya btw.
Saya tulis ini hanya untuk menjadi pengingat saya
aja, dan sedikit curhat. Ternyata saya sudah melewati 20 tahun lalu bencana alam besar di aceh, 10
tahun lalu saya menjadi aktipis (aktif tipis-tipis) dan sekarang, cocokologinya
adalah semua moment yang membekas kok tepat di tahun yang berakhiran angka 4,
2004, 2014, dan sekarang 2024. Apakah ini sebuah pertanda? Wkwkwk
Kalau 2024, apa moment special? Banyak, tapi moment
spesialnya adalah saya mengingat sebuah kejadian yang saya lewati selama ini
ketika pergantian tahun, pergantian tahun dan bencana tsunami, pergantian tahun
dan diskusi ala-ala aktipis, pergantian tahun dengan tidur saja, dan mengingat
semua resolusi yang kandas begitu saja.
Semoga di tahun yang akan datang, saya kamu, kita,
mereka dan semuanya menjadi lebih baik lagi, lebih bahagia, lebih membanggakan,
lebih semangat, yang belum kaya segera kaya, yang single segera menikah, yang
belum punya anak segera punya anak, yang sakit segera sembuh, yang malas ibadah
segera rajin ibadah, yang belum kerja segera bekerja, yang belum lulus segera
lulus, yang resolusinya belum terjadi semuanya segera terjadi semuanya. Semoga kita
bisa melewati tahun depan dengan bahagia. Amin!
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyertaikan
sebuah puisi, atau lebih tepatnya susunan kata-kata aja, kalau puisi, terlalu
lebay. Tulisan ini saya lupa kapan di tulis, tapi menurut catatan, saya
menulisnya pertama kali 31 desember 2020, waktu itu dan waktu-waktu sebelum
itu, gelora cinta-cintaan puitis saya masih membekas di jari jemari, tapi
sekarang semua menghilang begitu saja, entah pergi kemana. Maka saya
persembahkan :
RESOLUSIKU MASIH
SAMA
DENGAN RESOLUSI
YANG LALU
MEMILIKIMU NONA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar